Selasa, 14 Oktober 2008

Matinya Nalar Kemanusiaan

Lumpur Lapindo bukan sekedar bencana biasa, lebih dari itu adalah sebuah tragedi. Tragedi kemanusiaan yang diakibatkan karena kelalaian dan keserakahan manusia.

Tragedi lumpur menjadikan rakyat kecil sebagai tumbal dari kebijakan publik yang dibuat atas dasar nafsu keuntungan semata. Di antara ribuan penderitaan yang terjadi, mungkin saja ada sebagian korban lumpur yang merasa "beruntung" mendapatkan ganti rugi lebih dari tanahnya yang tergusur.

Namun semua ukuran keuntungan itu hanya tampak secara fisik semata. Selama ini kita jarang menaksir sejauh mana kerugian sosial yang telah ditimbulkan sebagai dampak dari tragedi itu. Semua kerugian imaterial telah begitu mudah disederhanakan dalam hitungan angka yang bersifat material.

Tragedi lumpur di Sidoarjo sebenarnya memberikan pelajaran sangat mendasar kepada kita tentang bahaya sangat besar bila kebijakan publik hanya dirumuskan dengan target akhir keuntungan ekonomi.

Bila jiwa penguasa telah diarahkan semata-mata kepada sejauh mana modal dapat diraih, jiwa kerakyatannya akan tumpul. Siapa yang dibela dan siapa yang diinjak tidak lagi menjadi perhatian. Politik belah bambu seperti ini pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai korban.

Begitu sulit posisi rakyat, bahkan saat menjadi korban pun masih teraniaya. Itu yang muncul dalam tanggapan atas laporan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau TP2LS, saat banyak yang menilai bahwa laporan tim lebih memihak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc (Kompas, 20/2).

Ada kesimpulan sementara yang menyatakan bahwa semburan itu merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan perorangan (human error). Selain itu tim meminta juga supaya pemerintah ikut memperhatikan.

Kesimpulan seperti ini cenderung menjurus pada pembebasan tanggung jawab pemicu kejadian. Dampaknya akan ditanggung negara karena bencana lumpur merupakan "bencana alam".

Rakyat dalam berbagai situasi menjadi korban konspirasi tanpa dimengertinya. Wong cilik tetap menderita karena dalam berbagai aspek, mereka dikepung oleh berbagai situasi yang tidak netral, baik media maupun elit-elit kekuasaan.

Media memberitakan kasus ini, diduga sering tidak dalam posisi netral, sebagaimana juga yang dicurigai dalam laporan sementara tim ini.

Bisakah menjadi pelajaran?

Merefleksikan perjalanan kasus lumpur Lapindo ini sepanjang hari ini, dapat dilihat perangai elit yang sulit menjadikannya sebagai pelajaran berharga tentang bagaimana hubungan antara rakyat, negara dan pengusaha dibangun dalam kerangka kebijakan publik yang manusiawi. Juga pelajaran tentang bagaimana tanggung jawab harus menjadi bagian terbesar dari martabat manusia.

Begitu juga dapat dirasakan, kasus Lapindo belum menjadi titik puncak cermin pembangunan yang menjadikan manusia hanya sebagai korban, dan profit sebagai tuan.

Tidak menjadi pelajaran berbagai kebijakan berikutnya bahwa seperti inilah muka pembangunan kita sepanjang Indonesia merdeka ini.

Dan masa reformasi tidak bisa menaikkan derajat pembangunan dari mengubah situasi gelap menjadi terang, justru menjadi alat efektif untuk menambah gelap suasana.

Pembangunan telah melahirkan deretan angka kemiskinan baru yang sangat menyedihkan dan korban-korban bergelimpangan. Kritik selalu dianggap sebagai penghalang.

Manusia hanya menjadi obyek. Hati nurani harus takluk di atas perintah kekuasaan akal. Dan akal sehat harus dikalahkan olah akal yang sakit.

Pembangunan mengalami krisis legitimasi karena meletakkan manusia sebagai obyek. Jurgen Habermas sudah sejak lama mengingatkan kita mengenai hal ini.

Dalam kajiannya yang terkemuka mengenai krisis legitimasi, ia dengan jelas menunjukkan bahwa pembangunan yang mengalami krisis legitimasi akan menyebabkan kemacetan sosial yang membelit masalah pembangunan itu sendiri.

Pada awalnya manusia merasa bebas ketika alam pikir tradisional dan mitos merupakan belenggu manusia paling utama, dan teknologi serta akal merupakan pembebasnya.

Nyatanya hadirnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianggap sebagai instrumen pambebas manusia dari mitos-mitos tradisional, justru merupakan belenggu itu sendiri, dan seringkali menjadi manusia sebagai korban.

Ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjadi mitos baru yang tak kalah membelenggunya. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kering karena ia dimiliki oleh manusia yang hanya berakal, tapi tak bernurani, hanya bisa mengkalkulasi profit tapi tak mampu berbicara keadilan.

Dalam konteks ini sudah harus dianggap final siapa penanggungjawab masalah ini. Tidak perlu lagi saling lempar batu sembunyi tangan. Dalam bisnis, komitmen moral harus dijunjung tinggi. Tanggung moral pemilik merupakan sebuah keharusan, jika ia menjalankan bisnis dalam dedikasi moralitas dan bukan profit semata.

Bangsa ini harus kembali menyadari bahwa Lapindo adalah segumpal dari gunung es fenomena bisnis yang tidak mengindahkan manusia dalam sosoknya yang utuh.

Kita akan menjadi bangsa yang hancur lebur jika tetap bertahan dan merasa benar dengan gaya membangun seperti ini, dan dengan formasi hubungan pengusaha, penguasa dan masyarakat seperti ini.

Kasus Lapindo menjadi cermin bagaimana etika bisnis dibuang dari perilaku bisnis. Bisnis memang harus mencari keuntungan, tetapi keuntungan itu bukanlah kerugian bagi yang lain.

Dalam Lapindo kita juga belajar pemerintah yang tak mampu menjalankan fungsinya memediasi si korban dan si penyebab korban. Pemerintah gagal menunjukkan dirinya sebagai pembela rakyat.

Jelas rakyat selalu dalam posisi yang dikalahkan dalam segala hal. Ini nyata karena setiap pembicaraan ganti rugi selalu dibuat terkesan berlarut-larut, dan berbagai persyaratan aneh. Dan, sampai kapan kita memiliki pengusaha dan penguasa yang abai terhadap kepentingan publik seperti ini?


NB :

Kami menyerukan Agar Kita Berdoa dan Membantu para Korban Lapindo di Sidoarjo yang Kurang di pedulikan Pemerintah.

Doa dan Bantuan Anda saat ini sangat berarti bagi Saudara-i kita yang menjadi Korban Kesewenang-wenangan Pt Lapindo Brantas dan Pemerintah RI yang tidak Tegas terhadap Pt Lapindo tersebut, hanya karena milik salah seorang Mentrinya Aburizal Bakrie!!

Pdt Masada Sinukaban Kesaktian Peduli Generasi Indonesia UKSW Salatiga Jawa Tengah


Sumber Beny Sulistio : Web Site KWI :
www.mirifica.net

Tidak ada komentar: