Kamis, 23 Oktober 2008

Pengaruh Televisi dan Budaya Populer bagi Generasi Muda Indonesia

Dr Robert Valentino Tarigan S.Pd Calon DPD Sumut 2009-2014 Sang Pejuang Lingkungan Hidup dan Pejuang Pendidikan Pernah Berkata : “Jangan Wariskan Air Mata bagi Anak Cucu Kita tapi Wariskanlah Mata Air”


I. Pendahuluan

A. Televisi

Televisi, sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus disalah satu sudut ruang rumah tangga kita, barang kali adalah hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh gelar, seperti jendela dunia, kotak ajaib, kotak dungu. Televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh Ibu moderinitas. Televisi memang tidak punya jenis kelamin, tetapi konon ia memainkan idiologi gender secara amat halus dan tentu saja tidak jarang pula ia mempertontonkannya secara begitu amat telanjang. Dan ingin ditegaskan disini adalah bagaimana produk tehnologi itu telah menjelma menjadi agen atau produsen kebudayaan. Dilayar kotak ajaib ini sport iklan yang semula tersedia hanya sekedar untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan bisnis, ternyata telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan, perekayasaan.
Itu artinya, ketika kita menghadapi kotak ajaib bernama televisi, kita sesungguhnya tidak hanya tengah berhadapan dengan informasi an sich. Tetapi, pada saat yang sama kita juga sedang berhadapan dengan kebudayaan yang dipaketkan atau kebudayaan kemasan. Untuk membangun citra, produk barang yang di iklan atau komoditi itu perlu diperindah atu dikemas dengan semenarik mungkin agar memukau khalayak. Semua ini tidak lain untuk memenuhi prasyarat komoditi tontonan yang akan dipajangkan dietalase budaya populer[1].
Tak heran, kalau kita juga bisa menyaksikan tak jarang dilayar kaca, iklan justru lebih menarik dari sebuah mata, cara yang justru semula dirancang untuk menghibur. Dengan estetika komoditi, kita justru merasa senang dan larut meskipun sebenarnya kita tengah dihibur oleh berondongan iklan yang menyihir kita untuk selalu membeli, berbelanja, dan hidup dalam gaya. Televisi bisa merubah pola pikir dan keinginan orang yang menontonnya. Dari yang semula tidak mau membeli sebuah Produk, katakanlah itu Handphone atau Laptop. Akhirnya kita membelinya meskipun dengan keadaan Ekonomi terpaksa. Bahasa gaulnya kita sering jadi Korban Iklan. Menjadi Budaya latah atau ikut-ikutan saja. Padahal Handphone atau Laptop tersebut bukanlah kebutuhan kita misalnya. Akan tetapi karena hampir semua orang telah memiliki Handphone atau Laptop, kita takut dikatakan ketinggalan Zaman! Rupanya produk estetika komoditi ini menjadi sisi lain pertumbuhan masyarakat kapitalisme kontemporer yang telah berhasil memasuki dan menaklukkan ruang keluarga kita termasuk yang paling privasi sekalipun. Perlahan tapi pasti, kita sudah terbiasa dihibur bahkan diteror oleh iklan.
Rengekan anak-anak agar orangtua mereka membeli barang mulai dari berbagai jenis mainan hingga jenis shampoo, sabun mandi, alat belajar dan bahkan hingga kegandrungan akan dunia fantasi yang dikontruksi oleh pasar kini telah hadir sendiri keruang keluarga masyarakat kontemporer. Itu artinya, diakui atau tidak televisi telah menjadi bagian yang amat penting sebagai perpanjangan tangan pasar. Teks-teks dan trik-trik iklan mulai menjadi wacana dunia Anak-anak yang lebih menarik dari pelajaran bahas yang membosankan yang mereka dapatkan diruang kelas. Dalam hal ini, perlahan tapi pasti, televisi menjelma menjadi lembaga pendidikan imajiner anak-anak jaman modern. Televisi bahkan telah ikut menjadwal ulang dan mendiktekan waktu belajar, bermain dan tidur Anak-anak. Hal inilah yang berbahaya bagi Generasi Muda Indonesia, bisa membuat Bangsa ini menjadi Bangsa yang serba Konsumtif atau Konsumerisme.
Lebih dari itu, dengan estetika komoditi ini memungkinkan informasi kekerasan lewat film atau objek lainnya berubah menjadi estetika kekerasan yang pada gilirannya menjelma menjadi kekerasan estetika itu sendiri. Dan, komoditi kekerasan ditelevisipun sebenarnya menjadi sebentuk kekerasan komoditi. Seperti halnya tayangan teror dan sadisme dilayar kaca telah menjadi hiburan kita sehari-hari. Informasi kriminalitas telah menjadi santapan pagi sementara perbincangan politik bisa menjadi dagelan. Perang pun bisa dinikmati seperti Telenovela. Tak heran, kalau kemudian televisi tidak hanya mampu memotret dan memediakan isu-isu yang berkenaan dengan Demokrasi, tetapi televisi juga ikut berperan dalam menciptakan krisis Demokrasi. Itulah barang kali kritikan yang paling menohog terhadap komodifikasi estetika komoditi yang semata-mata berakar dari dunia yang mengkultuskan moralitas kapitalis. Inilah irono brutalisme dibalik Budaya Populer Global yang melahirkan hero dan penjahat ditingkat percaturan Politik Global[2].
Televisi adalah suatu bentuk Budaya Pop akhir Abad kedua puluh. Tidak diragukan lagi televisi merupakan aktivitas waktu paling luang di Dunia. Pada saat ini, diseluruh dunia ada lebih 3,5 milyar jam dihabiskan untuk menonton televisi (Kubey dan Csikzentmihalyi 1990) khalayak Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton sekitar dua kalinya (Allen 1992). Orang Amerika 'rata-rata' akan menghabiskan lebih dari tujuh tahun menonton televisi (Kubey dan Csikszentmihalyi 1990). Lain lagi di Indonesia, pada era tahun 1980an hanya TVRI lah stasiun Televisi yang menghiasi wajah pertelevisian kita. Televisi pada saat itu belum banyak pengaruhnya bagi kehidupan bermasyarakat. Karena tahun 80an hanya segelintir Orang saja yang memliki yang namanya Televisi. Lain dulu, lain sekarang. Saat ini sudah ada lebih 10 stasiun Televisi Swasta Nasional yang hadir ke tengah-tengah Masyarakat Indonesia. Televisi mulai siar jam 5.00 pagi hingga jam 1.00 malam dengan berbagai tawaran tayangan seperti Brita, Hiburan, Kekerasaan, Kartun, Porno aksi, Kriminalitas, Film, Infotaimen dan sebagainya. Belum lagi Tawaran Televisi Luar Negeri yang sampai 24 jam! Disinilah Televisi mulai dan sudah banyak merubah Prilaku dan pola hidup Masyarakat Indonesia khususnya Generasi Muda.
Televisi yang seharusnya menjadi Pendidik, Penghibur dan memberikan Informasi kepada Masyarakat Indonesia. Saat ini sudah menjadi Televisi yang penuh Iklan dan Televisi yang penuh tayangan yang tidak mendidik bahkan merusak. Padahal seharusnya Televisi tidak begitu. Televisi menjadi Pemberi Informasi, menyampaikan Brita dan memberikan Pendidikan bagi Bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya. Hanya sebagai sarana jualan oleh para Kapitalisme Global. Generasi Muda Indonesia harus di jaga dari keadaan ini. Bila tidak di jaga, mungkin saja akan berpengaruh kearah yang tidak baik. Bisa jadi Generasi Muda Indonesia terpengaruh oleh tayangan-tayangan Kekerasan, Konsumerisme, Hedonisme, Materliasme, Individualisme dan “Budaya Belanja”. Karena itulah tayangan-tayangan yang setiap hari disuguhkan kepadanya. Generasi Muda ini bisa menjadi Generasi tanpa Bentuk alias tidak punya Identitas. Barang kali publikasi Stuart Hall 'econding in the Televisual Discourse' (Hall, 1973) adalah jawabannya jika kita berniat menemukan momen kala cultural studies pertama kali muncul dari leavisisme-kiri, versi 'pesimistis' marxisme, model-model komunikasi massa Amerika, kulturalisme, dan strukturalisme.
Dalam model komunikasi televisual dari Hall sirkulasi 'makna' dalam wacana televisual melewati tiga momen yang berbeda : masing-masing punya kondisi eksistensi dan modalitasnya yang spesifik'. Pertama-tama, para profesional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus mereka tentang, misalnya, sebuah peristiwa sosial yang 'mentah'. Pada momen dalam sirkuit ini, serangkaian cara melihat dunia (idiologi-idiologi) berada 'dalam kekuasaan'[3].
John fiske berpendapat bahwa komoditas budaya termasuk televisi yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus : ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna – makna, kesenangan dan identitas sosial. Tentu saja ada interaksi yang kontiniu diantara dua ekonomi yang terpisah namun terkait ini.
Fiske berpendapat bahwa perlawanan terhadap kekuatan sang penguasa oleh mereka yang lemah di masyarakat barat mengambil dua bentuk, semiotik dan sosial. Yang pertama terutama berkenaan dengan makna, kesenangan, dan identitas sosial. Yang kedua berkenaan dengan transpormasi sistem sosial ekonomi. Pendekatan Fiske terhadap budaya pop – termasuk televisi – adalah pendekatan yang mengakui budaya pop sebagai sebuah media pertarungan dan walaupun mengakui kekuasaan terhadap kekuatan dominasi, justru memilih mengarahkan perhatiannya pada taktik-taktik populer yang dengan itu kekuatan-kekuatan ini diatasi, dihindarkan atau dilawan. Lebih lanjut, alih-alih berkonsenterasi pada praktik-praktik idiologi dominan yang marak dan membahayakan, pendekatan ini mencoba memahami perlawanan dan penghindaran sehari-hari yang membuat idiologi itu bekerja sedemikian keras dan bertubi-tubi mempertahankan dirinya sendiri dan nilai-nilainya. Pendekatan Fiske pada hakikatnya bersifat optimistik, karena dalam tenaga dan fitalitas orang-orang, pendekatan ini menemukan bukti tentang kemungkinan perubahan sosial dan motivasi untuk mendorong perubahan sosial[4].

B. Budaya Populer

Gagasan Tentang Budaya
Dapat dikatakan bahwa budaya adalah tentang keberadaan (destinctivenness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Media itu siknifikan dalam mempresentasikan identitas kepada pihak-pihak lain, serta kepada kelompok budaya yang ada. Para sosiolog tertarik kepada pelbagai norma dan nilai yang menginformasikan tindakan suatu kelompok, kepada makna yang dikenakan kepada tindakan tersebut, dam kepada produk yang dimiliki oleh kelompok tersebut yang juga memiliki makna yang dikenakan kepada mereka. Kritik-kritik tentang budaya juga dihasilkan dari norma dan nilai orang-orang yang mengkonstruksi kritik tersebut. Hal ini memiliki kesamaan dengan berargumen bahwa sulit atau hampir mustahil memberikan komentar tentang idiologi kecuali dari posisi-posisi idiologis yang lain. Bhinku Parekh (1997) mendeskripsikan lima komponen yang mendefinisikan gagasan tentang budaya bagi anggota suatu kelompok budaya yang diakui :
suatu khazanah kepercayaan yang melaluinya anggota kelompok tersebut memahami diri mereka dan dunia, serta menerapkan makna terhadap prilaku dan hubungan sosialnya;
pelbagai nilai dan norma prilaku yang mengatur hubungan sosial, menginformasikan ide-ide tentang 'kebaikan', dan ada dibelakang peristiwa kehidupan yang pokok seperti kelahiran, pernikahan dan kematian;
pelbagai ritual dan seni ekspretif yang mengomunikasikan pemahaman diri, pengalaman, dan emosi kolektif;
pelbagai konsepsi tentang sejarah yang berbeda dan tentang perbedaan dari kelompok-kelompok lain;
pengembangan karakter sosial bersama (termasuk unsur-unsur seperti motivasi dan tempramen)[5].

Konsep-Konsep Kunci
Sebagai poin awal untuk bagian ini, mungkin bermanfaat untuk merujuk kepada sirkuit budaya yang dideskripsikan oleh Paul Du Gay dkk (1997) yang mengambil representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi sebagai istilah-istilah kuncinya.

Perbedaan dan korespondensi
Perbedaan merujuk pada perbedaan sosial dan budaya, dan pada pelbagai perbedaan diantara produk budaya (yaitu media). 'Berbeda dengan' adalah hal yang membentuk keberadaan budaya (cultural destinctiveness), bahkan identitas.
● Ide tentang perbedaan banyak berhutang budi pada tulisan neo Marxis dan strukturalis seperti Louis Althusser, yang dikembangkan dalam tulisan Stuart Hall dan John Fiske.
● Konotasi negatif terhadap perbedaan ditemukan dan direpresentasikan sebagai berbeda dengan suatu norma.
● Konotasi positif dapat dilihat ketika, sebagai contoh, budaya generasi muda mengkolonisasi pelbagai artifak yang diproduksi secara massal dan menggunakan artifak tersebut untuk menekankan perbedaan kelompoknya, keberbedaan identitasnya.
Korespondensi adalah tentang pelbagai kemiripan produk, prilaku, atau norma. Hal tentang itulah menjadikan kerumunan pendukung sepak bola sebagai suatu keseluruhan subkultur yang kohesif[6].

Identitas

Konsep ini merujuk pada pemahaman tentang citra-diri dan kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya dan yang ditingkatkan oleh konsumsi produk-produk budaya dan representasi melalui media.
● Kritik-ritik tentang budaya populer sering menaruh perhatian terhadap identitas dan kelas sosial. Richard Hoggart merasa prihatin tentang 'hilangnya' budaya kelas pekerja dalam menghadapi produk media massa dan imperialisme budaya Amerika Serikat.
● Fiske memberikan penghargaan terhadap bentuk-bentuk budaya populer dan identitas yang mereka tawarkan bagi orang yang mengonsumsi bentuk-bentuk tersebut – misalnya pertunjukan gulat atau permainan ditelevisi.
● Identitas dapat berada dalam citra merek dagang yang dikonstruksi oleh suatu produk serta dalam citra kelompok yang dikonstruksi oleh penggunaan produk tersebut (antara lain) oleh kelompok tersebut. Komponen 'keren' (cool) dari identitas jaket yang dipakai oleh seorang pengikut Hip Hop adalah bagian dari perusahaan spesialis yang secara komersial mempromosikan identitas tersebut, dan bagian dari kelompok Hip Hop tersebut serta prilakunya. Para anggotanya meminjam, tapi juga memberinya, ketenangan dengan memakainya.
● Pandangan-pandangan yang pesimis tentang identitas, biasanya Marxis, melihat media mengkonstruksi orang sebagai subjek idiologi.
● Pandangan-pandangan optimis – pasca Marxis atau posmodernis – melihat orang itu aktif dan mengontrol budaya mereka, menggunakan teks (misalnya citra) dan komoditas ketika mereka ingin, serta melihat diri mereka sendiri sebagai mana mereka ingin dilihat.

Representasi

Dikaitkan dengan budaya populer, representasi sangat penting dalam merujuk kepada cara-cara media memberikan makna kepada kelompok-kelompok budaya, mengkonstruksi identitasnya dan menggunakan pelbagai makna kepada produk-produk yang digunakan oleh kelompok tersebut (seperti yang dipromosikan lewat periklanan media).

Produksi Kebudayaan
Konsep ini merujuk kepada ide bahwa dalam era produk massa, budaya adalah benda yang dimanifaktur (diproduksi), atau setidaknya menggunakan produk-produk yang dimanufaktur. Konsep ini juga merujuk pada fakta bahwa ide-ide tentang budaya dimanufaktur, melalui representasi. Theodor Adorno mendeskripsikan industri budaya yang memanufaktur produk-produk untuk konsumsi. Ia mengkritik hilangnya pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah dalam proses manufaktur yang memperlakukan konsumen sebagai objek produksinya (Adorno, 1991)[7].

Konsumsi dan Fetisisme Komoditas
Konsep ini dirumuskan oleh Karl Marx dan dikembangkan oleh penulis seperti Adorno. Produk-produk budaya adalah komoditas. Fetisisme terletak dalam nilai dan kualitas yang dikenakan terhadap produk-produk tersebut. Marx merasa prihatin bahwa pekerjaan dibelakang produk 'hilang' atau tersembunyi: bahwa barang-barang bisa memperoleh nilai yang tidak berkaitan dengan harga pekerjaan atau biaya produksi. Keprihatinan ini sangat relevan dewasa ini. Fenomena lebel desainer adalah contoh yang sempurna: jaket sweater Hilfiger, sebagai contoh, memiliki nilai tukar yang menjustifikasi harga jual yang tidal dijustifikasi oleh pikiran akal sehat tentang biaya dan laba. Sweater tersebut berhenti menjadi sekedar sweater dan menjadi objek magis yang memberikan status sosial kepada pemakainya. Hal ini persis sama dengan topeng magis dukun yang memiliki nilai budaya diluar bahan-bahannya dan pekerja yang membuatnya.
Budaya populer penuh dengan pelbagai komoditas yang difetisisasi (fetishised). Pertanyaan kunci yang diajukan adalah apakah nilai produksi adalah kreasi budaya yang 'murni', atau apakah hal tersebut benar-benar dibebankan kepada para konsumen (yaitu kaum mayoritas) untuk kepentingan produsen (yaitu pihak minoritas). Orang-orang Marxis mengambil pandangan yang terakhir: ideologi dalam pertempuran. Budaya populer dapat dilihat terutama menyangkut konsumsi barang-barang – komoditas – yang menjadikan kita melihat hubungan-hubungan sosial itu didasarkan kepada konsumsi. (Catatan kaki)


Regulasi
Konsep ini merujuk kepada pelbagai mekanisme yang memodifikasi distribusi dan penggunaan produk-produk kebudayaan. Hal tersebut menyebabkan kita kembali kepada pelbagai pertimbangan tentang hal apa yang dihargai oleh audiens dan diinginkan oleh mereka untuk dikonsumsi – yaitu permintaan (demand). Hal itu menyebabkan renungan tentang kontrol terhadap produk – yaitu persediaan (supply). Hal tersebut memunculkan pertimbangan tentang kekuasaan dan kontrol – bentuk-bentuk penyensoran, dan peran pemerintah. Konsumsi adalah sejenis prilaku sosial – misalnya berkaitan dengan mengunjungi mal belanja. Para konsumen (audiens) mungkin memilih untuk mengunjungi atau tidak mengunjungi, membeli atau tidak membeli. Tetapi mereka tidak dapat memulai produksi dan persediaan. Mereka tidak dapat menyensor atau mengontrol sumber[8].

Praktik-praktik Sosial
Konsep ini merujuk kepada prilaku dan aktivitas sosial dalam satu budaya, dan kepada makna yang dikenakan kepada prilaku tersebut. Aktifak-aktifak budaya populer adalah bagian dari prilaku, dan makna yang dikenakan kepada prilaku tersebut. Tetapi hal tersebut benar-benar merupakan aktifitas yang signifikan. Sebagai contoh, beberapa merek papan luncur (skeateboard) tertentu memiliki pelbagai macam jenis nilai yang dikenakan padanya, yang sifatnya finansial dan sosial ((status, gaya, dan seterusnya). Tetapi produk-produk tersebut tidak memiliki status tanpa praktik sosial bermain skating. Artifak-artifak budaya mungkin memang menyembunyikan praktik-praktik sosial. Hal ini berlaku ketika representasi terlibat. Sebagai contoh, foto-foto dalam majalah tentang, katakanlah, masyarakat suku Amazon mungkin menampilkan watak yang berbeda dan eksotik daripenampilan dan lingkungan mereka. Apa yang mereka sembunyikan adalah praktik orang-orang tersebut, bagai mana mereka bekerja untuk tetap hidup, bagaimana mereka berteman, dan seterusnya.

Idiologi dan Kekuasaan
Terlepas dari usaha sebagai kritikus posmodernis untuk menyingkirkan idiologi, istilah ini menembus buku ini serta pemikiran tentang budaya dan masyarakat. Pemasaran dan promosi produk-produk kebudayaan dapat dilihat sebagai promosi idiologi dibelakang produk-produk tersebut. Dalam pengertian ini, oraang yang membeli mobil baru pada masa registrasi baru juga membeli pelbagai kepercayaan dan nilai yang diminati orang-orang yang menjalankan pelbagai hal – status sosial, kemakmuran materi, baru adalah bagus, daya saing sosial. Pelbagai pandangan nilai idiologis ini menghasilkan kekuasaan bagi orang-orang yang memproduksi barang-barang kebudayaan, dan berpura-pura meningkatkan kekuasaan orang-orang yang mengkonsumsi barang-barang tersebut. Hal ini adalah ilusi. Jika orang yang sama (dengan asumsi bahwa dia benar-benar membutuhkan alat transportasi tersebut) telah membeli mobil yang berumur tiga tahun, hal tersebut tidak akan menghasilkan perbedaan terhadap kemampuan mereka untuk mengangkut diri mereka sendiri. Tetapi tentu saya budaya komoditas bukan hanya tentang kebutuhan fungsional.

Signifikasi dan Produksi Makna
Konsep ini adalah istilah yang berasal dari semiotika, dan merujuk kepada makna-makna tertentu yang diambil darimakna-makna yang mungkin ada dalam satu teks. Dalam hal budaya populer, konsep tersebut menaruh perhatian akan pentingnya makna dibalik prilaku sosial dan penggunaan artifak sosial. Sebagai contoh, botol-botol designer lager (semacam bir bermerek terkenal – penerj). Adalah artifak untuk konsumsi – bir secara harafiah, lebel dan bentuk botol secara metaforik. Pemilihan bir, kepemilikan botol, minuman dari botol dan bukan gelas, semua itu memiliki signifikasi. Konsumen membuat makna-makna sosial tentang kedudukan mereka, dan tentang kemakmuran, cita rasa, identitas, dan (biasanya) maskulinitas[9].

