Rabu, 29 Oktober 2008

Tolak Pemberlakuan RUU Pornografi menjadi Undang-undang!!!!

Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sempat menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat di waktu yang lampau sempat dihentikan pembahasannya oleh DPR. Namun ternyata, setelah mendapat banyak pertentangan RUU ini tetap diajukan untuk disahkan menjadi undang-undang setelah mengalami beberapa perubahan, termasuk perubahan judul menjadi RUU Pornografi.

Selain pembahasannya agak luput dari perhatian masyarakat dan juga menampung aspirasi masyarakat ternyata tidak terjadi perubahan yang substansial dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang lalu. RUUP ini masih sarat dengan beberapa masalah yang menjadi titik keberatan masyarakat di waktu yang lalu, misalnya beberapa pasal dalam RUU ini masih mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi suatu permasalahan serius. Bukan hal yang mustahil kalau hal ini akan kembali memunculkan sentimen Disintegrasi Bangsa.

Pornografi memang semakin merebak belakangan ini terutama dipicu oleh kekuatan kapitalisme yang bersinergi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pornografi kini bisa dikonsumsi semua orang tanpa memandang batas usia dan tempat. Dari anak-anak hingga masyarakat yang hidup di pelosok-pelosok desa, kini bisa mengakses pornografi melalui internet, VCD porno yang beredar secara gelap maupun telepon "esek-esek".

Hal ini tentu sangat menguatirkan. Namun, menghadapinya dengan pemberlakuan RUU Pornografi ini sangat sarat masalah atas beberapa pertimbangan berikut:

1. Perumusan Pornografi pada pasal 1 RUU ini masih sangat multi tafsir dan jauh dari kejelasan. Hal ini tidak memenuhi azas kejelasan rumusan sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Penyusunan Hukum. Misalnya ungkapan "yang dapat membangkitkan hasrat seksual" adalah berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga cara seseorang berjalan pun bisa dikenakan pada ungkapan ini. Demikian pun halnya dengan istilah "tampilan yang mengesankan ketelanjangan" (Pasal 4 poin d) Dalam menafsirkan istilah-istilah yang tidak jelas akan terbuka kemungkinan setiap orang menginterprestasikannya dengan akibat justru tidak tercapainya kepastian hukum.

2. RUU ini mengesankan seolah-olah akar segala persoalan yang menghantar bangsa Indonesia pada kemerosotan moral terletak pada seksualitas dan erotisme. Jadi kalau masalah ini diselesaikan dengan sendirinya persoalan moral juga beres. Tujuan pengaturan pornografi dengan pendekatan hukum. Membangun moralitas masyarakat dengan hukum positif akan menempatkan negara pada posisi yang sangat menentukan pun dalam hal-hal yang bersifat privat. Jika demikian halnya bukankah negara akan menjadi negara totaliter? Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauhkah wewenang negara mengawasi warga negaranya? Apakah negara juga berwenang menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh dibaca oleh warga-negara? Tidakkah dengan demikian, kita menolong negara menjadi sebuah negara totaliter? Menjadi persoalan adalah, apakah negara juga memiliki wewenang untuk menentukan standard moralitas tersebut sampai memasuki wilayah personal? Dan kalau ya, batasan atau standard siapakah yang akan digunakan? Kalau Negara begitu kuatnya dalam menentukan moralitas personal, dimanakah peran lembaga Keluarga, Pendidikan dan Agama?

3. Adanya pengecualian pada pasal 7 dan 14 akan mengaburkan substansi RUU ini. Hukum dengan pengecualian akan menimbulkan diskriminasi dan sangat rawan terhadap manipulasi dan korupsi.

4. Tidak menghargai keragaman perspektif, terutama kekayaan ekspresi social budaya tradisional maupun kontemporer, baik komunal maupun personal yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kepelbagaian budaya yang sangat beragam akan tereliminir oleh pemberlakuan RUU ini menjadi Undang-Undang. Padahal Pasal 28 dan 32 UUD 1945 nyata-nyata memberikan jaminan akan keragaman budaya ini dan merupakan identitas serta hak masyarakat. Penegasan akan kebebasan mengekspresikan keragaman budaya tersebut dikuatirkan akan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Sementara itu, tujuan reformasi kita adalah terwujudnya sebuah civil-society di negeri kita. Salah satu cirinya adalah kedewasaan warga negara di dalam menyikapi berbagai keberagaman.

Oleh karena beberapa pertimbangan diatas, maka kami menolak diberlakukannya RUU Pornografi ini menjadi Undang-Undang.

Kami menyadari adalah suatu kebutuhan akan pengaturan dan penertiban tentang pornografi. Namun, yang dibutuhkan adalah penertiban dan pengaturan distribusi yang lebih bertanggung-jawab atas produk-produk pornografi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pemberlakuan Undang-Undang yang telah ada terkait dengan masalah ini seperti UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kiranya keberatan atas keberadaan RUU Pornografi ini hendaknya tidak disalah-pahami sebagai menyetujui Pornografi.

Ditulis ulang Pdt Masada Sinukaban

KESAKTIAN PEDULI GENERASI INDONESIA

Diangkat/diambil dari Website KWI : Internet www.mirifica.net

PGI : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia

Tidak ada komentar: