Jumat, 31 Oktober 2008

UU Pornografi Ditolak atau Disintegrasi Bangsa??

(Refleksi Penolakan RUU Pornografi di Salatiga pada Hari jumat 17 Oktober 2008 dan Aksi Damai Moria GBKP dan Permata GBKP di kantor DPRD SUMUT/Kantor Gubernur Sumut Rabu 22 Oktober 2008 untuk menolak RUU Pornografi)

Pro dan Kontra masalah RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sudah berganti nama menjadi RUU Pornografi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 10 tahun sejak tahun 1998-2008. Sebelumnya ada lebih 60an pasal dari draf RUU APP ini. Akan tetapi setelah banyak di protes dari berbagai kalangan kelompok Masyarakat maka saat ini RUU Pornografi ini tinggal 43 Pasal. Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah setelah menjadi 43 Pasal draf RUU Pornografi ini sudah tidak menuai Protes atau Kontroversi dari berbagai Masyarakat? Ternyata tidak, dari 43 pasal RUU Pornografi itu ada 5 Pasal yang menjadi Kontroversi yakni Pasal 1 : Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh Manusia dalam bentuk : Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan dimuka umum yang dapat membangkitkan seksual dan atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam Masyarakat.

Defenisi ini dinilai kabur, frasa “yang dapat membangkitkan seksual” tidak jelas dan subjektif, seni pertunjukan Masyarakat atau lukisan, misalnya, sangat rentan dianggap melanggar Pasal ini. Pasal 4 setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan pornografi yang memuat : A. Persanggamaan, termaksud persanggamaan menyimpang. B, kekerasan seksual. C, masturbasi atau onani. D. “Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan” atau E. alat kelamin. Definisi “mengesankan ketelanjangan” tidak jelas dan menimbulkan tafsir subjektif. Pasal 5 setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4:1. dengan definisi kabur pada pasal 4, pasal ini rentan untuk mengirim siapapun kedalam Bui/Penjara karena dituduh, misalnya, mengambil foto dari internet yang 'Mengesankan ketelanjangan'. Pasal 10 : Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau dimuka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persanggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Definisi istilah ketelanjangan, eksploitasi seksusal, bermuatan pornografi, tidak jelas dan mengandung tafsir subjektif. Pasal 21 : Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal ini dianggap berbahaya karena memberi peluang siapapun, atas nama memerangi “Pornografi” bertindak main hakim sendiri. Sangat Multi tafsir. Untuk itu, RUU Pornogarfi ini sebaiknya di tolak!!

Kita tahu, ada banyak Daerah-daerah yang menolak RUU Pornografi ini diantaranya Provinsi Papua, Bali, Jawa Barat, Sulut, Kalteng, NTT, Medan, Jakarta dan Jogyakarta. Bahkan tidak sedikit elemen Masyarakat dan Organisasi yang ikut menolaknya, PGI, KWI, PMKRI, GMKI, Fraksi PDIP, PDS, Masyarakat Seni Jogya yang dikomandoi Butet, Aktivis Perempuan yang dipimpin Ratna Sarumpaet, Olga Lidyia, Ibu Sinta Abdurahman Wahid dan Ratu Hemas dari Yogyakarta juga sangat keras menolak. Melihat situasi dan masalah itulah Kami juga di Salatiga bersama berbagai elemen Masyarakat seperti LMND, KPI, GMKI, LKU UKSW, KPGI (Kesaktian Peduli Generasi Indonesia), SRMI, YMCA, PERWASUS ikut menolak RUU Pornografi ini. Karena sebenarnya sudah ada Undang-undang No 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak/Traffiking dan KUHP. Melihat Undang-undang yang sudah ada tersebut maka, sebenarnya RUU Pornografi tidak perlu dibuat, RUU ini perlu di hentikan pembahasannya. Karena sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang Pornografi atau sejenisnya. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana Pemerintah dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Aparat yang terkait untuk segera dengan tegas melaksanakan Undang-undang yang sudah ada tersebut. Bukan malah membuat Undang-undang yang baru seperti RUU Pornografi yang dibahas oleh Pansus RUU P di DPR RI yang diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat ini.

Disamping sarat oleh “Agenda terselubung” yang mementingkan segelintir atau sekelompok orang RUU Pornografi ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan Kekerasan atau mengakibatkan munculnya “Milisi-milisi Sipil” baru dengan mengatas namakan menegakkan Moral Bangsa maka ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Golongan tertentu yang merasa di menangkan (yang pada akhirnya mereka bebas dan leluasa Menswiping siapa saja yang mereka Anggap Melanggar Undang-Undang Pornografi). Ini sangat berbahaya sekali bagi Kelangsungan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang terdiri dari berbagai-bagai Suku dan Budaya. Indonesia begitu indah dengan Kebhinekaan, mengapa harus diseragamkan seperti Budaya dari Taliban dengan Busana yang tertutup!! Pemerintah RI harus Hati-hati dalam hal ini.

RUU Pornografi Ini bisa mengakibatkan Perpecahan atau Disintegrasi Bangsa. Jadi untuk para Partai yang mendukung RUU ini seperti Golkar, Demokrat, PKS, Partai Bulan Bintang, Pan, PKB dan sebagainya segeralah menghentikan RUU Pornografi ini. Kecuali Partai PDI Perjuangan dan PDS yang menolak RUU Pornografi ini karena kedua Partai ini mengakomodir kepentingan Nasional dan Kepentingan Bangsa yang beragam. Bukan kepentingan Sekelompok atau segelintir orang saja. Pemerintah dalam hal ini Balkan Kaplale dan Pansus RUU Pornografi Agar Segera Menghentikan Pembahasan RUU Pornografi ini dengan segera mungkin, karena Sebelumnya sudah banyak yang menolak, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik Horizontal di Masyarakat bila RUU P ini dipaksakan untuk tetap di sahkan. Karena banyaknya Pro dan Kontra!! Pemerintah dan DPR RI hendaknya lebih serius mengurus masalah Korban Lapindo, Illeggal Logging, Korupsi BLBI, Korupsi Dana Aliran Bank Indonesia, Kekerasan, Pengangguran, Kemiskinan, Padi Super Toy, Blue Energi, Penggusuran, TKI, Krisis Global, Harga Sawit, Konversi Minyak Tanah ke Gas, BBM yang naik, masalah Pendidikan, Kesehatan dan sebagainya daripada mengurus masalah RUU Pornografi yang Kontroversi ini.

Dan tentunya Pemerintah/DPR RI harus menghargai Pakaian-pakaian dari budaya Bali, Jawa, Papua, Karo, Kalimantan, Sulut dan NTT yang mungkin saja mengesankan “Ketelanjangan” tapi bukan berarti Pornografi seperti yang dijelaskan di draf RUU Pornografi yang penuh Misteri dan Multi Tafsir ini. Tolong hargai Budaya yang beragam di Indonesia ini. Mengenakan Koteka di Papua dan berpakaian Adat di Bali dengan “Agak telanjang” itu bukanlah Porno bagi mereka. Sekali lagi, Negeri ini tidak mesti Seragam. Beda itu Indah. Kami, bukan tidak anti terhadap Pornografi, Sex Bebas, Kumpul Kebo, Selingkuh dan sejenisnya. Kami menolak RUU Pornografi ini karena sarat dengan Kepentingan Politik dan Golongan tertentu. Kami menjamin, bahwa Kami lebih Anti Terhadap masalah Pornografi daripada anggota Pansus DPR RI yang membahas RUU P tersebut. Mari, Urusan Moral serahkan saja kepada Keluarga dan Tokoh Agama. Bukan kepada DPR. Biarkan Masyarakat terdidik oleh Agama dan Keluarganya untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Pemerintah jangan mengurus hal-hal yang Pribadi atau Privat. Untuk itu kami dengan tegas Menolak RUU Pornografi ini, tetapi kami tetap mendukung Pemerintah RI dan Aparatnya untuk membasmi Pornogarfi dan sejenisnya dengan Undang-undang yang sudah ada tapi bukan dengan RUU Pornogarfi. Pada akhirnya RUU Pornografi dapat menimbulkan sinisme baru. Ada sekian banyak istilah yang berhubungan dengan Seksualitas dalam Teks RUU ini : Persanggamaan, Persanggamaan menyimpang, Masturbasi, Alat kelamin, menyajikan secara eksplisit Alat kelamin, dan lain-lain. Kalau seseorang membaca istilah-istilah itu dan kemudian timbul “Hasrat Seksual” pada dirinya, Apakah teks RUU inipun harus dianggap sebuah Pornografi?? Pemerintah RI sedang di Uji dengan masalah Pro dan Kontra RUU P ini. Ditolak atau Disintegrasi Bangsa? Mau pilih yang mana!!

Tuhan Yesus Memberkati AMEN

Penulis

Pdt Masada Sinukaban

Kesaktian Peduli Generasi Indonesia

Sumber:

Tempo 5 Oktober 2008 Halaman 38-39 LRB (Riset dan Wawancara)

Tempo, 19 Oktobert 2008 Halaman 34-35, Pornografi dan Asumsi-asumsi Antropologis : Ignas Kleden

Harian Kompas

You Tube RCTI Com

Draf RUU Pornografi 2008

Situs www.mirifika.

Pernyataan sikap PGI dan KWI Indonesia

Bahan Aksi Front Tolak RUU Pornografi Salatiga, Syalom Pasau, Pdt M Sinukaban DKK

Metro TV : Diskusi Tentang RUU Pornografi bersama Constan Ponggawa dari PDS dan Agung Sasongko dari PDIP

Diskusi bersama Aktivis Perempuan di Salatiga Bulan Oktober 2008 di rumah Pdt M Sinukaban

Rabu, 29 Oktober 2008

Pemekaran Kabupaten Tanah Karo Menjadi 2 dan Rencana Pembentukan Kabupaten Deli, Ayo Dukung dan Doakan!!

(Akhir-akhir ini kita bisa membaca britanya di Harian Sib Medan bahwa ada rencana untuk memekarkan Kabupatan Tanah Karo menjadi 2 dan Rencana Pembentukan Kabupaten Deli, mengapa kita tidak mendukung dan Mendoakannya.)

Sebenarnya isu Pemekaran ini sudah mengemuka pada tahun 2003 pada bulan November lalu. Beberapa tokoh Karo berkumpul di hotel Sumatera Village Ressort, mereka mencoba untuk mendiskusikan Isu Provinsi “Karo Area”. Kala itu memang isu pemekaran sangat hangat dibicarakan dimana-mana, sehingga beberapa tokoh-tokoh (mohon maaf Penulis lupa nama-namanya) Karo berkumpul untuk membicarakannya secara serius. Rencana Kabupaten-Kabupaten yang mau dimekarkan saat itu adalah Kabupaten Deliserdang menjadi Kabupaten Serdang Karo atau Karo Serdang yaitu semua wilayah Kabupaten Deliserdang yang banyak penduduknya “Orang-orang Karo”. Demikian juga Kabupaten Langkat mau di mekarkan menjadi Kabupaten Langkat Karo atau Karo Langkat. Pada saat itu sangat tepat sekali bila di lakukan pemekaran Kabupaten-Kabupaten. Dimana “kesempatan emas” yang sangat memungkinkan sekali, di dalam DPRD Deliserdang dan Langkat banyak sekali anggotanya Orang Karo. Dan yang sangat mendukung lagi adalah kebetulan Ketuanya juga adalah orang Karo, di Deliserdang pada saat itu dijabat oleh (bermarga Tarigan) dan di Kabupaten Langkat kalau tidak salah (bermarga Bangun) Maaf kalau salah penulisan marga.Tapi apa yang terjadi, seperti istilah “Ketinggalan Kereta” kita selalu ketinggalan dan hanya sebagai penonton.Tim Pemekaran pada saat itu kurang didukung oleh “Bapak-Bapak” kita yang berada di DPRD itu sendiri. Kita tahu, pada tahun 1999-2004 orang-orang Karo sangat banyak menjadi anggota DPRD dan yang menjadi anggota DPR RI. Termasuk di DPRD TK I Sumut kalau tidak salah ada 11 orang, yang berasal dari orang Karo. Sedangkan di DPR RI ada 4 atau 5 orang Karo. Yakni Mayjend Raja Kami Sembiring, Partai Tarigan, NS Sembiring dan DR Sutradara Ginting. Kini semua hanya menjadi “Kenangan Yang Terindah” nina lagu Bams Reguna Bukit dari Grup Samsons. Akan tetapi kita jangan berputus asa, mungkin saja pada saat itu bukanlah saat yang tepat. Mungkin saat inilah saat yang tepat itu!!

Beberapa waktu yang lalu Penulis membaca sebuah Berita di Internet bahwa ada Teman-teman kita yang berasal dari Berastagi yang memprakarsai berdirinya Kabupaten/Kota Brastagi. Secara Pribadi Penulis sangat mendukung sekali, mengapa Penulis katakan demikian? Bila hal ini terlaksana maka pasti Kabupaten atau Kota Berastagi itu membutuhkan Tenaga Kerja yang baru. Berarti “teman-teman Pemrakarsa Kabupaten atau Kota” baru itu menciptakan sebuah lapangan Pekerjaan yang sangat banyak (pastilah Kabupaten/Kota Berastagi menerima Ratusan PNS maupun puluhan Anggota DPRD baru). Dan yang satunya lagi kita telah memiliki 2 pemerintahan di Tanah Karo ada Bupati Tanah Karo dan ada Walikota Berastagi Umpamanya.

Sangat menarik untuk didukung. Penulis tidak mengenal “nama-nama para Pemrakarsa” atau “Aktor Intelektual” yang telah menggulirkan Inisiatip agar berdirinya Kabupaten atau Kota Berastagi ini. Tapi penulis berpikir Positip saja, pastilah ide dan gagasan ini lahir dari keinginan untuk mengembangkan atau menata kota Berastagi dan Kecamatan-Kecamatan yang berada didalamnya kearah yang lebih baik. Akan tetapi penulis sangat mengharapkan kepada “Tim Pemrakarsa Kabupaten atau Kota Berastagi” ini hendaknya memaparkan Misi dan Visi dari keinginan Tim ini di Koran, Internet maupun di majalah Maranatha GBKP. Agar seluruh masyarakat Karo tahu bahwa rencana ini adalah rencana Mulia dan kita harapkan didukung oleh segenab rakyat Tanah Karo dan secara Khusus warga Berastagi sekitarnya. Seperti yang dilakukan oleh Ketua Presidium Pemekaran Pembentukan Kabupaten Deli oleh Pt. Timbangen Ginting, BBA. Di majalah Maranatha GBKP edisi bulan Maret 2008 NO 203. Beliau menjelaskan bahwa tujuan pemekaran Kabupaten Deli adalah untuk Percepatan Pembangunan yang menyentuh Kesejahteraan Masyarakat Terpencil. Dan menurut Pt Timbangen Ginting BBA ini bahwa Pemekaran Kabupaten Deli ini adalah Aspirasi dari 10 Kecamatan diantaranya Kecamatan Sibolangit, Pancurbatu, Patumbak, Biru-Biru, STM Hilir, STM Hulu, Kutalimbaru, Delitua, Sunggal dan Namorambe. Mengapa kita tidak dukung dan doakan!! Ini juga adalah ide yang baik sekali untuk menciptakan lapangan Kerja yang baru.

Tentunya Kabupaten-kabupaten atau Kotamadya yang baru atau apapun namanya akan menciptakan lapangan kerja yang baru sekaligus juga untuk menambah “Pejabat Bupati dan Walikota” yang berasal dari orang-orang Karo sebagai Putera-putri terbaik Karo. Bahkan Penulis juga berkeingingan agar Kabupaten Langkat juga di mekarkan.

Hal ini bisa juga di pikirkan oleh para “tokoh Karo seperti Pak Nabari Ginting M.Si” yang berasal dari Langkat. Tentunya ide-ide atau gagasan yang positip dan sangat baik ini perlu sekali kita dukung dan kita Doakan. Tidak tertutup juga Kemungkinan pada saatnya nanti akan lahir Provinsi Karo Area. Bila sudah ada 4-5 Kabupaten/Kota yang merupakan basis-basis daerah orang Karo yang mungkin juga beberapa waktu yang lalu kurang di perhatikan oleh Pemprov dan Pemerintah Pusat. Secara Pribadi Penulis mau mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Tanah Karo dan Moderamen GBKP Agar melakukan sesuatu! Misalnya Mengadakan sebuah Acara atau Kegiatan tentang Pemekaran Kabupaen/Kota ini!

Panitia/penyelenggara Kegiatan sebaiknya mengundang semua Lembaga-lembaga, LSM, Yayasan dan para tokoh Karo dalam acara yang diselengarakan oleh Pemkab dan GBKP tersebut. Untuk membahas topik Pemekaran ini. Penulis pikir ini sangat Menarik sekali. Usulan penulis di acara tersebut Pembicara 8 orang saja, Pertama Ketua Umum Moderamen GBKP Pdt Dr Jadiaman Perangin-angin (Topiknya Pandangan GBKP terhadap Pemekaran atau Otonomi Daerah), Pembicara kedua Dr Sutradara Ginting (Pemekaran Kabupaten/Kota ditinjau dari Politik Dalam Negeri RI), Pembicara Ketiga Bapak Bupati Karo DD Sinulingga (Pandangan Pemkab Tanah Karo tentang Pemekaran Wilayah), Ir Jonathan Ikuten Tarigan (Pandangan LSM melihat Pemekaran-Pemekaran Kabupaten/Kota tersebut), Pt Timbangen Ginting (Visi dan Misi Pemekaran Kabupaten Deli), Pt Drs Paulus Sitepu (bagaimana Pendapat Beliau sebagai Penduduk Berastagi tentang Pemekaran Berastagi) dr Robert Valentino Tarigan S.Pd (tentang Pendidikan dan SDM Tanah Karo), Pt Ir Budi D Sinulingga (UU Otonomi daerah). Penulis pikir hal ini sangat baik untuk kita lakukan, terserah siapapun Panitianya. Baik Biro Litbang GBKP maupun Pemkab Tanah Karo dan juga mungkin Yayasan Ate keleng dan Permata Pusat GBKP. Penulis sangat merindukan Kegiatan ini berlangsung agar segala duduk persoalannya bisa di ketahui dan akhirnya bisa mendapatkan sebuah Rekomendasi atau Kesepakatan. Hal ini juga sangat membantu untuk meminimalkan Konflik karena sudah ada “Arih-arih atau Runggu bersama”. Mengapa kita tidak lakukan??. Panitianya bisa mengundang seluruh Elemen Karo, Klasis-klasis, para Pendeta dan Permata juga Mahasiswa Karo sebagai pesertanya. Usulan Penulis Kegiatan ini bisa dilakukan 3 kali pertama di Kabanjahe, kedua di Medan dan yang ketiga di Jakarta. Mengapa harus tiga kali? Karena warga Karo banyak di ketiga daerah ini. Dan agar seluruh warga Karo yang berada di ketiga daerah ini bisa menjadi wakil atau saksi sejarahnya kelak!! Dan yang terakhir seluruh hasilnya bisa di Bukukan dan disosialisasikan keseluruh Tokoh dan Masyarakat Karo baik itu lewat surat kabar, majalah Maranatha GBKP maupun lewat internet. Sekali lagi ini hanya usulan. Bagi penulis, ini adalah tugas Gereja GBKP dan para Kaum Muda Karo. Untuk masa depan Tanah Karo dan Generasi Karo juga. Istilah Penulis kalau bukan kita yang membangun Tanah Karo dan Daerah-daerah Karo ini lantas Siapa lagi?? Tidak mungkin orang “Papua atau orang Jawa” yang akan membangunnya. Dengan demikian perlu di pikirkan!! Penulis mengajak seluruh Pembaca Majalah Maranatha GBKP agar mandukung dan Mendoakannya, sekali lagi Selamat bagi panitia Pemekaran Berastagi dan Kabupaten Deli. Kiranya tujuan anda yang mulia ini bisa BerhasiL Tuhan Yesus Memberkati AMEN.

Penulis menutup Artikel ini dengan Firman Tuhan Yesus dari Matius 28:20

Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah KUperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.

Penulis

Pdt Masada Sinukaban

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah


Saatnya Menanam Hutan Bukan Merambah Hutan!!

(Bila Perambahan Hutan atau Illegal Logging di Indonesia tidak di Hentikan sesegera mungkin, maka suatu saat Generasi kita nantinya hanya membaca tentang Hutan Tropis di Buku-buku Sejarah atau melihat Fotonya di Museum)

Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Menteri Kehutanan MS Kaban (mereka bertiga perlu menyatukan sikap untuk bersama-sama menegakkan Supremasi Hukum di Bumi Indonesia ini Khususnya dalam masalah Perambahan Hutan, Ileggal Logging atau yang sering di sebut Pembalakan Liar). Trio ini diharapkan membahas topik lama yang kian Urgen, pencurian kayu secara besar-besaran. Ini masalah besar di Republik yang pencegahannya menjadi tanggung jawab ketiga instansi Pemerintah itu.

Sangat disayangkan, selama ini aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Kehutanan tidak selalu sejalan menghadapi bandit-bandit Pembalak Liar. Dalam kasus Perambahan Hutan atau Pembalakan Liar, Padahal akibat dari kejahatan terhadap hutan sudah begitu mengerikan. Setiap 12 detik, menurut data Bank Dunia 2002, satu lapangan bola Hutan Tropis Indonesia lenyap. Saban tahun Rimba seluas 40 kali wilayah jakarta Hilang dari Peta. Negara rugi rp 45 Triliun pertahun. Indonesia juga menyandang gelar juara pertama “Lomba” merusak Hutan Sedunia, dengan “Melenyapkan” 2% Hutan Tropisnya setiap tahun. Sangat ironis, dalam 2 tahun pertama masa Reformasi, yaitu 1998-2000, pembabatan liar mencapai puncaknya. Akibat buruknya bisa datang setiap saat. banjir, longsor, susut air bersih, kerusakan ekologi, rusaknya lingkungan hidup, panca roba cuaca, Pemanasan Global atau Global Warming dan masih banyak lagi tapi bandit-bandit hutan sepertinya tidak terusik sedikitpun untuk berhenti menguras Hutan.

Mereka terlalu rakus dan tidak bisa disadarkan dengan alasan beradab seperti Pelestarian Keanekaragaman Hayati atau Perlindungan Terhadap Spesies Flora Fauna yang langka. Dikepala Sang Cukong hanya duit dan duit serta duit. Semua alasan dipakai, termasuk terdengar agak masuk akal, misalnya rakyat miskin butuh makan dan karena itu rakyat menjarah Hutan. Padahal, pernyataan begini hanya Kamuflase untuk terus melalap Hutan. Rakyat miskin butuh makan, tapi mereka tak punya kebutuhan merebahkan Pohon-pohon besar jika tidak di sokong penadah Kayu curian. Tidak mungkin Rakyat kecil mampu membeli Alat-Alat Berat Penebang Pohon Jika tidak ada yang memodali Mereka. Rakyat kecil bisa hidup dari Hutan yang dikelola Baik. Tentu sudah sangat terlambat mengelola Hutan dengan baik sekarang ini. Yang perlu dilakukan saat ini hanyalah menahan derasnya arus Kepunahan Hutan kita. Ini perlu agar sekian generasi yang kelak lahir di negeri ini tidak hanya melihat-hutan Tropis di buku-buku sejarah, di foto-foto atau malah di Museum. Misi yang begini berat tak bisa jalan jika aparat hukum bergerak mengikuti Pesan “Sponsornya”.

Kapolri, Kejaksaan dan Menhut perlu bersikap lebih tegas dalam menindak Para Pelaku Perambah Hutan atau Para Cukong tanpa Kompromi. Bahkan bukan hanya mereka saja yang perlu tegas, juga sangat perlu keterlibatan secara bersama yakni dukungan Presiden, DPR, LSM, dan Rakyat bila memungkinkan juga Gereja harus bersama-sama untuk melawan mereka (para Perambah Hutan atau Pembalak Liar itu).

Bersamaan dengan pelarangan Penebangan Hutan, Pemerintah perlu cepat-cepat melansir Program Reboisasi di Hutan yang sudah koyak-moyak itu. Lapangan kerja tersedia, rakyatpun bisa hidup dari sistem pertanian “Tumpang Sari” di wilayah Reboisasi. Yang diperlukan hanyalah sikap tegas Pemerintah dalam menjalankannya. Satu sikap yang sama merupakan modal penting. Kalo sikap Bersama tidak ada, para petinggi sibuk berperang kata-kata, sementara penebangan Hutan jalan terus. Artinya, bencana mengintai kita semua, tinggal tunggu tanggal mainnya. Jadi, untuk menyelamatkan Hutan dan Indonesia, semua kita harus bertanggung jawab, disamping Pemerintah Tegas menindak para Pelaku Perambah Hutan, Rakyat Indonesia juga Harus bersama-sama Menanam Hutan yang sudah Gundul Bukan malah ikut berpartisipasi untuk Menebang Pohon atau Hutan. Agar bencana seperti “Global Warming atau Pemanasan Global” yang sedang melanda Planet Bumi kita yang hanya satu-satunya ini tidak semakin parah, maka itu cintailah!! Beberapa waktu yang lalu (akhir September 2007) tepatnya di New York Amerika Serikat dalam sidang tahunan PBB juga ada 200an Negara yang hadir membicarakan isu yang sangat menggemparkan Bumi ini. Kelanjutan hasil sidang PBB itu pada bulan Desember tanggal 3-14 Desember 2007 lalu berlangsungkan Konfrensi tingkat Dunia di Denpasar Bali, yang dihadiri oleh 189 negara untuk membahas kelangsungan hidup manusia tepatnya menyatukan sikap untuk mengantisipasi masalah Pemanasan Global!! Wah bagaimana dengan kita ya? Apakah anda dan Saya Peduli?? Secara pribadi sebenarnya saya punya sebuah ide atau gagasan yang tampaknya masuk akal atau mudah dilakukan kalau kita mau melakukannya, pertama di mulai dari setiap keluarga umat GBKP (khususnya) umat Kristiani (umumnya) di Indonesia ini. Mulailah menanam pohon di halaman rumah masing-masing, halaman gereja atau tanah kita masing-masing 2-3 pohon apa saja. Mulai dari pohon mangga, rambutan, durian, jambu, mahoni, meranti dll. Hal ini sangat membantu sekali untuk mencegah Pemanasan Global yang bisa menyebabkan perubahan iklim di Bumi ini. Saya pikir hal ini sangat membatu sekali, sudah saatnya Gereja dan para Pemimpinnya untuk lebih konsentrasi melakukan gerakan kampanye menanam pohon. Mungkin kita belum berani dengan tegas melawan para perambah hutan tapi kita masih bisa berbuat sesuatu untuk Bumi yang kita cintai ini. Sekali lagi Gereja harus menjadi pelopor untuk melakukan kegiatan mulia ini. Bila memungkinkan Gereja bisa menggalang dana untuk mengumpulkan uang untuk membeli bibit-bibit pohon untuk bisa di sumbangkan GRATIS bagi setiap rumah tangga umat Gereja GBKP, karena ini sama juga dengan memuliakan Allah karena kita turut menjaga Ciptaannya. Mari bersama kita menjaga dan melestarikan Bumi ini, Saatnya Menanam bukan Menebang!! Niskaya bila hal ini berhasil kita lakukan maka Gereja GBKP bisa menjadi Pelopor bagi Gereja-Gereja di Indonesia dan benar-benar menjadi Gereja yang Peduli Lingkungan Hidup, Selamat Peduli Ya!!

(Artikel ini diangkat dari Majalah Tempo Edisi 16 September 2007 Hal 23 dan Pernyataan LSM di Stiker Sosialisasi Peduli Lingkungan Hidup Salatiga Jawa Tengah)

Untuk menutup Artikel atau Opini sederhana ini saya akan mengutip Firman Tuhan dari Alkitab.

Lalu IA berkata kepada Mereka :

Pergilah Keseluruh Dunia Beritakanlah Injil ke segala Makhluk.

Markus 16:15

Tuhan Yesus Memberkati Kita AMEN


Penulis: Pdt Masada Sinukaban dan Baktiani Sri Melvina Br Ginting

Tolak Pemberlakuan RUU Pornografi menjadi Undang-undang!!!!

Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sempat menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat di waktu yang lampau sempat dihentikan pembahasannya oleh DPR. Namun ternyata, setelah mendapat banyak pertentangan RUU ini tetap diajukan untuk disahkan menjadi undang-undang setelah mengalami beberapa perubahan, termasuk perubahan judul menjadi RUU Pornografi.

Selain pembahasannya agak luput dari perhatian masyarakat dan juga menampung aspirasi masyarakat ternyata tidak terjadi perubahan yang substansial dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang lalu. RUUP ini masih sarat dengan beberapa masalah yang menjadi titik keberatan masyarakat di waktu yang lalu, misalnya beberapa pasal dalam RUU ini masih mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi suatu permasalahan serius. Bukan hal yang mustahil kalau hal ini akan kembali memunculkan sentimen Disintegrasi Bangsa.

Pornografi memang semakin merebak belakangan ini terutama dipicu oleh kekuatan kapitalisme yang bersinergi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pornografi kini bisa dikonsumsi semua orang tanpa memandang batas usia dan tempat. Dari anak-anak hingga masyarakat yang hidup di pelosok-pelosok desa, kini bisa mengakses pornografi melalui internet, VCD porno yang beredar secara gelap maupun telepon "esek-esek".

Hal ini tentu sangat menguatirkan. Namun, menghadapinya dengan pemberlakuan RUU Pornografi ini sangat sarat masalah atas beberapa pertimbangan berikut:

1. Perumusan Pornografi pada pasal 1 RUU ini masih sangat multi tafsir dan jauh dari kejelasan. Hal ini tidak memenuhi azas kejelasan rumusan sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Penyusunan Hukum. Misalnya ungkapan "yang dapat membangkitkan hasrat seksual" adalah berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga cara seseorang berjalan pun bisa dikenakan pada ungkapan ini. Demikian pun halnya dengan istilah "tampilan yang mengesankan ketelanjangan" (Pasal 4 poin d) Dalam menafsirkan istilah-istilah yang tidak jelas akan terbuka kemungkinan setiap orang menginterprestasikannya dengan akibat justru tidak tercapainya kepastian hukum.

2. RUU ini mengesankan seolah-olah akar segala persoalan yang menghantar bangsa Indonesia pada kemerosotan moral terletak pada seksualitas dan erotisme. Jadi kalau masalah ini diselesaikan dengan sendirinya persoalan moral juga beres. Tujuan pengaturan pornografi dengan pendekatan hukum. Membangun moralitas masyarakat dengan hukum positif akan menempatkan negara pada posisi yang sangat menentukan pun dalam hal-hal yang bersifat privat. Jika demikian halnya bukankah negara akan menjadi negara totaliter? Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauhkah wewenang negara mengawasi warga negaranya? Apakah negara juga berwenang menentukan mana yang boleh dan yang tidak boleh dibaca oleh warga-negara? Tidakkah dengan demikian, kita menolong negara menjadi sebuah negara totaliter? Menjadi persoalan adalah, apakah negara juga memiliki wewenang untuk menentukan standard moralitas tersebut sampai memasuki wilayah personal? Dan kalau ya, batasan atau standard siapakah yang akan digunakan? Kalau Negara begitu kuatnya dalam menentukan moralitas personal, dimanakah peran lembaga Keluarga, Pendidikan dan Agama?

3. Adanya pengecualian pada pasal 7 dan 14 akan mengaburkan substansi RUU ini. Hukum dengan pengecualian akan menimbulkan diskriminasi dan sangat rawan terhadap manipulasi dan korupsi.

4. Tidak menghargai keragaman perspektif, terutama kekayaan ekspresi social budaya tradisional maupun kontemporer, baik komunal maupun personal yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kepelbagaian budaya yang sangat beragam akan tereliminir oleh pemberlakuan RUU ini menjadi Undang-Undang. Padahal Pasal 28 dan 32 UUD 1945 nyata-nyata memberikan jaminan akan keragaman budaya ini dan merupakan identitas serta hak masyarakat. Penegasan akan kebebasan mengekspresikan keragaman budaya tersebut dikuatirkan akan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Sementara itu, tujuan reformasi kita adalah terwujudnya sebuah civil-society di negeri kita. Salah satu cirinya adalah kedewasaan warga negara di dalam menyikapi berbagai keberagaman.

Oleh karena beberapa pertimbangan diatas, maka kami menolak diberlakukannya RUU Pornografi ini menjadi Undang-Undang.

Kami menyadari adalah suatu kebutuhan akan pengaturan dan penertiban tentang pornografi. Namun, yang dibutuhkan adalah penertiban dan pengaturan distribusi yang lebih bertanggung-jawab atas produk-produk pornografi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pemberlakuan Undang-Undang yang telah ada terkait dengan masalah ini seperti UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kiranya keberatan atas keberadaan RUU Pornografi ini hendaknya tidak disalah-pahami sebagai menyetujui Pornografi.

Ditulis ulang Pdt Masada Sinukaban

KESAKTIAN PEDULI GENERASI INDONESIA

Diangkat/diambil dari Website KWI : Internet www.mirifica.net

PGI : Persekutuan Gereja-gereja Indonesia

Penting dan Mendesak !!

Syalom, Saudara-saudariku dimanapun Anda berada, dibawah ini ada Nama-nama dan Nomor HP Anggota Pansus RUU Pornografi DPR RI. Kalau boleh tolong di Telpon dan SMS mereka untuk menghentikan Pembahasan RUU Pornografi karena bisa menciptakan Perpecahan atau Disintegrasi Bangsa karena RUU Pornografi ini sangat berbahaya bagi kelangsungan Bangsa Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Pemerintah RI dan Pansus RUU Pornografi DPR RI ini harus menjunjung Perbedaan atau Ke Bhinekaan, bukan mengutamakan Kepentingan Kelompok atau Golongan Tertentu saja, Demi NKRI!!

Salam Demokrasi dan Merdeka!!! GBU

1. Ibu Eva Sundari dari PDIP 08123114631

2. Bpk Agung Sasongko dari PDIP 08122651370

3. Ibu Dewi dari PDIP 08161835093

4. Ibu Badariah dari PKB 0811948812

5. Balkan Kaplale dari Demokrat 081383891001

6. Yoyoh dari PKS 081385510222

7. Chairunisa dari Golkar 0811142386

8. Tamburaka 081310108004

9. Zubairi Hasan PPP 081319221144

Mungkin akan disahkan 30 Oktober atau akhir November 2008

Tolong sebarkan sebanyak mungkin Kepada seluruh Teman-teman Seperjuangan yang Nasionalis atau Pejuang Demokrasi dan masih Peduli terhadap nasib Bangsa Indonesia ini Pesan SMS ini kami terima dari : Ibu Sylvana Ranti Apituley



Salatiga 27 Oktober 2008

Dari Kami Pdt Masada Sinukaban Dan Syalom Pasau

Kesaktian Peduli Generasi Indonesia dan LMND Salatiga Jawa Tengah

Tuhan Yesus Memberkati AMEN

RUU Pornografi Ditolak atau Disintegrasi Bangsa??

(Refleksi Penolakan RUU Pornografi di Salatiga pada Hari jumat 17 Oktober 2008 dan Aksi Damai Moria GBKP dan Permata GBKP di kantor DPRD SUMUT/Kantor Gubernur Sumut Rabu 22 Oktober 2008 untuk menolak RUU Pornografi)

Pro dan Kontra masalah RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sudah berganti nama menjadi RUU Pornografi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 10 tahun sejak tahun 1998-2008. Sebelumnya ada lebih 60an pasal dari draf RUU APP ini. Akan tetapi setelah banyak di protes dari berbagai kalangan kelompok Masyarakat maka saat ini RUU Pornografi ini tinggal 43 Pasal. Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah setelah menjadi 43 Pasal draf RUU Pornografi ini sudah tidak menuai Protes atau Kontroversi dari berbagai Masyarakat? Ternyata tidak, dari 43 pasal RUU Pornografi itu ada 5 Pasal yang menjadi Kontroversi yakni Pasal 1 : Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh Manusia dalam bentuk : Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan dimuka umum yang dapat membangkitkan seksual dan atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam Masyarakat.

Defenisi ini dinilai kabur, frasa “yang dapat membangkitkan seksual” tidak jelas dan subjektif, seni pertunjukan Masyarakat atau lukisan, misalnya, sangat rentan dianggap melanggar Pasal ini. Pasal 4 setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan pornografi yang memuat : A. Persanggamaan, termaksud persanggamaan menyimpang. B, kekerasan seksual. C, masturbasi atau onani. D. “Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan” atau E. alat kelamin. Definisi “mengesankan ketelanjangan” tidak jelas dan menimbulkan tafsir subjektif. Pasal 5 setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4:1. dengan definisi kabur pada pasal 4, pasal ini rentan untuk mengirim siapapun kedalam Bui/Penjara karena dituduh, misalnya, mengambil foto dari internet yang 'Mengesankan ketelanjangan'. Pasal 10 : Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau dimuka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persanggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Definisi istilah ketelanjangan, eksploitasi seksusal, bermuatan pornografi, tidak jelas dan mengandung tafsir subjektif. Pasal 21 : Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal ini dianggap berbahaya karena memberi peluang siapapun, atas nama memerangi “Pornografi” bertindak main hakim sendiri. Sangat Multi tafsir. Untuk itu, RUU Pornogarfi ini sebaiknya di tolak!!

Kita tahu, ada banyak Daerah-daerah yang menolak RUU Pornografi ini diantaranya Provinsi Papua, Bali, Jawa Barat, Sulut, Kalteng, NTT, Medan, Jakarta dan Jogyakarta. Bahkan tidak sedikit elemen Masyarakat dan Organisasi yang ikut menolaknya, PGI, KWI, PMKRI, GMKI, Fraksi PDIP, PDS, Masyarakat Seni Jogya yang dikomandoi Butet, Aktivis Perempuan yang dipimpin Ratna Sarumpaet, Olga Lidyia, Ibu Sinta Abdurahman Wahid dan Ratu Hemas dari Yogyakarta juga sangat keras menolak. Melihat situasi dan masalah itulah Kami juga di Salatiga bersama berbagai elemen Masyarakat seperti LMND, KPI, GMKI, LKU UKSW, KPGI (Kesaktian Peduli Generasi Indonesia), SRMI, YMCA, PERWASUS ikut menolak RUU Pornografi ini. Karena sebenarnya sudah ada Undang-undang No 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak/Traffiking dan KUHP. Melihat Undang-undang yang sudah ada tersebut maka, sebenarnya RUU Pornografi tidak perlu dibuat, RUU ini perlu di hentikan pembahasannya. Karena sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang Pornografi atau sejenisnya. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana Pemerintah dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Aparat yang terkait untuk segera dengan tegas melaksanakan Undang-undang yang sudah ada tersebut. Bukan malah membuat Undang-undang yang baru seperti RUU Pornografi yang dibahas oleh Pansus RUU P di DPR RI yang diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat ini.

Disamping sarat oleh “Agenda terselubung” yang mementingkan segelintir atau sekelompok orang RUU Pornografi ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan Kekerasan atau mengakibatkan munculnya “Milisi-milisi Sipil” baru dengan mengatas namakan menegakkan Moral Bangsa maka ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Golongan tertentu yang merasa di menangkan (yang pada akhirnya mereka bebas dan leluasa Menswiping siapa saja yang mereka Anggap Melanggar Undang-Undang Pornografi). Ini sangat berbahaya sekali bagi Kelangsungan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang terdiri dari berbagai-bagai Suku dan Budaya. Indonesia begitu indah dengan Kebhinekaan, mengapa harus diseragamkan seperti Budaya dari Taliban dengan Busana yang tertutup!! Pemerintah RI harus Hati-hati dalam hal ini.

RUU Pornografi Ini bisa mengakibatkan Perpecahan atau Disintegrasi Bangsa. Jadi untuk para Partai yang mendukung RUU ini seperti Golkar, Demokrat, PKS, Partai Bulan Bintang, Pan, PKB dan sebagainya segeralah menghentikan RUU Pornografi ini. Kecuali Partai PDI Perjuangan dan PDS yang menolak RUU Pornografi ini karena kedua Partai ini mengakomodir kepentingan Nasional dan Kepentingan Bangsa yang beragam. Bukan kepentingan Sekelompok atau segelintir orang saja. Pemerintah dalam hal ini Balkan Kaplale dan Pansus RUU Pornografi Agar Segera Menghentikan Pembahasan RUU Pornografi ini dengan segera mungkin, karena Sebelumnya sudah banyak yang menolak, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik Horizontal di Masyarakat bila RUU P ini dipaksakan untuk tetap di sahkan. Karena banyaknya Pro dan Kontra!! Pemerintah dan DPR RI hendaknya lebih serius mengurus masalah Korban Lapindo, Illeggal Logging, Korupsi BLBI, Korupsi Dana Aliran Bank Indonesia, Kekerasan, Pengangguran, Kemiskinan, Padi Super Toy, Blue Energi, Penggusuran, TKI, Krisis Global, Harga Sawit, Konversi Minyak Tanah ke Gas, BBM yang naik, masalah Pendidikan, Kesehatan dan sebagainya daripada mengurus masalah RUU Pornografi yang Kontroversi ini.

Dan tentunya Pemerintah/DPR RI harus menghargai Pakaian-pakaian dari budaya Bali, Jawa, Papua, Karo, Kalimantan, Sulut dan NTT yang mungkin saja mengesankan “Ketelanjangan” tapi bukan berarti Pornografi seperti yang dijelaskan di draf RUU Pornografi yang penuh Misteri dan Multi Tafsir ini. Tolong hargai Budaya yang beragam di Indonesia ini. Mengenakan Koteka di Papua dan berpakaian Adat di Bali dengan “Agak telanjang” itu bukanlah Porno bagi mereka. Sekali lagi, Negeri ini tidak mesti Seragam. Beda itu Indah. Kami, bukan tidak anti terhadap Pornografi, Sex Bebas, Kumpul Kebo, Selingkuh dan sejenisnya. Kami menolak RUU Pornografi ini karena sarat dengan Kepentingan Politik dan Golongan tertentu. Kami menjamin, bahwa Kami lebih Anti Terhadap masalah Pornografi daripada anggota Pansus DPR RI yang membahas RUU P tersebut. Mari, Urusan Moral serahkan saja kepada Keluarga dan Tokoh Agama. Bukan kepada DPR. Biarkan Masyarakat terdidik oleh Agama dan Keluarganya untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Pemerintah jangan mengurus hal-hal yang Pribadi atau Privat. Untuk itu kami dengan tegas Menolak RUU Pornografi ini, tetapi kami tetap mendukung Pemerintah RI dan Aparatnya untuk membasmi Pornogarfi dan sejenisnya dengan Undang-undang yang sudah ada tapi bukan dengan RUU Pornogarfi. Pada akhirnya RUU Pornografi dapat menimbulkan sinisme baru. Ada sekian banyak istilah yang berhubungan dengan Seksualitas dalam Teks RUU ini : Persanggamaan, Persanggamaan menyimpang, Masturbasi, Alat kelamin, menyajikan secara eksplisit Alat kelamin, dan lain-lain. Kalau seseorang membaca istilah-istilah itu dan kemudian timbul “Hasrat Seksual” pada dirinya, Apakah teks RUU inipun harus dianggap sebuah Pornografi?? Pemerintah RI sedang di Uji dengan masalah Pro dan Kontra RUU P ini. Ditolak atau Disintegrasi Bangsa? Mau pilih yang mana!!

Tuhan Yesus Memberkati AMEN


Sumber:

Tempo 5 Oktober 2008 Halaman 38-39 LRB (Riset dan Wawancara)

Tempo, 19 Oktobert 2008 Halaman 34-35, Pornografi dan Asumsi-asumsi Antropologis : Ignas Kleden

Harian Kompas

You Tube RCTI Com

Draf RUU Pornografi 2008

Situs www.mirifika.

Pernyataan sikap PGI dan KWI Indonesia

Bahan Aksi Front Tolak RUU Pornografi Salatiga, Syalom Pasau, Pdt M Sinukaban DKK

Metro TV : Diskusi Tentang RUU Pornografi bersama Constan Ponggawa dari PDS dan Agung Sasongko dari PDIP

Diskusi bersama Aktivis Perempuan di Salatiga Bulan Oktober 2008 di rumah Pdt M Sinukaban

Kamis, 23 Oktober 2008

Pengaruh Televisi dan Budaya Populer bagi Generasi Muda Indonesia

Dr Robert Valentino Tarigan S.Pd Calon DPD Sumut 2009-2014 Sang Pejuang Lingkungan Hidup dan Pejuang Pendidikan Pernah Berkata : “Jangan Wariskan Air Mata bagi Anak Cucu Kita tapi Wariskanlah Mata Air”


I. Pendahuluan

A. Televisi

Televisi, sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus disalah satu sudut ruang rumah tangga kita, barang kali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh gelar, seperti jendela dunia, kotak ajaib, kotak dungu. Televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh Ibu moderinitas. Televisi memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan idiologi gender secara amat halus dan tentu saja tidak jarang pula ia mempertontonkannya secara begitu amat telanjang. Dan ingin ditegaskan disini adalah bagaimana produk tehnologi itu telah menjelma menjadi agen atau produsen kebudayaan. Dilayar kotak ajaib ini sport iklan yang semula tersedia hanya sekedar untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan bisnis, ternyata telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan.
Itu artinya, ketika kita menghadapi kotak ajaib bernama televisi, kita sesungguhnya tidak hanya tengah berhadapan dengan informasi an sich. Tetapi, pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan kebudayaan yang dipaketkan atau kebudayaan kemasan. Untuk membangun citra, produk barang yang di iklan atau komoditi itu perlu diperindah atu dikemas dengan semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua ini tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditi tontonan yang akan dipajangkan dietalase budaya populer[1].
Tak heran, kalau kita juga bisa menyaksikan tak jarang dilayar kaca, iklan justru lebih menarik dari sebuah mata, cara yang justru semula dirancang untuk menghibur. Dengan estetika komoditi, kita justru merasa senang dan larut meskipun sebenarnya kita tengah dihibur oleh berondongan iklan yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja, dan hidup dalam gaya. Televisi bisa merubah pola pikir dan keinginan orang yang menontonnya. Dari yang semula tidak mau membeli sebuah Produk, katakanlah itu Handphone atau Laptop. Akhirnya kita membelinya meskipun dengan keadaan Ekonomi terpaksa. Bahasa gaulnya kita sering jadi Korban Iklan. Menjadi Budaya latah atau ikut-ikutan saja. Padahal Handphone atau Laptop tersebut bukanlah kebutuhan kita misalnya. Akan tetapi karena hampir semua orang telah memiliki Handphone atau Laptop, kita takut dikatakan ketinggalan Zaman! Rupanya produk estetika komoditi ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukkan ruang keluarga kita termasuk yang paling privasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan.
Rengekan anak-anak agar orangtua mereka membeli barang mulai dari berbagai jenis mainan hingga jenis shampoo, sabun mandi, alat belajar dan bahkan hingga kegandrungan akan dunia fantasi yang dikontruksi oleh pasar kini telah hadir sendiri keruang keluarga masyarakat kontemporer. Itu artinya, diakui atau tidak televisi telah menjadi bagian yang amat penting sebagai perpanjangan tangan pasar. Teks-teks dan trik-trik iklan mulai menjadi wacana dunia Anak-anak yang lebih menarik dari pelajaran bahas yang membosankan yang mereka dapatkan diruang kelas. Dalam hal ini, perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi lembaga pendidikan imajiner anak-anak jaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal ulang dan mendiktekan waktu belajar, bermain dan tidur Anak-anak. Hal inilah yang berbahaya bagi Generasi Muda Indonesia, bisa membuat Bangsa ini menjadi Bangsa yang serba Konsumtif atau Konsumerisme.
Lebih dari itu, dengan estetika komoditi ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek lainnya berubah menjadi estetika kekerasan yang pada gilirannya menjelma menjadi kekerasan estetika itu sendiri. Dan, komoditi kekerasan ditelevisipun sebenarnya menjadi sebentuk kekerasan komoditi. Seperti halnya tayangan teror dan sadisme dilayar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari. Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi sementara perbincangan politik bisa menjadi dagelan. Perang pun bisa dinikmati seperti Telenovela. Tak heran, kalau kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang berkenaan dengan Demokrasi, tetapi televisi juga ikut berperan dalam menciptakan krisis Demokrasi. Itulah barang kali kritikan yang paling menohog terhadap komodifikasi estetika komoditi yang semata-mata berakar dari dunia yang mengkultuskan moralitas kapitalis. Inilah irono brutalisme dibalik Budaya Populer Global yang melahirkan hero dan penjahat ditingkat percaturan Politik Global[2].
Televisi adalah suatu bentuk Budaya Pop akhir Abad kedua puluh. Tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu paling luang di Dunia. Pada saat ini, diseluruh dunia ada lebih 3,5 milyar jam dihabiskan untuk menonton televisi (Kubey dan Csikzentmihalyi 1990) khalayak Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton sekitar dua kalinya (Allen 1992). Orang Amerika 'rata-rata' akan menghabiskan lebih dari tujuh tahun menonton televisi (Kubey dan Csikszentmihalyi 1990). Lain lagi di Indonesia, pada era tahun 1980an hanya TVRI lah stasiun Televisi yang menghiasi wajah pertelevisian kita. Televisi pada saat itu belum banyak pengaruhnya bagi kehidupan bermasyarakat. Karena tahun 80an hanya segelintir Orang saja yang memliki yang namanya Televisi. Lain dulu, lain sekarang. Saat ini sudah ada lebih 10 stasiun Televisi Swasta Nasional yang hadir ke tengah-tengah Masyarakat Indonesia. Televisi mulai siar jam 5.00 pagi hingga jam 1.00 malam dengan berbagai tawaran tayangan seperti Brita, Hiburan, Kekerasaan, Kartun, Porno aksi, Kriminalitas, Film, Infotaimen dan sebagainya. Belum lagi Tawaran Televisi Luar Negeri yang sampai 24 jam! Disinilah Televisi mulai dan sudah banyak merubah Prilaku dan pola hidup Masyarakat Indonesia khususnya Generasi Muda.
Televisi yang seharusnya menjadi Pendidik, Penghibur dan memberikan Informasi kepada Masyarakat Indonesia. Saat ini sudah menjadi Televisi yang penuh Iklan dan Televisi yang penuh tayangan yang tidak mendidik bahkan merusak. Padahal seharusnya Televisi tidak begitu. Televisi menjadi Pemberi Informasi, menyampaikan Brita dan memberikan Pendidikan bagi Bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya. Hanya sebagai sarana jualan oleh para Kapitalisme Global. Generasi Muda Indonesia harus di jaga dari keadaan ini. Bila tidak di jaga, mungkin saja akan berpengaruh kearah yang tidak baik. Bisa jadi Generasi Muda Indonesia terpengaruh oleh tayangan-tayangan Kekerasan, Konsumerisme, Hedonisme, Materliasme, Individualisme dan “Budaya Belanja”. Karena itulah tayangan-tayangan yang setiap hari disuguhkan kepadanya. Generasi Muda ini bisa menjadi Generasi tanpa Bentuk alias tidak punya Identitas. Barang kali publikasi Stuart Hall 'econding in the Televisual Discourse' (Hall, 1973) adalah jawabannya jika kita berniat menemukan momen kala cultural studies pertama kali muncul dari leavisisme-kiri, versi 'pesimistis' marxisme, model-model komunikasi massa Amerika, kulturalisme, dan strukturalisme.
Dalam model komunikasi televisual dari Hall sirkulasi 'makna' dalam wacana televisual melewati tiga momen yang berbeda : masing-masing punya kondisi eksistensi dan modalitasnya yang spesifik'. Pertama-tama, para profesional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus mereka tentang, misalnya, sebuah peristiwa sosial yang 'mentah'. Pada momen dalam sirkuit ini, serangkaian cara melihat dunia (idiologi-idiologi) berada 'dalam kekuasaan'[3].
John fiske berpendapat bahwa komoditas budaya termasuk televisi yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus : ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna – makna, kesenangan dan identitas sosial. Tentu saja ada interaksi yang kontiniu diantara dua ekonomi yang terpisah namun terkait ini.
Fiske berpendapat bahwa perlawanan terhadap kekuatan sang penguasa oleh mereka yang lemah di masyarakat barat mengambil dua bentuk, semiotik dan sosial. Yang pertama terutama berkenaan dengan makna, kesenangan, dan identitas sosial. Yang kedua berkenaan dengan transpormasi sistem sosial ekonomi. Pendekatan Fiske terhadap budaya pop – termasuk televisi – adalah pendekatan yang mengakui budaya pop sebagai sebuah media pertarungan dan walaupun mengakui kekuasaan terhadap kekuatan dominasi, justru memilih mengarahkan perhatiannya pada taktik-taktik populer yang dengan itu kekuatan-kekuatan ini diatasi, dihindarkan atau dilawan. Lebih lanjut, alih-alih berkonsenterasi pada praktik-praktik idiologi dominan yang marak dan membahayakan, pendekatan ini mencoba memahami perlawanan dan penghindaran sehari-hari yang membuat idiologi itu bekerja sedemikian keras dan bertubi-tubi mempertahankan dirinya sendiri dan nilai-nilainya. Pendekatan Fiske pada hakikatnya bersifat optimistik, karena dalam tenaga dan fitalitas orang-orang, pendekatan ini menemukan bukti tentang kemungkinan perubahan sosial dan motivasi untuk mendorong perubahan sosial[4].

B. Budaya Populer

Gagasan Tentang Budaya
Dapat dikatakan bahwa budaya adalah tentang keberadaan (destinctivenness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Media itu siknifikan dalam mempresentasikan identitas kepada pihak-pihak lain, serta kepada kelompok budaya yang ada. Para sosiolog tertarik kepada pelbagai norma dan nilai yang menginformasikan tindakan suatu kelompok, kepada makna yang dikenakan kepada tindakan tersebut, dam kepada produk yang dimiliki oleh kelompok tersebut yang juga memiliki makna yang dikenakan kepada mereka. Kritik-kritik tentang budaya juga dihasilkan dari norma dan nilai orang-orang yang mengkonstruksi kritik tersebut. Hal ini memiliki kesamaan dengan berargumen bahwa sulit atau hampir mustahil memberikan komentar tentang idiologi kecuali dari posisi-posisi idiologis yang lain. Bhinku Parekh (1997) mendeskripsikan lima komponen yang mendefinisikan gagasan tentang budaya bagi anggota suatu kelompok budaya yang diakui :
suatu khazanah kepercayaan yang melaluinya anggota kelompok tersebut memahami diri mereka dan dunia, serta menerapkan makna terhadap prilaku dan hubungan sosialnya;
pelbagai nilai dan norma prilaku yang mengatur hubungan sosial, menginformasikan ide-ide tentang 'kebaikan', dan ada dibelakang peristiwa kehidupan yang pokok seperti kelahiran, pernikahan dan kematian;
pelbagai ritual dan seni ekspretif yang mengomunikasikan pemahaman diri, pengalaman, dan emosi kolektif;
pelbagai konsepsi tentang sejarah yang berbeda dan tentang perbedaan dari kelompok-kelompok lain;
pengembangan karakter sosial bersama (termasuk unsur-unsur seperti motivasi dan tempramen)[5].

Konsep-Konsep Kunci
Sebagai poin awal untuk bagian ini, mungkin bermanfaat untuk merujuk kepada sirkuit budaya yang dideskripsikan oleh Paul Du Gay dkk (1997) yang mengambil representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi sebagai istilah-istilah kuncinya.

Perbedaan dan korespondensi
Perbedaan merujuk pada perbedaan sosial dan budaya, dan pada pelbagai perbedaan diantara produk budaya (yaitu media). 'Berbeda dengan' adalah hal yang membentuk keberadaan budaya (cultural destinctiveness), bahkan identitas.
● Ide tentang perbedaan banyak berhutang budi pada tulisan neo Marxis dan strukturalis seperti Louis Althusser, yang dikembangkan dalam tulisan Stuart Hall dan John Fiske.
● Konotasi negatif terhadap perbedaan ditemukan dan direpresentasikan sebagai berbeda dengan suatu norma.
● Konotasi positif dapat dilihat ketika, sebagai contoh, budaya generasi muda mengkolonisasi pelbagai artifak yang diproduksi secara massal dan menggunakan artifak tersebut untuk menekankan perbedaan kelompoknya, keberbedaan identitasnya.
Korespondensi adalah tentang pelbagai kemiripan produk, prilaku, atau norma. Hal tentang itulah menjadikan kerumunan pendukung sepak bola sebagai suatu keseluruhan subkultur yang kohesif[6].

Identitas

Konsep ini merujuk pada pemahaman tentang citra-diri dan kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya dan yang ditingkatkan oleh konsumsi produk-produk budaya dan representasi melalui media.
● Kritik-ritik tentang budaya populer sering menaruh perhatian terhadap identitas dan kelas sosial. Richard Hoggart merasa prihatin tentang 'hilangnya' budaya kelas pekerja dalam menghadapi produk media massa dan imperialisme budaya Amerika Serikat.
● Fiske memberikan penghargaan terhadap bentuk-bentuk budaya populer dan identitas yang mereka tawarkan bagi orang yang mengonsumsi bentuk-bentuk tersebut – misalnya pertunjukan gulat atau permainan ditelevisi.
● Identitas dapat berada dalam citra merek dagang yang dikonstruksi oleh suatu produk serta dalam citra kelompok yang dikonstruksi oleh penggunaan produk tersebut (antara lain) oleh kelompok tersebut. Komponen 'keren' (cool) dari identitas jaket yang dipakai oleh seorang pengikut Hip Hop adalah bagian dari perusahaan spesialis yang secara komersial mempromosikan identitas tersebut, dan bagian dari kelompok Hip Hop tersebut serta prilakunya. Para anggotanya meminjam, tapi juga memberinya, ketenangan dengan memakainya.
● Pandangan-pandangan yang pesimis tentang identitas, biasanya Marxis, melihat media mengkonstruksi orang sebagai subjek idiologi.
● Pandangan-pandangan optimis – pasca Marxis atau posmodernis – melihat orang itu aktif dan mengontrol budaya mereka, menggunakan teks (misalnya citra) dan komoditas ketika mereka ingin, serta melihat diri mereka sendiri sebagai mana mereka ingin dilihat.

Representasi

Dikaitkan dengan budaya populer, representasi sangat penting dalam merujuk kepada cara-cara media memberikan makna kepada kelompok-kelompok budaya, mengkonstruksi identitasnya dan menggunakan pelbagai makna kepada produk-produk yang digunakan oleh kelompok tersebut (seperti yang dipromosikan lewat periklanan media).

Produksi Kebudayaan
Konsep ini merujuk kepada ide bahwa dalam era produk massa, budaya adalah benda yang dimanifaktur (diproduksi), atau setidaknya menggunakan produk-produk yang dimanufaktur. Konsep ini juga merujuk pada fakta bahwa ide-ide tentang budaya dimanufaktur, melalui representasi. Theodor Adorno mendeskripsikan industri budaya yang memanufaktur produk-produk untuk konsumsi. Ia mengkritik hilangnya pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah dalam proses manufaktur yang memperlakukan konsumen sebagai objek produksinya (Adorno, 1991)[7].

Konsumsi dan Fetisisme Komoditas
Konsep ini dirumuskan oleh Karl Marx dan dikembangkan oleh penulis seperti Adorno. Produk-produk budaya adalah komoditas. Fetisisme terletak dalam nilai dan kualitas yang dikenakan terhadap produk-produk tersebut. Marx merasa prihatin bahwa pekerjaan dibelakang produk 'hilang' atau tersembunyi: bahwa barang-barang bisa memperoleh nilai yang tidak berkaitan dengan harga pekerjaan atau biaya produksi. Keprihatinan ini sangat relevan dewasa ini. Fenomena lebel desainer adalah contoh yang sempurna: jaket sweater Hilfiger, sebagai contoh, memiliki nilai tukar yang menjustifikasi harga jual yang tidal dijustifikasi oleh pikiran akal sehat tentang biaya dan laba. Sweater tersebut berhenti menjadi sekedar sweater dan menjadi objek magis yang memberikan status sosial kepada pemakainya. Hal ini persis sama dengan topeng magis dukun yang memiliki nilai budaya diluar bahan-bahannya dan pekerja yang membuatnya.
Budaya populer penuh dengan pelbagai komoditas yang difetisisasi (fetishised). Pertanyaan kunci yang diajukan adalah apakah nilai produksi adalah kreasi budaya yang 'murni', atau apakah hal tersebut benar-benar dibebankan kepada para konsumen (yaitu kaum mayoritas) untuk kepentingan produsen (yaitu pihak minoritas). Orang-orang Marxis mengambil pandangan yang terakhir: ideologi dalam pertempuran. Budaya populer dapat dilihat terutama menyangkut konsumsi barang-barang – komoditas – yang menjadikan kita melihat hubungan-hubungan sosial itu didasarkan kepada konsumsi. (Catatan kaki)


Regulasi
Konsep ini merujuk kepada pelbagai mekanisme yang memodifikasi distribusi dan penggunaan produk-produk kebudayaan. Hal tersebut menyebabkan kita kembali kepada pelbagai pertimbangan tentang hal apa yang dihargai oleh audiens dan diinginkan oleh mereka untuk dikonsumsi – yaitu permintaan (demand). Hal itu menyebabkan renungan tentang kontrol terhadap produk – yaitu persediaan (supply). Hal tersebut memunculkan pertimbangan tentang kekuasaan dan kontrol – bentuk-bentuk penyensoran, dan peran pemerintah. Konsumsi adalah sejenis prilaku sosial – misalnya berkaitan dengan mengunjungi mal belanja. Para konsumen (audiens) mungkin memilih untuk mengunjungi atau tidak mengunjungi, membeli atau tidak membeli. Tetapi mereka tidak dapat memulai produksi dan persediaan. Mereka tidak dapat menyensor atau mengontrol sumber[8].

Praktik-praktik Sosial
Konsep ini merujuk kepada prilaku dan aktivitas sosial dalam satu budaya, dan kepada makna yang dikenakan kepada prilaku tersebut. Aktifak-aktifak budaya populer adalah bagian dari prilaku, dan makna yang dikenakan kepada prilaku tersebut. Tetapi hal tersebut benar-benar merupakan aktifitas yang signifikan. Sebagai contoh, beberapa merek papan luncur (skeateboard) tertentu memiliki pelbagai macam jenis nilai yang dikenakan padanya, yang sifatnya finansial dan sosial ((status, gaya, dan seterusnya). Tetapi produk-produk tersebut tidak memiliki status tanpa praktik sosial bermain skating. Artifak-artifak budaya mungkin memang menyembunyikan praktik-praktik sosial. Hal ini berlaku ketika representasi terlibat. Sebagai contoh, foto-foto dalam majalah tentang, katakanlah, masyarakat suku Amazon mungkin menampilkan watak yang berbeda dan eksotik daripenampilan dan lingkungan mereka. Apa yang mereka sembunyikan adalah praktik orang-orang tersebut, bagai mana mereka bekerja untuk tetap hidup, bagaimana mereka berteman, dan seterusnya.

Idiologi dan Kekuasaan
Terlepas dari usaha sebagai kritikus posmodernis untuk menyingkirkan idiologi, istilah ini menembus buku ini serta pemikiran tentang budaya dan masyarakat. Pemasaran dan promosi produk-produk kebudayaan dapat dilihat sebagai promosi idiologi dibelakang produk-produk tersebut. Dalam pengertian ini, oraang yang membeli mobil baru pada masa registrasi baru juga membeli pelbagai kepercayaan dan nilai yang diminati orang-orang yang menjalankan pelbagai hal – status sosial, kemakmuran materi, baru adalah bagus, daya saing sosial. Pelbagai pandangan nilai idiologis ini menghasilkan kekuasaan bagi orang-orang yang memproduksi barang-barang kebudayaan, dan berpura-pura meningkatkan kekuasaan orang-orang yang mengkonsumsi barang-barang tersebut. Hal ini adalah ilusi. Jika orang yang sama (dengan asumsi bahwa dia benar-benar membutuhkan alat transportasi tersebut) telah membeli mobil yang berumur tiga tahun, hal tersebut tidak akan menghasilkan perbedaan terhadap kemampuan mereka untuk mengangkut diri mereka sendiri. Tetapi tentu saya budaya komoditas bukan hanya tentang kebutuhan fungsional.

Signifikasi dan Produksi Makna
Konsep ini adalah istilah yang berasal dari semiotika, dan merujuk kepada makna-makna tertentu yang diambil darimakna-makna yang mungkin ada dalam satu teks. Dalam hal budaya populer, konsep tersebut menaruh perhatian akan pentingnya makna dibalik prilaku sosial dan penggunaan artifak sosial. Sebagai contoh, botol-botol designer lager (semacam bir bermerek terkenal – penerj). Adalah artifak untuk konsumsi – bir secara harafiah, lebel dan bentuk botol secara metaforik. Pemilihan bir, kepemilikan botol, minuman dari botol dan bukan gelas, semua itu memiliki signifikasi. Konsumen membuat makna-makna sosial tentang kedudukan mereka, dan tentang kemakmuran, cita rasa, identitas, dan (biasanya) maskulinitas[9].

II. Generasi Muda

A. Generasi Muda dan Budaya Generasi Muda
Budaya Generasi Muda mungkin dianggap sebagai kategori yang terlalu diterima keberadaannya begitu saja. Merenungkan apa yang dapat kita maksudkan melalui frasa tersebut adalah bermanfaat. Dikaitkan dengan representasi, Hebdige telah menghasilkan pelbagai oposisi yang sederhana tetapi dapat diakui tentang 'generasi muda sebagai kesenangan'-'generasi muda sebagai masalah'.
Michael Brake (1985) menawarkan kepada kita:
generasi muda yang terhormat
generasi muda yang melakukan pelanggaran norma/hukum (biasanya pria)
pemberontakan-pemberontakan kebudayaan
generasi muda yang militan secara politik
Meskipun kategori-kategori ini (setidaknya 2, 3 dan 4) didefenisikan secara reflektif karena merupakan hal-hal yang menjadi perhatian utama para periset.
Fornas (1995) melihat bahwa generasi muda didefenisikan dengan tiga cara:
sebagai fase perkembangan fisiologis
sebagai kategorisosial yang dibentuk oleh institusi-institusi seperti sekolah, dan untuk sebagai didefenisikan melalui ritual-ritual sebagai konfirmasi;
sebagi fenomena kebudayaan yang berpusat pada pengungkapan identitas[10].

Poin-poin Evaluasi
Jika kita berkonsentrasi pada budaya dan kategori dominan dalam riset, maka jurang-jurang menjadi jelas. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan, sebagai contoh, adalah:
● Dimanakah studi tentang kaum pria kelas menengah berkulit putih?
● Mengapa terdapat penekanan yang begitu besar terhadap sub kultur kelas pekerja maskulin?
Terdapat sejumlah besar hal lain yang perlu diselidiki dalam hubungannya dengan kaum perempuan muda secara umum.
Hanya sangat sedikit hal yang telah ditulis tentang kaum Gay muda secara umum.
Kategori-kategori generasi muda perlu dipertimbangkan kembali. Bill Osgerby (1997) mengatakan, 'Bukannya menjadi entitas kebudayaan yang dibingkai dengan sempurna, subkultur selalu merupakan hibrida yang luwes dan terfragmentasi'.
Hubungan antara generasi muda dan mode, musik dan industri-industri media yang lain bersifat dinamis. Gagasan-gagasan tentang generasi muda hanya sebagai korban budaya konsumer tidak benar-benar kukuh, meskipun juga adalah naif untuk menyatakan bahwa orang-orang muda tidak pernah tergoda oleh pemasaran dan citra.
Pelbagai asumsi yang longgar tentang generasi muda sebagai remaja tidak mendapatkan pemeriksaan yang cermat, karena remaja muda dan remaja yang lebih tua biasanya memiliki tingkat yang sang sangat berbeda dalam otonomi, minat-minat kebudayaan, dan bahkan hubungan sosial. Remaja sebagai suatu konsep berasal dari riset pasar Amerika pada 1940-an.
Bagaimanapun kita mendefinisikan kelompok-kelompok generasi muda melalui musik, hal ini tidak akan membawa kita kelandasan yang kuat. Genre musik British jungle 1990-an melintasi pelbagai definisi lewat kelas, ras, dan gender.
Kekhasan subkultur dalam sesuatu yang disebut sebagai 'generasi muda' selalu bersifat relatif. Subkultur sama-sama memiliki beberapa aspek budaya kelas yang lebih umum dalam masyarakat, meskipun juga memiliki kekhasan. Ketika berbicara tentang 'Generasi muda' adalah mudah bagi kelompok-kelompok generasi muda yang memiliki frofil tinggi untuk mengalihkan kita dari kebenaran bahwa terdapat banyak orang muda yang 'biasa' diluar sana, yang tidak banyak berkonflik dengan generalitas budaya dan masyarakat.
Kita cenderung tergoda untuk mengatakan bahwa para sosiolog dan para budayawan lebih tertarik pada perkecualian-perkecualian.
Brake (1985) memberi kita definisi formal tentang subkultur dalam kalimat berikut ini'pelbagai sistem makna' bentuk ekspresi, atau gaya hidup yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok dalam posisi struktur subordinat ketika menanggapi sistem-sistem makna yang dominan'. Karena itu, subkultur generasi muda menjadi dapat dikenali dan khas ketika mereka berbeda, ketika mereka berjuang menghadapai pelbagai ungkapan kekuasaaan. Ungkapan-ungkapan ini dapat dilihat sebagai wacana – disekolah, perekonomian, keluarga, kelas[11].

Citra-Citra Media dan Realitas sosial
Citra-citra Generasi Muda dimedia tidak hanya selektif, tetapi juga menyiratkan semacam perpaduan yang tidak dilihat atau diraskan 'diluar sana'. Media merefleksikan kembali kepada orang-orang muda suatu deskripsi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, yang kemudinan menjadi terasimilasi dan digunakan. Dalam model ini, relitas media menjadi media. Tetapi tentu saja cerita media tidak ditelan mentah-mentah. Osgerby (dalam briggs dan Cobley, 1999) merujuk hubungan pada dua jenis realitas ini ketika dia mengatakan, 'Interfensi media... memberikan sub kultur Generasi Muda tidak hanya paparan berskala Internasional, tetapi juga suatu tingkat keseragaman dan defenisi'.
Daren Garratt (1997) menyatakan dengan cara lain ketika dia mengatakan,'liputan media merepesentasikan bagaimana mereka (kaum Punk) seharusnya berbuat bahkan jika, untuk sebagian, mereka tidak berbuat demikian selama ini'. Dengan kata lain, representasi negatif media tentang Generasi Muda sebagai masalah mengundang Generasi Muda untuk menjadi masalah.
Namun argumen lain tentang cita-cita media menyiratkan bahwa fakta tentang publisitas media itu sendiri, tentang adopsi gaya Generasi Muda oleh industri-industri mode, benar-benar menjadikan Generasi muda kurang atraktif. Yaitu, subkultur tersebut meninggalkan apa yang menjadi kelaziman. Hal ini juga terdapat dalam beberapa hal berkaitan dengan publik, ketika toko-toko kelas atas mulai menjual busana dengan resleting tambahan yang dijahitkan, dan seterusnya. Identitas Acid House, subversivitas dalam mendatangi atraksi Prodigy itu runtuh ketika logo 'tersenyum'(smiley) bawah tanah akhirnya dijual dijalan utama. Namun, pandangan ini menyiratkan suatu kesadaran yang siaga tentang apa yang dilakukan oleh media, dan sebuah maksud untuk menghindari dari terjebak dalam permainan-permainan mereka. Pandangan ini secara luas mendasari karya Paul Millis dan Dick Hebdige, pada 1970-an. Jika kita suka, pandangan tersebut adalah ide bahwa generasi muda yang mengontrol, bukan media massa.
Bukti yang tidak benar-benar mendukung pandangan ini. Bukti itupun tidak menunjukkan bahwa media sekedar membentuk identitas Generasi Muda menurut tujuan-tujuan kapitalisme. Hubungan dinamis yang terlibat lebih rumit dari pada hal tersebut dan bervariasi tergantung kepada contoh budaya Generasi Muda mana yang sedang kita bahas.
Brake (1985) mengemukakan bahwa budaya Generasi Muda menawarkan bentuk alternatif realitas sosial bagi para partisipan budaya-budaya tersebut, sebuah bentuk yang menghasilkan lebih banyak kesenangan dan lebih banyak penghargaan diri[12].

Gaya dan Identitas
Identitas tentang Generasi Muda sebagai gaya, yang menghasilkan identitas selama satu fase perkembangan pribadi ketika pelbagai isu identitas dan hubungan sosial mengemuka, adalah sangat tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut, dalam suatu pengertian, tidak dapat diperdebatkan, bahkan jika hal tersebut merupakan semua hal yang dapat dikatakan tentang budaya Generasi Muda. Seperti yang dinyatakan oleh Brake (1985) :
Sebagai orang berargumen bahwa identitas yang merupakan bagian suatu sub kultur terpisah yang dapat dikenali harus memproduksi hubungan yang bersifat perjuangan, jika bukan merupakan benar-benar oposisi terhadap budaya dominan tersebut. Namun kita juga dapat berargumen bahwa bukan menentang, sebagian budaya generasi muda menyampingkan budaya dominan, melihat sebagai tidak relevan. Para pengunjung pesta akhir pekan yang mengonsumsi e-tab pada pertengahan 1990-an mungkin cocok dengan model ini. Mereka mencoba mengabaikan dan menghindari kekuatan-kekuatan koersif arus utama (meinstream) sebisa mungkin.
Brake (1985) medeskripsikan gaya sebagai :

● Citra : busana, rambut, tatarias
● Sikap : prilaku non verbal
● Dialeg : bahasa yang digunakan

Resistensi dan Interaksi Simbolik
Hebdige (1979) berbicara tentang 'tantangan simbolik terhadap tatanan simbolik' dalam dekonstruksinya terhadap gaya budaya Generasi muda. Dia merujuk pada simbolisme diri, sebagai contoh, penggunaan peniti oleh kaum Punk. Hal ini dapat dilihat sebagai berlawanan dengan tatanan simbolisme yang lain dimana peniti adalah untuk para bayi, atau untuk perbaikan busana secara darurat, tetapi bukan untuk pamer, bukan untuk menindik atau mencabik. Jelas, ide Generasi Muda menggunakan busana untuk menentang otoritas adalah begitu lazim sehingga tidak dapat diperdebatkan. Sekolah-sekolah di Inggris menjalani pertempuran harian dengan siswa-siswa yang mensubversi seragam untuk merusak aturan-aturan. Panjang rok-rok telah menjadi sasaran pengukuran penggaris. Bagian bawah kemeja kini dikeluarkan, tidak diselipkan kedalam celana atau rok pemakainya, ketika sekolah lebih suka kemeja tersebut diselipkan. Dasi diikat dengan 'cara yang salah' dan berubah menjadi potongan-potongan tali, karena hal tersebut menjengkelkan otoritas.

Poin-poin Evaluasi
Ide'perlawanan terhadap ritual' tidak asing bagi sub kultur, tetapi merupakan prilaku yang lazim diantara generasi muda secara umum. Sekolah-sekolah mengenali 'ritual batuk yang mengganggu dalam ruang kelas' atau' bersantai-santai ditoilet untuk merokok'. Sambutan ritual dengan bertepuk tangan, tarian pogo ritual kaum Punk, dan pengulangan ritual kata 'wicked' sebagai tanda kekerenan (cool-ness) bukanlah merupakan hal yang terjadi secara sangat drastis.
Ritual-ritual yang menggunakan bahasa dan prilaku jelas merupakan tanda identitas, tanda keberadaan. Kapan ritual-ritual tersebut menjadi tanda tantangan, tanda perlawanan otoritas, sulit untuk ditentukan dan merupakan sebuah persoalan untuk diskusi. Yang menjadi persoalan disini bukanlah mengenai ritual-ritual tersebut, tetapi bertanya dengan cara apakah ritual-ritual itu menjadi mengandung perlawanan[13].

Problematisasi
Dalam suatu pengertian, gagasan tentang generasi muda sebagai masalah memiliki banyak subbagian tentang representasi Generasi Muda. Generasi muda telah didefenisikan sebagai masalah sosial tersendiri selama lebih dari 100 tahun. Pada akhir abad ke-20 terdapat lebih banyak berita dan dokumenter untuk membawakan kepada kita, secara lebih cepat dan lebih visual, lebih banyak cerita tentang masalah Generasi Muda. Secara umum, masalah-masalah ini terfokus pada kelompok dan prilaku spesifik sebagai kategori - kehamilan remaja, perusuh sepak bola.
Problematis generasi muda untuk sebagian besar merupakan simbol masalah-masalah dalam masyarakat secara keseluruhan, merupakan simbol kontradiksi-kontradiksi idiologis. Hal ini bukan untuk memanfaatkan prilaku antisosial dan kriminal tertentu – mungkin kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang individu oleh seorang pemuda. Tetapi bahkan dalam kasus seperti itu, kita dapat ingin mengajukan pelbagai pertanyaan tentang siapa yang mendefenisikan 'antisosial'.

Poin-poin evaluasi
Ide tentang Generasi Muda sebagai tidak apat dikontrol atau membutuhkan kontrol, adalah lazim ketika pelbagai representasi negatif tentang generasi muda dikonstruksi.
Model ini cocok dengan asumsi adanya pola generasional- tentang pemberontakan terhadap orangtua dan kepercayaan-kepercayaan mereka.
Juga, adalah benar untuk mengetakan bahwa, pada akhir abad ke-20, kekuatan-kekuatan yang mengontrol otoritas terlihat dalam kode sosial dan perbedaan kelas serta dijaga dalam hukum, telah berkurang selama satu priode waktu.
Generasi Muda mungkin tidak begitu sederhana dikontrol (yaitu diubah) oleh kekuatan kepercayaan sosial tau oleh kekuatan fisik (yaitu pelbagai tingkat proteksi legal).
Perubahan serta pendidikan dan hakikat pekerjaan berkaitan dengan situasi dimana hakikat kontrol dapat dipertanyakan oleh Orang-orang muda, dan pekerjaan itu sendiri tidak selalu menyediakan arena dimana kontrol dapay diterapkan[14].

Budaya Komoditas
Tempat budaya-budaya Generasi Muda dengan suatu budaya materi yang lebih umum adalah rumit. Generasi muda diundang untuk mengonsumsi, generasi muda adalah pasar, generasi muda diubah menjadi komoditas itu sendiri. 'kebutuhan untuk mengonsumsi ditemukan, dipuaskan oleh konsumsi' (Brake, 1985). Pada pihak lain, generasi muda bukan merupakan korban budaya komoditas ketika Generasi Muda tersebut menemukan pelbagai gaya dan dalam beberapa kasus menolak konsumerisme dan materialisme.
Garrath (1997) berujar tentang Generasi Muda, 'kita mengadakan kontak dengan komersialisasi mereka, bukan pembentukan mereka'. Jadi, jika toko-toko kini penuh dengan variasi 'puffa jacket' yang ada dimana-mana, maka hal ini tidak mendeskripsikan fase asal budaya generasi muda ketika garmen ini untuk pertama kali digunakan.
Terdapat ketegangan, tidak selalu merupakan kontradiksi, antara ide tentang generasi muda sebagai konsumer budaya komoditas. Budaya-budaya Generasi Muda, dalam pelbagai fasenya, sesuai dengan kedua ide ini.
Pelbagai kontradiksi dan solusi
Kita dapat berargumen bahwa budaya-budaya Generasi Muda merupakan ungkapan dan usaha untuk menghadapi pelbagai kontradiksi sosil yang memengaruhi Generasi Muda. Diantara contoh berbagai kontradiksi adalah sebagai berikut:
● Generasi muda diharapkan untuk mengambil bagian dalam masyarakat yang menghargai individualisme, tetapi mempraktikkan konformitas dalam institusi-institusi seperti sekolah.
● Generasi muda diharapkan untuk mempersiapkan diri untuk bekerja, dan diinformasikan bahwa pelbagai kualifikasi pendidikan merupakan bagian dari persiapan tersebut. Tetapi generasi muda juga mengetahui bahwa pasar pekerjaan terbatas dan bahwa pelbagai kualifikasi tidak menjamin diperolehnya pekerjaan.
● Generasi muda 'mendapat informasi' bahwa konsumsi terhadap pelbagai komoditas itu diharapkan (dan merupakan bagian yang absah dari menjadi orang dewasa) tetapi tidak mendapatkan tawaran berupa pelbagai sumberdaya untuk mengonsumsi.
● Generasi muda mengalami dan melihat pelbagai representasi budaya utama dimana konsumsi alkohol adalah lazim, tetapi juga 'mendapatkan informasi' bahwa narkoba itu terlarang.
● Generasi muda diminta menekan seksualitasnya (dalam suatu priode biologis energi seksual),tetapi dikelilingi oleh representasi-representasi media yang berkaitan dengan hal aktivitas dan ketertarikan seksual.
● Kepada generasi muda ditawarkan pelbagai representasi gaya hidup yang atraktif dan aktif, tetapi dapat mengalami kehidupan keluarga yang retak, perekonomian lokal yang hancur, yang menjadikan gaya hidup tersebut tidak terjangkau[15].

Poin-poin Evaluasi
Jika pelbagai kontradiksi tidak ditangani oleh budaya arus utama, maka adalah menarik untuk memsubversi, menolak, menentang, dan dengan pelbagai cara menangani pelbagai kontradiksi tersebut dengan menciptakan budaya alternatif yang lebih dapat dipahami.
Dengan cara lain, dapat dikatakan bahwa budaya-budaya Generasi muda adalah suatu solusi terhadap suatu masalah.

Wacana dan Homogeni
Istilah-istilah ini dapat digunakan untuk menginterpretasi budaya generasi muda. Generasi Muda dapat dilihat sebagi korban perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan diantara pelbagai wacana. Generasi Muda terjebak, sebagai contoh, antara pelbagai wacana tentang kekanak-kanakan, kedewasaan, dan pendidikan. Orang-orang Dewasa berbicara secara tidak konsisten kepada orang-orang muda seolah mereka adalah anak-anak yang terhadapnya orang-orang dewasa tersebut memiliki/seharusnya memiliki kekuasaan, tetapi jika berbicara kepada mereka seolah-olah mereka hendaknya 'dewasa' dan memiliki pelbagai bentuk tanggungjawab. Pendidikan juga menginginkan mereka untuk terap berada dalam kontrol dan menunda asumsi tentang kedewasaan, tentang independensi dan mendapatkan kekuasaan.
Pelbagai representasi Generasi muda memasukkan pelbagai kontradiksi dengan mengimpor bahasa dan makna dari pelbagai wacana, seperti wacana tentang usia dan kriminalitas. Seorang perempuan berumur 18 tahun, sebagai contoh, dapat menjadi 'Gadis', 'Perempuan', 'Ibu', atau 'Penguntil'.
Pelbagai wacana tentang Generasi Muda dalam pengertian ini sering merupakan gabungan dari wacana-wacana yang lain, tetapi semua memiliki motif mempertahankan kontrol sosial, mempertahankan pandangan-pandangan idiologis yang 'menjaga Generasi Muda supaya tetap ditempatnya.' wacana-wacana yang dominan tetap adalah menyangkut hukum, maskulinitas, dan kelas sosial[16].
III. Generasi Muda Indonesia.

A. Tantangan dan Spritualitas Generasi Muda Indonesia.
Generasi Muda adalah calon Pemimpin dimasa akan datang, baik Pemimpin di Gereja maupun Pemimpin di Pemerintahan RI. Seorang ahli pernah berkata, bila Generasi Muda hancur maka akan terjadi “Lost Generation” atau Generasi yang Hilang (Putus Generasi). Bila ini terjadi, sangat berbahaya bagi kelangsungan Gereja dan Pemerintah dimasa yang akan datang. Siapa yang akan meneruskan Pemerintahan dan Kepemimpinan Gereja di Indonesia ini bila Generasi Mudanya telah hancur. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin saja, Pemerintah dan Gereja-gereja di Indonesia terlena, mereka lupa mendidik, mendampingi, menjaga dan memperdulikan Generasi Mudanya. Terlalu asyik dengan Kedudukan dan Jabatan. Atau Mereka menganggap tidak terlalu penting memperhatikan Generasi Muda. Sehingga Generasi Muda bisa hilang di telan Modernisasi dan Zaman canggih ini. Seharusnya, Pemerintah dan Gerejalah yang menjaga Generasi Muda di Indonesia ini.
Agar Generasi Muda tidak terlibat Sex bebas, Narkoba, Hedonisme, Materialisme, Kecanduan Game, Korban Televisi (Korban Iklan), Film Porno, Situs Porno, Kumpul Kebo, dan Konsumerisme. Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi di Indonesia dan di Gereja kita?
Dengan demikian maka, Pemerintah dan Gereja perlu melakukan bimbingan dan perhatian khusus terhadap Generasi Mudanya agar tidak hancur. Pemerintah dan Gereja harus Peduli Generasinya! Gereja-gereja harus mengisi Spritualitas Generasi Mudanya dengan Firman Tuhan/Kegiatan Rohani. Agar memiliki Pondasi atau pegangan yang kuat dalam menghadapi tantangan Zaman ini. Dengan meningkatkan Spritualitas Generasi Mudanya maka diharapkan mereka bisa menghadapi tantangan Zaman ini. Atau Kritis terhadap Budaya-Budaya Apapun itu termasuk Budaya Populer.
Apakah itu Spritualitas? Spritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Roh Allah (Spirit) yang menuntun setiap orang kepada sikap pasrah dan taat pimpinanNya sehingga lahir kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai akan kehendak Tuhan (Firman Tuhan). Apakah akibatnya bila Generasi Muda tidak memiliki Spritualitas? Dan apa bedanya dengan Generasi Muda yang memiliki Spritualitas yang kuat? Jawabannya jelas ada bedanya.
Generasi Muda yang hidup tanpa Spritualitas? Akan berbahaya sekali, karena tidak mengerti tentang Kebenaran Firman Tuhan. “Hidup semau Gue” . Ketika salah seorang temannya mengajak Berjudi, Cabut, Bolos sekolah, Tawuran, Ngisap rokok, Narkoba, Minuman Keras, Sex bebas, dan menonton VCD Porno atau sejenisnya dia tidak mampu menolaknya. Karena dia tidak memiliki Spritualitas yang menjadi benteng/rambu-rambu dalam hidupnya. (Seperti Kapal tanpa Nakhoda di tengah lautan luas pastilah terombang-ambing dan akhirnya bisa tenggelam).
Sedangkan Generasi Muda yang memiliki Spritualitas pasti menolak setiap ajakan orang yang berbuat tidak benar, karena dia sudah tahu bahwa hal itu Dosa dan tidak baik dilakukan. Maka dari itu Generasi Muda harus memperkuat Spritualitasnya. Melihat tantangan yang semakin berat saja pada Zaman atau abad 21 ini.
Ibadah di Gereja setiap Minggu adalah bagian dari Spritualitas, baca Alkitab (Renungan harian) atau sering di sebut saat teduh. Berdoa, bernyanyi memuji Tuhan dan juga Puasa adalah bagian dari Spritualitas. Melakukan saat teduh di rumah sebelum pergi sekolah atau kuliah? Hal itu semua menyangkut Spritualitas Generasi Muda.
Tugas dan tanggung jawab Generasi Muda sebagai Mahasiswa atau Pelajar. Jadilah Generasi Muda yang berkwalitas, bertanggung jawab dan memiliki kemurnian tujuan hidup untuk memuliakan Tuhan Yesus dan mengasihi sesama. Terlebih menghormati Orang tua (Ayah dan Ibu) Minimal ada perubahan prilaku hidup di rumah maupun di Sekolah (Jangan mecontek atau mengopek saat ujian). Itulah Generasi Muda yang telah memiliki Spritualitas!
Tantangan-tantangan lain yang sering terjadi di dalam Keluarga adalah ketika Anak Kecanduan menonton Televisi. Hal ini bisa berdampak buruk bagi Keluarga tersebut. Karena si Anak tersebut adalah Generasi Muda yang seharusnya di didik dan di jaga agar tidak seperti itu. Sebut saja misalnya Seorang Anak yang selalu menonton Televisi sampai larut malam. Bahayanya adalah Bila dia seorang Pelajar, dia akan terlambat bangun pagi dan akhirnya tidak Sekolah. Lain lagi bila seorang Ibu yang kecanduan salah satu Sinetron di Televisi Swasta maka ia akan lupa memasak untuk Keluarganya, akhirnya akan menimbulkan banyak Pertengkaran di tengah Keluarga.
Atau si Bapak yang hanya mau menonton berita melulu tanpa mendengarkan permintaan anggota Keluarga yang lain untuk menonton Film yang kebetulan baik untuk di tonton.
Televisi itu sebenarnya baik untuk di Tonton bila diatur jadwal tontonannya dan bisa di seleksi apa-apa saja yang bisa atau tidak bisa di tonton oleh Anak. Atau kalaupun di tonton si Anak maka tanggung jawab Orang Tualah yang mendampinginya. Orang Tua harus memberikan Informasi atau jawaban yang benar kepada si Anak agar dia tidak salah memahami apa yang di tontonnya. Orang Tua harus mengajarkan atau mendidik Anak sejak dini untuk Kritis terhadap Televisi dan Seluruh tayangannya. Dan bukan hanya itu Orang Tua harus mengajarkan Sikap Kritis terhadap sesuatu yang baru, seperti Budaya Populer atau barang apapun itu. Sehingga si Anak yang adalah Generasi Muda Indonesia bisa di selamatkan dari hal-hal yang tidak baik dari Pengaruh Televisi atau Budaya Populer tersebut.


IV. Peran Keluarga, Gereja dan Pemerintah RI Mengurangi Pengaruh
Televisi Terhadap Generasi Muda Indonesia.


A. Peran Keluarga/Orang Tua
Keluarga adalah salah satu pusat pembentukan atau tempat dimana Anak mendapat pendidikan, pendidikan adalah pertama-tama tugas Orang Tua. Tujuan pendidikan adalah membantu Anak-anak, supaya mereka dengan baik, dan dengan cara bertanggungjawab mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada diri mereka. Dalam pendidikan ada hukum (=yang harus dilakukan) dan larangan (=apa yang tidak boleh dilakukan) sering tidak dapat dihindarkan. Tetapi pada anak-anak perlu dijelaskan terlebih dahulu makna hukum-hukum dan larangan itu. Kalau tidak, mereka tidak akan dapat menerima atau “Mencernakan”-nya. Memaksakan sesuatu kepada Anak-anak sama sekali tidak ada gunanya, sebab kalau ia tidak berada dibawah pengawasan “Penguasaan” Orang Tuanya, ia toh bertindak bertentangan dengan apa yang dipaksakan kepadanya.
“Kita semua mungkin pernah mendengar tentang cerita seorang Anak yang karena terpaksa tunduk dan menaati peraturan-peraturan yang keras dan tidak dapat ia pahami dari Orang Tuanya: peraturan-peraturan yang biasanya tidak lebih dari rumusan-rumusan yang kosong. Ketika ia bebas (=lepas dari kuasa Orang Tuanya), ia dengan kuat dan secara negatif memberikan reaksi dengan jalan membuang semua yang dulu diajarkan kepadanya sebagai hal-hal yang baik, perlu dan berguna.”
Mendidik itu tidak mudah, tidak cukup, kalau kita hanya menyampaikan beberapa hal saja kepada anak-anak kita, anak-anak sangat tajam melihat. Mereka segera mengetahui, apa yang Orang tua mereka katakan itu benar-benar merupakan suatu realitas yang hidup bagi mereka atau tidak. Hal yang akhir ini sangat perlu, kalau kita mau menanam kepercayaan dalam hati anak-anak kita. Tanpa kepercayaan, pendidikan tidak mempunyai arti. Karena itu, kita harus berusaha memenangkan kepercayaan anak-anak kita. Mereka harus yakin, bahwa kepercayaan mereka kepada kita tidak akan kita kecewakan. Hal ini bukan saja berlaku bagi Anak-anak besar, juga bagi Anak-anak kecil: janji yang tidak kita penuhi dapat memusnahkan kepercayaan mereka kepada kita. Sejak kecil anak-anak sudah harus mengetahui, bahwa mereka bukan hidup sendiri saja didalam dunia. Mereka hidup bersama-sama dengan Orang lain dengan Orang Tua mereka, dengan anggota-anggota lain Keluarga mereka, dengan guru mereka, dengan kawan-kawan mereka, dan lain-lain. Mereka harus belajar, bahwa dalam hidup bersama ini mereka bukan saja mempunyai hak, melainkan juga kewajiban. Karena itu mereka harus belajar taat.
Mereka harus belajar menerima, bahwa kemauan mereka tidak selalu dipenuhi, mereka harus belajar untuk memberikan sesuatu pada Orang lain, mereka harus berkorban untuk sesamanya dan lain-lain. Pendeknya mereka harus sadar, bahwa dalam hidup ini mereka bukan pusat segala sesuatu, melainkan bahwa Orang lain juga harus mendapat perhatian dan pelayanan. Kemudian pada waktunya mereka, setapak demi setapak harus belajar untuk memikul tanggungjawab.
“Pendidikan adalah tanggungjawab bersama dari kedua Orang Tua. Tetapi biasanya, si Ibu yang terutama memikul tanggungjawab ini, waktu Anak mereka masih kecil. Ia menyusuinya, ia yang kemudian memberinya makan, ia yang memandikannya, ia yang menggantikan pakaiannya, ia yang menidurkannya, dan lain-lain. Sungguhpun demikian ada baiknya jika diusahakan, supaya si Ayah turut mengambil bagian dalam pendidikan Anak itu. Hal ini penting, bukan saja sebagai realisasi dari tanggungjawab bersama, yang kita sebutkan diatas, melainkan juga untuk menghilangkan kesan seolah-olah ia hanya bertugas sebagai Orang yang memarahi dan memberikan hukuman kepada Anak-anak, kalau mereka telah besar.
Pengenalan tentang pendidikan dalam Keluarga adalah salah satu upaya yang sangat baik untuk mengantisipasi bahaya. Karena Keluarga adalah salah satu Benteng moral yang sangat kokoh untuk menghambat masuknya kedalam ruang lingkup anggota Keluarga. Sebab didalam hubungan Keluarga yang harmonis, ada terang Firman Tuhan yang menyinari Keluarga tersebut. Bagi sang Anak, secara ilmiah, Orang Tua merupakan model dan citra tentang Allah dan kehadiranNya. Hal ini dapat dibuktikan dari pengalaman masa kecil tentang hubungan yang intim dalam lingkup keluarga memberikan dampak yang luar biasa dikemudian hari, bukan saja kemampuan kita untuk akrab dengan orang lain, melainkan juga dengan Allah. Jika kita belajar dari bangsa Yahudi dalam mendidik anak-anaknya, sejak bayi didalam kandungan, Orang Yahudi telah menjadikan Anak sebagai harta yang tidak terpisahkan dari mereka. Terutama adalah bagaimana usaha mereka dalam mendidik Anak-anak mereka. Dalam dunia adat, politik, agama dan kebudayaan tidak dipisah-pishkan, maka yang terlihat adalah pendididkan Orang Tua kepada Anak-anak mereka selalu melalui pesan-pesan Agamais. Agama juga selalu menegur dan memperingatkan Orang Tua untuk mendidik Anak-anak mereka dengan benar.
“Didiklah Orang Muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan Tuhan (Amsal 22:6). Dan Kamu Bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati Anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4). Sejak masih muda mereka sudah di dasari dengan pendidikan yang patut. Displin keluarga rupanya ketat, namun disertai cinta kasih yang mendalam. Mengajar Anak-anak tentang iman dari Bapa-bapa/Nenek Moyang mereka merupakan keharusan. Setiap tahun paling tidak, Anak-anak akan mendengar cerita tentang Keluaran Israel dari tanah Mesir pada hari Raya Paskah. (Lukas 3:41-52). Hal ini masih dilakukan oleh Orang Yahudi sampai Zaman ini. (Keluaran 12:14;26-27). Ada hukum yang mengharuskan para Orang Tua untuk mengadakan “Waktu khusus” mengajar Anak-anak mereka prinsip-prinsip dasar Iman, sehingga tiap Generasi akan tahu, patuh, setia mengasihi Allah mereka. (Ulangan 6 :1-25;6:4-7,9). Setelah anak-anak itu memiliki kemampuan untuk bertanya dan ingin mengetahui alasan Iman mereka, maka Orang Tua harus memberikan jawaban yang benar kepada mereka (Ulangan 6:20-21). Pendidikan rohani Anak-anak itu tidak selalu harus melalui ritus-ritus Agamais. Ternyata tingkah laku, perbuatan Orang Tua yang Konsisten dengan Iman mereka bisa lebih ampuh untuk membantu Anak-anak tumbuh Imannya dan sehat mental Spritual.[17].
Peran pendidikan Keluarga adalah suatu hal yang sangat penting untuk dikembangkan dalam Keluarga-keluarga Kristen lainnya. Kita juga harus belajar dari metode Orang Yahudi dalam mendidik Anak-anak mereka. Karena untuk mencegah dan mengantisipasi adalah tindakan yang paling bijak. Tugas kita sebagai anggota Keluarga tetap bersosialisasi dan mengumandangkan pemahaman-pemahaman yang benar atau yang salah dari Televisi atau Budaya Populer bagi tiap-tiap anggota Keluarga. Menunjukkan perhatian yang khusus bagi anggota Keluarga agar tidak terjerat atau terjatuh kepada hal-hal yang tidak benar.. Dan hal itu dapat dilakukan bila Orang Tua tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan lain di luar rumah. Namun sebaliknya diharapkan untuk membagi waktu untuk Anak-anak di rumah kalau tidak mau Keluarga hancur dan Anak-anak terjerat. Orang Tua juga perlu memainkan peranan sebagai contoh yang baik. Orang Tua yang biasa menggunakan, termasuk rokok, dapat mempengaruhi Anak untuk ikut menyalahgunakan Zat-zat tersebut. Perlu disadari kebiasaan dalam Keluarga besar pengaruhnya pada Anak-anak. Jika Ayah atau Ibu Pemabuk atau selalu memakai obat setiap kali merasa sakit, kemungkinan besar Anak-anak akan pula menjadi pengguna Alkohol dan Obat-obatan.
Peran sebagai Pendidik dalam hal pencegahan-pencegahan juga harus di mainkan setiap Orang Tua. Beberapa informasi penting mengenai hal ini perlu di pelajari Orang Tua. Orang Tua juga harus meningkatkan peranannya sebagai pengawas. Orang Tua perlu tau siapa saja teman Anaknya, kemana mereka pergi, dan apa yang mereka lakukan. Orang Tua perlu menyadari, alasan pertama mengapa seorang Anak menjadi Bandel adalah karena adanya tekanan dari teman-teman sebayanya. Orang Tua harus sejak awal mengajarkan kepada Anak-anak bagaimana cara menolak sesuatu yang tidak benar dari teman-temannya. Itu sebabnya, ketrampilan melakukan perlawanan (Resitance skills) sudah harus diajarkan sebelum Anak berusia 9 tahun atau selambat-lambatnya 12 tahun[18]. Orang Tua kita jelas punya peran yang penting, kalau bukan yang terpenting dalam perkembangan kita. Ada berbagai gaya pengasuhan Orang Tua yang bisa amat berbeda-beda[19]. Jadi meskipun bukan yang terpenting tapi satu diantaranya.