II. Generasi Muda

A. Generasi Muda dan Budaya Generasi Muda
Budaya Generasi Muda mungkin dianggap sebagai kategori yang terlalu diterima keberadaannya begitu saja. Merenungkan apa yang dapat kita maksudkan melalui frasa tersebut adalah bermanfaat. Dikaitkan dengan representasi, Hebdige telah menghasilkan pelbagai oposisi yang sederhana tetapi dapat diakui tentang 'generasi muda sebagai kesenangan'-'generasi muda sebagai masalah'.
Michael Brake (1985) menawarkan kepada kita:
generasi muda yang terhormat
generasi muda yang melakukan pelanggaran norma/hukum (biasanya pria)
pemberontakan-pemberontakan kebudayaan
generasi muda yang militan secara politik
Meskipun kategori-kategori ini (setidaknya 2, 3 dan 4) didefenisikan secara reflektif karena merupakan hal-hal yang menjadi perhatian utama para periset.
Fornas (1995) melihat bahwa generasi muda didefenisikan dengan tiga cara:
sebagai fase perkembangan fisiologis
sebagai kategorisosial yang dibentuk oleh institusi-institusi seperti sekolah, dan untuk sebagai didefenisikan melalui ritual-ritual sebagai konfirmasi;
sebagi fenomena kebudayaan yang berpusat pada pengungkapan identitas[10].

Poin-poin Evaluasi
Jika kita berkonsentrasi pada budaya dan kategori dominan dalam riset, maka jurang-jurang menjadi jelas. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan, sebagai contoh, adalah:
● Dimanakah studi tentang kaum pria kelas menengah berkulit putih?
● Mengapa terdapat penekanan yang begitu besar terhadap sub kultur kelas pekerja maskulin?
Terdapat sejumlah besar hal lain yang perlu diselidiki dalam hubungannya dengan kaum perempuan muda secara umum.
Hanya sangat sedikit hal yang telah ditulis tentang kaum Gay muda secara umum.
Kategori-kategori generasi muda perlu dipertimbangkan kembali. Bill Osgerby (1997) mengatakan, 'Bukannya menjadi entitas kebudayaan yang dibingkai dengan sempurna, subkultur selalu merupakan hibrida yang luwes dan terfragmentasi'.
Hubungan antara generasi muda dan mode, musik dan industri-industri media yang lain bersifat dinamis. Gagasan-gagasan tentang generasi muda hanya sebagai korban budaya konsumer tidak benar-benar kukuh, meskipun juga adalah naif untuk menyatakan bahwa orang-orang muda tidak pernah tergoda oleh pemasaran dan citra.
Pelbagai asumsi yang longgar tentang generasi muda sebagai remaja tidak mendapatkan pemeriksaan yang cermat, karena remaja muda dan remaja yang lebih tua biasanya memiliki tingkat yang sang sangat berbeda dalam otonomi, minat-minat kebudayaan, dan bahkan hubungan sosial. Remaja sebagai suatu konsep berasal dari riset pasar Amerika pada 1940-an.
Bagaimanapun kita mendefinisikan kelompok-kelompok generasi muda melalui musik, hal ini tidak akan membawa kita kelandasan yang kuat. Genre musik British jungle 1990-an melintasi pelbagai definisi lewat kelas, ras, dan gender.
Kekhasan subkultur dalam sesuatu yang disebut sebagai 'generasi muda' selalu bersifat relatif. Subkultur sama-sama memiliki beberapa aspek budaya kelas yang lebih umum dalam masyarakat, meskipun juga memiliki kekhasan. Ketika berbicara tentang 'Generasi muda' adalah mudah bagi kelompok-kelompok generasi muda yang memiliki frofil tinggi untuk mengalihkan kita dari kebenaran bahwa terdapat banyak orang muda yang 'biasa' diluar sana, yang tidak banyak berkonflik dengan generalitas budaya dan masyarakat.
Kita cenderung tergoda untuk mengatakan bahwa para sosiolog dan para budayawan lebih tertarik pada perkecualian-perkecualian.
Brake (1985) memberi kita definisi formal tentang subkultur dalam kalimat berikut ini'pelbagai sistem makna' bentuk ekspresi, atau gaya hidup yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok dalam posisi struktur subordinat ketika menanggapi sistem-sistem makna yang dominan'. Karena itu, subkultur generasi muda menjadi dapat dikenali dan khas ketika mereka berbeda, ketika mereka berjuang menghadapai pelbagai ungkapan kekuasaaan. Ungkapan-ungkapan ini dapat dilihat sebagai wacana – disekolah, perekonomian, keluarga, kelas[11].

Citra-Citra Media dan Realitas sosial
Citra-citra Generasi Muda dimedia tidak hanya selektif, tetapi juga menyiratkan semacam perpaduan yang tidak dilihat atau diraskan 'diluar sana'. Media merefleksikan kembali kepada orang-orang muda suatu deskripsi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, yang kemudinan menjadi terasimilasi dan digunakan. Dalam model ini, relitas media menjadi media. Tetapi tentu saja cerita media tidak ditelan mentah-mentah. Osgerby (dalam briggs dan Cobley, 1999) merujuk hubungan pada dua jenis realitas ini ketika dia mengatakan, 'Interfensi media... memberikan sub kultur Generasi Muda tidak hanya paparan berskala Internasional, tetapi juga suatu tingkat keseragaman dan defenisi'.
Daren Garratt (1997) menyatakan dengan cara lain ketika dia mengatakan,'liputan media merepesentasikan bagaimana mereka (kaum Punk) seharusnya berbuat bahkan jika, untuk sebagian, mereka tidak berbuat demikian selama ini'. Dengan kata lain, representasi negatif media tentang Generasi Muda sebagai masalah mengundang Generasi Muda untuk menjadi masalah.
Namun argumen lain tentang cita-cita media menyiratkan bahwa fakta tentang publisitas media itu sendiri, tentang adopsi gaya Generasi Muda oleh industri-industri mode, benar-benar menjadikan Generasi muda kurang atraktif. Yaitu, subkultur tersebut meninggalkan apa yang menjadi kelaziman. Hal ini juga terdapat dalam beberapa hal berkaitan dengan publik, ketika toko-toko kelas atas mulai menjual busana dengan resleting tambahan yang dijahitkan, dan seterusnya. Identitas Acid House, subversivitas dalam mendatangi atraksi Prodigy itu runtuh ketika logo 'tersenyum'(smiley) bawah tanah akhirnya dijual dijalan utama. Namun, pandangan ini menyiratkan suatu kesadaran yang siaga tentang apa yang dilakukan oleh media, dan sebuah maksud untuk menghindari dari terjebak dalam permainan-permainan mereka. Pandangan ini secara luas mendasari karya Paul Millis dan Dick Hebdige, pada 1970-an. Jika kita suka, pandangan tersebut adalah ide bahwa generasi muda yang mengontrol, bukan media massa.
Bukti yang tidak benar-benar mendukung pandangan ini. Bukti itupun tidak menunjukkan bahwa media sekedar membentuk identitas Generasi Muda menurut tujuan-tujuan kapitalisme. Hubungan dinamis yang terlibat lebih rumit dari pada hal tersebut dan bervariasi tergantung kepada contoh budaya Generasi Muda mana yang sedang kita bahas.
Brake (1985) mengemukakan bahwa budaya Generasi Muda menawarkan bentuk alternatif realitas sosial bagi para partisipan budaya-budaya tersebut, sebuah bentuk yang menghasilkan lebih banyak kesenangan dan lebih banyak penghargaan diri[12].

Gaya dan Identitas
Identitas tentang Generasi Muda sebagai gaya, yang menghasilkan identitas selama satu fase perkembangan pribadi ketika pelbagai isu identitas dan hubungan sosial mengemuka, adalah sangat tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut, dalam suatu pengertian, tidak dapat diperdebatkan, bahkan jika hal tersebut merupakan semua hal yang dapat dikatakan tentang budaya Generasi Muda. Seperti yang dinyatakan oleh Brake (1985) :
Sebagai orang berargumen bahwa identitas yang merupakan bagian suatu sub kultur terpisah yang dapat dikenali harus memproduksi hubungan yang bersifat perjuangan, jika bukan merupakan benar-benar oposisi terhadap budaya dominan tersebut. Namun kita juga dapat berargumen bahwa bukan menentang, sebagian budaya generasi muda menyampingkan budaya dominan, melihat sebagai tidak relevan. Para pengunjung pesta akhir pekan yang mengonsumsi e-tab pada pertengahan 1990-an mungkin cocok dengan model ini. Mereka mencoba mengabaikan dan menghindari kekuatan-kekuatan koersif arus utama (meinstream) sebisa mungkin.
Brake (1985) medeskripsikan gaya sebagai :

● Citra : busana, rambut, tatarias
● Sikap : prilaku non verbal
● Dialeg : bahasa yang digunakan

Resistensi dan Interaksi Simbolik
Hebdige (1979) berbicara tentang 'tantangan simbolik terhadap tatanan simbolik' dalam dekonstruksinya terhadap gaya budaya Generasi muda. Dia merujuk pada simbolisme diri, sebagai contoh, penggunaan peniti oleh kaum Punk. Hal ini dapat dilihat sebagai berlawanan dengan tatanan simbolisme yang lain dimana peniti adalah untuk para bayi, atau untuk perbaikan busana secara darurat, tetapi bukan untuk pamer, bukan untuk menindik atau mencabik. Jelas, ide Generasi Muda menggunakan busana untuk menentang otoritas adalah begitu lazim sehingga tidak dapat diperdebatkan. Sekolah-sekolah di Inggris menjalani pertempuran harian dengan siswa-siswa yang mensubversi seragam untuk merusak aturan-aturan. Panjang rok-rok telah menjadi sasaran pengukuran penggaris. Bagian bawah kemeja kini dikeluarkan, tidak diselipkan kedalam celana atau rok pemakainya, ketika sekolah lebih suka kemeja tersebut diselipkan. Dasi diikat dengan 'cara yang salah' dan berubah menjadi potongan-potongan tali, karena hal tersebut menjengkelkan otoritas.

Poin-poin Evaluasi
Ide'perlawanan terhadap ritual' tidak asing bagi sub kultur, tetapi merupakan prilaku yang lazim diantara generasi muda secara umum. Sekolah-sekolah mengenali 'ritual batuk yang mengganggu dalam ruang kelas' atau' bersantai-santai ditoilet untuk merokok'. Sambutan ritual dengan bertepuk tangan, tarian pogo ritual kaum Punk, dan pengulangan ritual kata 'wicked' sebagai tanda kekerenan (cool-ness) bukanlah merupakan hal yang terjadi secara sangat drastis.
Ritual-ritual yang menggunakan bahasa dan prilaku jelas merupakan tanda identitas, tanda keberadaan. Kapan ritual-ritual tersebut menjadi tanda tantangan, tanda perlawanan otoritas, sulit untuk ditentukan dan merupakan sebuah persoalan untuk diskusi. Yang menjadi persoalan disini bukanlah mengenai ritual-ritual tersebut, tetapi bertanya dengan cara apakah ritual-ritual itu menjadi mengandung perlawanan[13].

Problematisasi
Dalam suatu pengertian, gagasan tentang generasi muda sebagai masalah memiliki banyak subbagian tentang representasi Generasi Muda. Generasi muda telah didefenisikan sebagai masalah sosial tersendiri selama lebih dari 100 tahun. Pada akhir abad ke-20 terdapat lebih banyak berita dan dokumenter untuk membawakan kepada kita, secara lebih cepat dan lebih visual, lebih banyak cerita tentang masalah Generasi Muda. Secara umum, masalah-masalah ini terfokus pada kelompok dan prilaku spesifik sebagai kategori - kehamilan remaja, perusuh sepak bola.
Problematis generasi muda untuk sebagian besar merupakan simbol masalah-masalah dalam masyarakat secara keseluruhan, merupakan simbol kontradiksi-kontradiksi idiologis. Hal ini bukan untuk memanfaatkan prilaku antisosial dan kriminal tertentu – mungkin kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang individu oleh seorang pemuda. Tetapi bahkan dalam kasus seperti itu, kita dapat ingin mengajukan pelbagai pertanyaan tentang siapa yang mendefenisikan 'antisosial'.

Poin-poin evaluasi
Ide tentang Generasi Muda sebagai tidak apat dikontrol atau membutuhkan kontrol, adalah lazim ketika pelbagai representasi negatif tentang generasi muda dikonstruksi.
Model ini cocok dengan asumsi adanya pola generasional- tentang pemberontakan terhadap orangtua dan kepercayaan-kepercayaan mereka.
Juga, adalah benar untuk mengetakan bahwa, pada akhir abad ke-20, kekuatan-kekuatan yang mengontrol otoritas terlihat dalam kode sosial dan perbedaan kelas serta dijaga dalam hukum, telah berkurang selama satu priode waktu.
Generasi Muda mungkin tidak begitu sederhana dikontrol (yaitu diubah) oleh kekuatan kepercayaan sosial tau oleh kekuatan fisik (yaitu pelbagai tingkat proteksi legal).
Perubahan serta pendidikan dan hakikat pekerjaan berkaitan dengan situasi dimana hakikat kontrol dapat dipertanyakan oleh Orang-orang muda, dan pekerjaan itu sendiri tidak selalu menyediakan arena dimana kontrol dapay diterapkan[14].

Budaya Komoditas
Tempat budaya-budaya Generasi Muda dengan suatu budaya materi yang lebih umum adalah rumit. Generasi muda diundang untuk mengonsumsi, generasi muda adalah pasar, generasi muda diubah menjadi komoditas itu sendiri. 'kebutuhan untuk mengonsumsi ditemukan, dipuaskan oleh konsumsi' (Brake, 1985). Pada pihak lain, generasi muda bukan merupakan korban budaya komoditas ketika Generasi Muda tersebut menemukan pelbagai gaya dan dalam beberapa kasus menolak konsumerisme dan materialisme.
Garrath (1997) berujar tentang Generasi Muda, 'kita mengadakan kontak dengan komersialisasi mereka, bukan pembentukan mereka'. Jadi, jika toko-toko kini penuh dengan variasi 'puffa jacket' yang ada dimana-mana, maka hal ini tidak mendeskripsikan fase asal budaya generasi muda ketika garmen ini untuk pertama kali digunakan.
Terdapat ketegangan, tidak selalu merupakan kontradiksi, antara ide tentang generasi muda sebagai konsumer budaya komoditas. Budaya-budaya Generasi Muda, dalam pelbagai fasenya, sesuai dengan kedua ide ini.
Pelbagai kontradiksi dan solusi
Kita dapat berargumen bahwa budaya-budaya Generasi Muda merupakan ungkapan dan usaha untuk menghadapi pelbagai kontradiksi sosil yang memengaruhi Generasi Muda. Diantara contoh berbagai kontradiksi adalah sebagai berikut:
● Generasi muda diharapkan untuk mengambil bagian dalam masyarakat yang menghargai individualisme, tetapi mempraktikkan konformitas dalam institusi-institusi seperti sekolah.
● Generasi muda diharapkan untuk mempersiapkan diri untuk bekerja, dan diinformasikan bahwa pelbagai kualifikasi pendidikan merupakan bagian dari persiapan tersebut. Tetapi generasi muda juga mengetahui bahwa pasar pekerjaan terbatas dan bahwa pelbagai kualifikasi tidak menjamin diperolehnya pekerjaan.
● Generasi muda 'mendapat informasi' bahwa konsumsi terhadap pelbagai komoditas itu diharapkan (dan merupakan bagian yang absah dari menjadi orang dewasa) tetapi tidak mendapatkan tawaran berupa pelbagai sumberdaya untuk mengonsumsi.
● Generasi muda mengalami dan melihat pelbagai representasi budaya utama dimana konsumsi alkohol adalah lazim, tetapi juga 'mendapatkan informasi' bahwa narkoba itu terlarang.
● Generasi muda diminta menekan seksualitasnya (dalam suatu priode biologis energi seksual),tetapi dikelilingi oleh representasi-representasi media yang berkaitan dengan hal aktivitas dan ketertarikan seksual.
● Kepada generasi muda ditawarkan pelbagai representasi gaya hidup yang atraktif dan aktif, tetapi dapat mengalami kehidupan keluarga yang retak, perekonomian lokal yang hancur, yang menjadikan gaya hidup tersebut tidak terjangkau[15].