B. Peran Gereja
Banyak cara yang dapat ditempuh oleh Gereja-gereja di Indonesia dalam menjaga dan mendampingi Generasi Mudanya. Dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan seperti Koor, Membuat Kelompok Studi, Seminar, Retreat dan sebagainya. Gereja harus peduli terhadap mereka. Gereja-gereja harus proaktif menyikapi masalah Generasi Muda ini.
Gereja hendaknya meningkatkan Pelayanan maupun bimbingan-bimbingan rohani terhadap Anggota Jemaatnya dan melakukan Konseling Pastoral terhadap Generasi Muda. Gereja harus menunjukkan peran Pelayanan yang sesungguhnya, karena Gereja memiliki tanggungjawab dalam memberikan bimbingan bagi seluruh warganya.
Gereja sebagai Institusi atau kelembagaan perlu lebih aktif berperan serta dalam memperdulikan masalah Generasi Muda ini. Gereja perlu melakukan reformasi untuk lebih peduli terhadap masalah disekitarnya maupun disekelilingnya. Peran Gereja dalam menanggulangi masalah ini adalah : menyatakan cinta kasih ke – Bapa – an Allah yang diarahkan kepada Keselamatan setiap orang : Cinta Kasih yang mengatasi setiap rasa salah. Menyatakan kutukan terhadap kejahatan-kejahatan pribadi dan sosial yang menyebabkan dan menguntungkan bagi gejala ini. Memperkuat kesaksian Injili dari orang-orang beriman yang mendedikasikan dirinya pada pengobatan bagi pemakai menurut Contoh Yesus Kristus yang tidak datang untuk di layani tetapi untuk melayani dan memberikan Hidup Nya (Matius 20 : 28 dan Filipi 2 :7).
Peran Gereja secara konkrit diwujudkan dalam : Tugas Pewartaan dan Kenabian yang memberikan Visi Injili yang otentik tentang Manusia ; tugas pelayanan yang rendah hati seperti Sang Gembala yang baik yang memberikan hidupNya sendiri bagi Domba-dombaNya ; tugas pendidikan moral bagi Orang-orang, Keluarga-keluarga dan Komunitas-komunitas disempurnakan melalui prinsip-prinsip adi kodrati dan kodrati untuk mencapai Manusia yang penuh (Menyeluruh dan total)[20]. Generasi Muda Indonesia adalah Tonggak atau Tulang punggung Gereja. Gereja harus melayani dan mendampingi mereka. Belajar dari Tuhan Yesus yang mengasihi Manusia tanpa melihat suku, bangsa, golongan dan warna kulit. (Yohanes 18 : 1 dan Yohanes 3 :16). Tuhan Yesus tidak mau melihat seorangpun Manusia binasa. Termasuk Generasi Muda Indonesia.
Gereja dan Umat Kristen mendapat tugas untuk memberitakan Injil dan Keselamatan bagi setiap Orang dan sekaligus mengasihi sesama Manusia (Matius 22 : 37-39). Tugas kita adalah untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar, bila sudah ada yang tidak benar atau jatuh kedalam dosa.. Terutama adalah tugas Gereja yang merupakan Garam dan Terang Dunia, harus berusaha mencari jalan keluar bagaimana mengantisipasi masalah-masalah Generasi Muda tersebut. Dan Umat Kristen perlu menyadari hakikatnya sebagai gambaran Allah, Allah yang kudus tidak bercacat, gambar Allah yang disiapkan untuk kehidupan yang baik dalam iman, kasih dan pengharapan[21].

C. Peran Pemerintah RI
Televisi di Indonesia dengan berbagai tayangan-tayangannya banyak yang tidak baik di tonton atau di saksikan oleh Anak atau Generasi Muda. Televisi sering kali menyajikan Iklan, film atau tayangan yang penuh dengan Pornografi atau juga Kekerasan-kekerasan. Tayangan-tayangan tersebut sudah menjadi bahaya yang serius. Saat ini Televisi menyerang Generasi Muda Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia Perlu membuat Sebuah aturan yang jelas untuk mengatur jam tayang dan lembaga khusus yang bisa menyensor Film, Iklan atau acara -acara di Televisi yang tidak baik di tonton oleh anak-anak atau Generasi Muda tersebut.
Pemerintah Indonesia sadar akan bahaya yang ditimbulkan, bisa menghancurkan Generasi Muda Indonesia dan berdampak bukan saja dimasa kini tetapi juga dimasa depan. Kesulitan penanggulangannya selama ini karena belum ada peraturan yang jelas yang melarang hal-hal tersebut diatas. Atau kalaupun sudah ada aturannya namun pada tingkat pelaksanaannya belum maksimal dilakukan.. Diperlukan pengawasan dan tindakan yang tegas..
Pemerintah Indonesia harus Konsisten dan tegas dalam menegakkan Supremasi Hukum untuk menindak para pemilik stasiun Televisi Swasta Nasional yang melanggar aturan atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian, maka bisa membuat efek jera bagi pemilik Stasiun Televisi swasta Nasional lainnya. Selain memberikan hukuman yang berat bagi mereka, Pemerintah RI perlu membuat Undang-Undang Penyiaran yang jelas. Hal ini sangat penting dilakukan di seluruh Indonesia untuk memberikan Informasi bagi Rakyat Indonesia tentang manfaat dan kegunaan Televisi. Agar seluruh Rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke mendapatkan informasi yang benar tentang Televisi. Sehingga pada saatnya nanti tayangan-tayangan yang di tampilkan akan berimbang dari segi Pendidikannya, Beritanya dan Informasinya. Bukan hanya Bisnisnya saja yang di utamakan. Sehingga Generasi Mudapun terjaga dari kehancuran!

V. Kesimpulan

Televisi-televisi di Indonesia saat ini sangat membawa pengaruh yang besar sekali. Televisi bisa mengatur anak-anak, dan membuat Anak-anak sulit diatur. Yang seharusnya dia belajar, tapi karena ada tayangan Kartun yang khusus di Televisi maka si Anak pun menonton tanpa mengingat waktu belajar. Orang Tua juga banyak yang menjadi Korban Televisi, hal ini sering terjadi, Ibu-ibu lupa tugasnya memasak dan lupa mengurus anak hanya karena Tayangan di televisi seperti Sinetron atau sejenisnya. Nah lain lagi si Bapak, Bila ada Tinju atau Sepak Bola meskipun pada hari Minggu, jangan coba-coba di ganggu, dia rela tidak pergi Ibadah ke Gereja hanya karena Tayangan Tinju atau Sepakbola tersebut. Kalau anak-anak Gadis sibuk dengan gonta-ganti Shampo atau Obat Jerawat yang di tawarkan oleh Iklan di Televisi.
Si Anak Muda merengek di belikan Handphone terbaru karena Handphone yang di pakainya saat ini sudah ketinggalam Zaman menurut Iklan di Televisi. Sebenarnya masih banyak masalah-masalh yang saat ini sedang terjadi di belahan bumi Indonesia yang di sebabkan oleh ketidakmapuan kita Mengkritisi Apa-apa saja yang di tayangkan, ditawarkan, di Iklankan oleh Televisi yang setiap hari (Non Stop) ada didepan mata kita tanpa pernah berhenti. Salahkah Televisi? Tentu tidak. Televisi adalah sebuah Produk Tegnologi yang baik untuk di pergunakan atau di manfaatkan. Akan tetapai Televisi itu bisa menjadi masalah bagi Keluarga, Gereja dan Bangsa apabila kita tidak mampu Mengkritisi atau menguasai Televisi tersebut. Bagaimana menguasainya?
Tentunya dengan menguasai diri kita terlebih dahulu. Kalau diri kita sudah terkuasai maka, apapun itu pasti kita bisa menguasainya. Kuasailah Televisi, jangan Televisi yang menguasai kita. Agar kita tidak menjadi Korban Iklan atau Korban dari yang namanya Televisi. Nah, dengan demikian maka bila Televisi sudah bisa kita kuasai maka hal itu perlu kita sampaikan dan katakan kepada masing-masing Anggota-anggota Keluarga kita yang didalamnya ada Generasi Muda atau anak-anak Kita untuk Mentransformasi Televisi atau Budaya Populer itu dengan Firman Tuhan. Biarlah Firman Tuhan Yesus Kristus yang menguasai diri kita bukan yang lain termasuk Televisi dan Budaya Populer! Agar Generasi Muda Indonesia memiliki Karakter dan Masa Depan yang Jelas dan Benar. Tidak hancur dan Tidak terombang-ambing!.
Tetapi Generasi Muda Indonesia tetap Merdeka dan Jaya!

Kepustakaan
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Gandum Mas dan LAI, Malang, 2006.
Burton Graeme, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008
Herlianto, Ecstacy dan Putaw, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000
Ibrahim Idi Subandy, Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
Joewana Satya Dkk, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba, Media Pressindo, Yogyakarta, 2001
Krisetya Mesach, Konseling Pernikahan Dan Keluarga, UKSW Salatiga, 2008.
Kompas, Keluarga Anti N, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006.
Matsumoto David, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Sinukaban Masada, Skripsi BAHAYA NARKOBA, STT Abdi Sabda Medan, 2003.
Storey John, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
Tumanggor Samuel, Orang Nasrani Pandu Bangsamu, Satu-Satu, Bandung, 2007.
Majalah :
1. Jurnal Shema, Yayasan Shema Volume 2, Semarang, 2006.
[1] Idi Subandy Ibrahim, Budaya populer Sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta, 2007, 162-163
[2] Idi Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi, Yogyakarta, 2007, 163-165
[3] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta&Bandung, 2007, 11-12
[4] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, , Jalasutra, Yogyakarta&Bandung, 2007, 31-34
[5] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, yogyakarta, 2008, 31-33
[6] Ibid, 33-34
[7] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 34-36
[8] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 36-37
[9] Graeme Burton, Media an Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 37-39
[10] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 148-149
[11] Graeme Burton Media dan Budaya Populer, Jalsutra, Yogyakarta, 2008, 149-152
[12] Graeme Burton, Media dan Buaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 152-153
[13] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 153-155
[14] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 155-156
[15] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 156-158
[16] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 158-159
[17] Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, (Seri Pastoral dan Konseling 2008), 30-31
[18] Kompas, Keluarga anti N, (Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006), 35-36
[19] David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), 110
[20] Satya Joewana Dkk, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba, (Media Pressindo, Yogyakarta, 2001), 75
[21] Herlianto, Ecstacy dan Putaw, (Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000), 56