Poin-poin Evaluasi
Jika pelbagai kontradiksi tidak ditangani oleh budaya arus utama, maka adalah menarik untuk memsubversi, menolak, menentang, dan dengan pelbagai cara menangani pelbagai kontradiksi tersebut dengan menciptakan budaya alternatif yang lebih dapat dipahami.
Dengan cara lain, dapat dikatakan bahwa budaya-budaya Generasi muda adalah suatu solusi terhadap suatu masalah.

Wacana dan Homogeni
Istilah-istilah ini dapat digunakan untuk menginterpretasi budaya generasi muda. Generasi Muda dapat dilihat sebagi korban perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan diantara pelbagai wacana. Generasi Muda terjebak, sebagai contoh, antara pelbagai wacana tentang kekanak-kanakan, kedewasaan, dan pendidikan. Orang-orang Dewasa berbicara secara tidak konsisten kepada orang-orang muda seolah mereka adalah anak-anak yang terhadapnya orang-orang dewasa tersebut memiliki/seharusnya memiliki kekuasaan, tetapi jika berbicara kepada mereka seolah-olah mereka hendaknya 'dewasa' dan memiliki pelbagai bentuk tanggungjawab. Pendidikan juga menginginkan mereka untuk terap berada dalam kontrol dan menunda asumsi tentang kedewasaan, tentang independensi dan mendapatkan kekuasaan.
Pelbagai representasi Generasi muda memasukkan pelbagai kontradiksi dengan mengimpor bahasa dan makna dari pelbagai wacana, seperti wacana tentang usia dan kriminalitas. Seorang perempuan berumur 18 tahun, sebagai contoh, dapat menjadi 'Gadis', 'Perempuan', 'Ibu', atau 'Penguntil'.
Pelbagai wacana tentang Generasi Muda dalam pengertian ini sering merupakan gabungan dari wacana-wacana yang lain, tetapi semua memiliki motif mempertahankan kontrol sosial, mempertahankan pandangan-pandangan idiologis yang 'menjaga Generasi Muda supaya tetap ditempatnya.' wacana-wacana yang dominan tetap adalah menyangkut hukum, maskulinitas, dan kelas sosial[16].
III. Generasi Muda Indonesia.

A. Tantangan dan Spritualitas Generasi Muda Indonesia.
Generasi Muda adalah calon Pemimpin dimasa akan datang, baik Pemimpin di Gereja maupun Pemimpin di Pemerintahan RI. Seorang ahli pernah berkata, bila Generasi Muda hancur maka akan terjadi “Lost Generation” atau Generasi yang Hilang (Putus Generasi). Bila ini terjadi, sangat berbahaya bagi kelangsungan Gereja dan Pemerintah dimasa yang akan datang. Siapa yang akan meneruskan Pemerintahan dan Kepemimpinan Gereja di Indonesia ini bila Generasi Mudanya telah hancur. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin saja, Pemerintah dan Gereja-gereja di Indonesia terlena, mereka lupa mendidik, mendampingi, menjaga dan memperdulikan Generasi Mudanya. Terlalu asyik dengan Kedudukan dan Jabatan. Atau Mereka menganggap tidak terlalu penting memperhatikan Generasi Muda. Sehingga Generasi Muda bisa hilang di telan Modernisasi dan Zaman canggih ini. Seharusnya, Pemerintah dan Gerejalah yang menjaga Generasi Muda di Indonesia ini.
Agar Generasi Muda tidak terlibat Sex bebas, Narkoba, Hedonisme, Materialisme, Kecanduan Game, Korban Televisi (Korban Iklan), Film Porno, Situs Porno, Kumpul Kebo, dan Konsumerisme. Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi di Indonesia dan di Gereja kita?
Dengan demikian maka, Pemerintah dan Gereja perlu melakukan bimbingan dan perhatian khusus terhadap Generasi Mudanya agar tidak hancur. Pemerintah dan Gereja harus Peduli Generasinya! Gereja-gereja harus mengisi Spritualitas Generasi Mudanya dengan Firman Tuhan/Kegiatan Rohani. Agar memiliki Pondasi atau pegangan yang kuat dalam menghadapi tantangan Zaman ini. Dengan meningkatkan Spritualitas Generasi Mudanya maka diharapkan mereka bisa menghadapi tantangan Zaman ini. Atau Kritis terhadap Budaya-Budaya Apapun itu termasuk Budaya Populer.
Apakah itu Spritualitas? Spritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Roh Allah (Spirit) yang menuntun setiap orang kepada sikap pasrah dan taat pimpinanNya sehingga lahir kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai akan kehendak Tuhan (Firman Tuhan). Apakah akibatnya bila Generasi Muda tidak memiliki Spritualitas? Dan apa bedanya dengan Generasi Muda yang memiliki Spritualitas yang kuat? Jawabannya jelas ada bedanya.
Generasi Muda yang hidup tanpa Spritualitas? Akan berbahaya sekali, karena tidak mengerti tentang Kebenaran Firman Tuhan. “Hidup semau Gue” . Ketika salah seorang temannya mengajak Berjudi, Cabut, Bolos sekolah, Tawuran, Ngisap rokok, Narkoba, Minuman Keras, Sex bebas, dan menonton VCD Porno atau sejenisnya dia tidak mampu menolaknya. Karena dia tidak memiliki Spritualitas yang menjadi benteng/rambu-rambu dalam hidupnya. (Seperti Kapal tanpa Nakhoda di tengah lautan luas pastilah terombang-ambing dan akhirnya bisa tenggelam).
Sedangkan Generasi Muda yang memiliki Spritualitas pasti menolak setiap ajakan orang yang berbuat tidak benar, karena dia sudah tahu bahwa hal itu Dosa dan tidak baik dilakukan. Maka dari itu Generasi Muda harus memperkuat Spritualitasnya. Melihat tantangan yang semakin berat saja pada Zaman atau abad 21 ini.
Ibadah di Gereja setiap Minggu adalah bagian dari Spritualitas, baca Alkitab (Renungan harian) atau sering di sebut saat teduh. Berdoa, bernyanyi memuji Tuhan dan juga Puasa adalah bagian dari Spritualitas. Melakukan saat teduh di rumah sebelum pergi sekolah atau kuliah? Hal itu semua menyangkut Spritualitas Generasi Muda.
Tugas dan tanggung jawab Generasi Muda sebagai Mahasiswa atau Pelajar. Jadilah Generasi Muda yang berkwalitas, bertanggung jawab dan memiliki kemurnian tujuan hidup untuk memuliakan Tuhan Yesus dan mengasihi sesama. Terlebih menghormati Orang tua (Ayah dan Ibu) Minimal ada perubahan prilaku hidup di rumah maupun di Sekolah (Jangan mecontek atau mengopek saat ujian). Itulah Generasi Muda yang telah memiliki Spritualitas!
Tantangan-tantangan lain yang sering terjadi di dalam Keluarga adalah ketika Anak Kecanduan menonton Televisi. Hal ini bisa berdampak buruk bagi Keluarga tersebut. Karena si Anak tersebut adalah Generasi Muda yang seharusnya di didik dan di jaga agar tidak seperti itu. Sebut saja misalnya Seorang Anak yang selalu menonton Televisi sampai larut malam. Bahayanya adalah Bila dia seorang Pelajar, dia akan terlambat bangun pagi dan akhirnya tidak Sekolah. Lain lagi bila seorang Ibu yang kecanduan salah satu Sinetron di Televisi Swasta maka ia akan lupa memasak untuk Keluarganya, akhirnya akan menimbulkan banyak Pertengkaran di tengah Keluarga.
Atau si Bapak yang hanya mau menonton berita melulu tanpa mendengarkan permintaan anggota Keluarga yang lain untuk menonton Film yang kebetulan baik untuk di tonton.
Televisi itu sebenarnya baik untuk di Tonton bila diatur jadwal tontonannya dan bisa di seleksi apa-apa saja yang bisa atau tidak bisa di tonton oleh Anak. Atau kalaupun di tonton si Anak maka tanggung jawab Orang Tualah yang mendampinginya. Orang Tua harus memberikan Informasi atau jawaban yang benar kepada si Anak agar dia tidak salah memahami apa yang di tontonnya. Orang Tua harus mengajarkan atau mendidik Anak sejak dini untuk Kritis terhadap Televisi dan Seluruh tayangannya. Dan bukan hanya itu Orang Tua harus mengajarkan Sikap Kritis terhadap sesuatu yang baru, seperti Budaya Populer atau barang apapun itu. Sehingga si Anak yang adalah Generasi Muda Indonesia bisa di selamatkan dari hal-hal yang tidak baik dari Pengaruh Televisi atau Budaya Populer tersebut.


IV. Peran Keluarga, Gereja dan Pemerintah RI Mengurangi Pengaruh
Televisi Terhadap Generasi Muda Indonesia.


A. Peran Keluarga/Orang Tua
Keluarga adalah salah satu pusat pembentukan atau tempat dimana Anak mendapat pendidikan, pendidikan adalah pertama-tama tugas Orang Tua. Tujuan pendidikan adalah membantu Anak-anak, supaya mereka dengan baik, dan dengan cara bertanggungjawab mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada diri mereka. Dalam pendidikan ada hukum (=yang harus dilakukan) dan larangan (=apa yang tidak boleh dilakukan) sering tidak dapat dihindarkan. Tetapi pada anak-anak perlu dijelaskan terlebih dahulu makna hukum-hukum dan larangan itu. Kalau tidak, mereka tidak akan dapat menerima atau “Mencernakan”-nya. Memaksakan sesuatu kepada Anak-anak sama sekali tidak ada gunanya, sebab kalau ia tidak berada dibawah pengawasan “Penguasaan” Orang Tuanya, ia toh bertindak bertentangan dengan apa yang dipaksakan kepadanya.
“Kita semua mungkin pernah mendengar tentang cerita seorang Anak yang karena terpaksa tunduk dan menaati peraturan-peraturan yang keras dan tidak dapat ia pahami dari Orang Tuanya: peraturan-peraturan yang biasanya tidak lebih dari rumusan-rumusan yang kosong. Ketika ia bebas (=lepas dari kuasa Orang Tuanya), ia dengan kuat dan secara negatif memberikan reaksi dengan jalan membuang semua yang dulu diajarkan kepadanya sebagai hal-hal yang baik, perlu dan berguna.”
Mendidik itu tidak mudah, tidak cukup, kalau kita hanya menyampaikan beberapa hal saja kepada anak-anak kita, anak-anak sangat tajam melihat. Mereka segera mengetahui, apa yang Orang tua mereka katakan itu benar-benar merupakan suatu realitas yang hidup bagi mereka atau tidak. Hal yang akhir ini sangat perlu, kalau kita mau menanam kepercayaan dalam hati anak-anak kita. Tanpa kepercayaan, pendidikan tidak mempunyai arti. Karena itu, kita harus berusaha memenangkan kepercayaan anak-anak kita. Mereka harus yakin, bahwa kepercayaan mereka kepada kita tidak akan kita kecewakan. Hal ini bukan saja berlaku bagi Anak-anak besar, juga bagi Anak-anak kecil: janji yang tidak kita penuhi dapat memusnahkan kepercayaan mereka kepada kita. Sejak kecil anak-anak sudah harus mengetahui, bahwa mereka bukan hidup sendiri saja didalam dunia. Mereka hidup bersama-sama dengan Orang lain dengan Orang Tua mereka, dengan anggota-anggota lain Keluarga mereka, dengan guru mereka, dengan kawan-kawan mereka, dan lain-lain. Mereka harus belajar, bahwa dalam hidup bersama ini mereka bukan saja mempunyai hak, melainkan juga kewajiban. Karena itu mereka harus belajar taat.
Mereka harus belajar menerima, bahwa kemauan mereka tidak selalu dipenuhi, mereka harus belajar untuk memberikan sesuatu pada Orang lain, mereka harus berkorban untuk sesamanya dan lain-lain. Pendeknya mereka harus sadar, bahwa dalam hidup ini mereka bukan pusat segala sesuatu, melainkan bahwa Orang lain juga harus mendapat perhatian dan pelayanan. Kemudian pada waktunya mereka, setapak demi setapak harus belajar untuk memikul tanggungjawab.
“Pendidikan adalah tanggungjawab bersama dari kedua Orang Tua. Tetapi biasanya, si Ibu yang terutama memikul tanggungjawab ini, waktu Anak mereka masih kecil. Ia menyusuinya, ia yang kemudian memberinya makan, ia yang memandikannya, ia yang menggantikan pakaiannya, ia yang menidurkannya, dan lain-lain. Sungguhpun demikian ada baiknya jika diusahakan, supaya si Ayah turut mengambil bagian dalam pendidikan Anak itu. Hal ini penting, bukan saja sebagai realisasi dari tanggungjawab bersama, yang kita sebutkan diatas, melainkan juga untuk menghilangkan kesan seolah-olah ia hanya bertugas sebagai Orang yang memarahi dan memberikan hukuman kepada Anak-anak, kalau mereka telah besar.
Pengenalan tentang pendidikan dalam Keluarga adalah salah satu upaya yang sangat baik untuk mengantisipasi bahaya. Karena Keluarga adalah salah satu Benteng moral yang sangat kokoh untuk menghambat masuknya kedalam ruang lingkup anggota Keluarga. Sebab didalam hubungan Keluarga yang harmonis, ada terang Firman Tuhan yang menyinari Keluarga tersebut. Bagi sang Anak, secara ilmiah, Orang Tua merupakan model dan citra tentang Allah dan kehadiranNya. Hal ini dapat dibuktikan dari pengalaman masa kecil tentang hubungan yang intim dalam lingkup keluarga memberikan dampak yang luar biasa dikemudian hari, bukan saja kemampuan kita untuk akrab dengan orang lain, melainkan juga dengan Allah. Jika kita belajar dari bangsa Yahudi dalam mendidik anak-anaknya, sejak bayi didalam kandungan, Orang Yahudi telah menjadikan Anak sebagai harta yang tidak terpisahkan dari mereka. Terutama adalah bagaimana usaha mereka dalam mendidik Anak-anak mereka. Dalam dunia adat, politik, agama dan kebudayaan tidak dipisah-pishkan, maka yang terlihat adalah pendididkan Orang Tua kepada Anak-anak mereka selalu melalui pesan-pesan Agamais. Agama juga selalu menegur dan memperingatkan Orang Tua untuk mendidik Anak-anak mereka dengan benar.
“Didiklah Orang Muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan Tuhan (Amsal 22:6). Dan Kamu Bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati Anak-anakmu, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4). Sejak masih muda mereka sudah di dasari dengan pendidikan yang patut. Displin keluarga rupanya ketat, namun disertai cinta kasih yang mendalam. Mengajar Anak-anak tentang iman dari Bapa-bapa/Nenek Moyang mereka merupakan keharusan. Setiap tahun paling tidak, Anak-anak akan mendengar cerita tentang Keluaran Israel dari tanah Mesir pada hari Raya Paskah. (Lukas 3:41-52). Hal ini masih dilakukan oleh Orang Yahudi sampai Zaman ini. (Keluaran 12:14;26-27). Ada hukum yang mengharuskan para Orang Tua untuk mengadakan “Waktu khusus” mengajar Anak-anak mereka prinsip-prinsip dasar Iman, sehingga tiap Generasi akan tahu, patuh, setia mengasihi Allah mereka. (Ulangan 6 :1-25;6:4-7,9). Setelah anak-anak itu memiliki kemampuan untuk bertanya dan ingin mengetahui alasan Iman mereka, maka Orang Tua harus memberikan jawaban yang benar kepada mereka (Ulangan 6:20-21). Pendidikan rohani Anak-anak itu tidak selalu harus melalui ritus-ritus Agamais. Ternyata tingkah laku, perbuatan Orang Tua yang Konsisten dengan Iman mereka bisa lebih ampuh untuk membantu Anak-anak tumbuh Imannya dan sehat mental Spritual.[17].
Peran pendidikan Keluarga adalah suatu hal yang sangat penting untuk dikembangkan dalam Keluarga-keluarga Kristen lainnya. Kita juga harus belajar dari metode Orang Yahudi dalam mendidik Anak-anak mereka. Karena untuk mencegah dan mengantisipasi adalah tindakan yang paling bijak. Tugas kita sebagai anggota Keluarga tetap bersosialisasi dan mengumandangkan pemahaman-pemahaman yang benar atau yang salah dari Televisi atau Budaya Populer bagi tiap-tiap anggota Keluarga. Menunjukkan perhatian yang khusus bagi anggota Keluarga agar tidak terjerat atau terjatuh kepada hal-hal yang tidak benar.. Dan hal itu dapat dilakukan bila Orang Tua tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan lain di luar rumah. Namun sebaliknya diharapkan untuk membagi waktu untuk Anak-anak di rumah kalau tidak mau Keluarga hancur dan Anak-anak terjerat. Orang Tua juga perlu memainkan peranan sebagai contoh yang baik. Orang Tua yang biasa menggunakan, termasuk rokok, dapat mempengaruhi Anak untuk ikut menyalahgunakan Zat-zat tersebut. Perlu disadari kebiasaan dalam Keluarga besar pengaruhnya pada Anak-anak. Jika Ayah atau Ibu Pemabuk atau selalu memakai obat setiap kali merasa sakit, kemungkinan besar Anak-anak akan pula menjadi pengguna Alkohol dan Obat-obatan.
Peran sebagai Pendidik dalam hal pencegahan-pencegahan juga harus di mainkan setiap Orang Tua. Beberapa informasi penting mengenai hal ini perlu di pelajari Orang Tua. Orang Tua juga harus meningkatkan peranannya sebagai pengawas. Orang Tua perlu tau siapa saja teman Anaknya, kemana mereka pergi, dan apa yang mereka lakukan. Orang Tua perlu menyadari, alasan pertama mengapa seorang Anak menjadi Bandel adalah karena adanya tekanan dari teman-teman sebayanya. Orang Tua harus sejak awal mengajarkan kepada Anak-anak bagaimana cara menolak sesuatu yang tidak benar dari teman-temannya. Itu sebabnya, ketrampilan melakukan perlawanan (Resitance skills) sudah harus diajarkan sebelum Anak berusia 9 tahun atau selambat-lambatnya 12 tahun[18]. Orang Tua kita jelas punya peran yang penting, kalau bukan yang terpenting dalam perkembangan kita. Ada berbagai gaya pengasuhan Orang Tua yang bisa amat berbeda-beda[19]. Jadi meskipun bukan yang terpenting tapi satu diantaranya.

B. Peran Gereja
Banyak cara yang dapat ditempuh oleh Gereja-gereja di Indonesia dalam menjaga dan mendampingi Generasi Mudanya. Dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan seperti Koor, Membuat Kelompok Studi, Seminar, Retreat dan sebagainya. Gereja harus peduli terhadap mereka. Gereja-gereja harus proaktif menyikapi masalah Generasi Muda ini.
Gereja hendaknya meningkatkan Pelayanan maupun bimbingan-bimbingan rohani terhadap Anggota Jemaatnya dan melakukan Konseling Pastoral terhadap Generasi Muda. Gereja harus menunjukkan peran Pelayanan yang sesungguhnya, karena Gereja memiliki tanggungjawab dalam memberikan bimbingan bagi seluruh warganya.
Gereja sebagai Institusi atau kelembagaan perlu lebih aktif berperan serta dalam memperdulikan masalah Generasi Muda ini. Gereja perlu melakukan reformasi untuk lebih peduli terhadap masalah disekitarnya maupun disekelilingnya. Peran Gereja dalam menanggulangi masalah ini adalah : menyatakan cinta kasih ke – Bapa – an Allah yang diarahkan kepada Keselamatan setiap orang : Cinta Kasih yang mengatasi setiap rasa salah. Menyatakan kutukan terhadap kejahatan-kejahatan pribadi dan sosial yang menyebabkan dan menguntungkan bagi gejala ini. Memperkuat kesaksian Injili dari orang-orang beriman yang mendedikasikan dirinya pada pengobatan bagi pemakai menurut Contoh Yesus Kristus yang tidak datang untuk di layani tetapi untuk melayani dan memberikan Hidup Nya (Matius 20 : 28 dan Filipi 2 :7).
Peran Gereja secara konkrit diwujudkan dalam : Tugas Pewartaan dan Kenabian yang memberikan Visi Injili yang otentik tentang Manusia ; tugas pelayanan yang rendah hati seperti Sang Gembala yang baik yang memberikan hidupNya sendiri bagi Domba-dombaNya ; tugas pendidikan moral bagi Orang-orang, Keluarga-keluarga dan Komunitas-komunitas disempurnakan melalui prinsip-prinsip adi kodrati dan kodrati untuk mencapai Manusia yang penuh (Menyeluruh dan total)[20]. Generasi Muda Indonesia adalah Tonggak atau Tulang punggung Gereja. Gereja harus melayani dan mendampingi mereka. Belajar dari Tuhan Yesus yang mengasihi Manusia tanpa melihat suku, bangsa, golongan dan warna kulit. (Yohanes 18 : 1 dan Yohanes 3 :16). Tuhan Yesus tidak mau melihat seorangpun Manusia binasa. Termasuk Generasi Muda Indonesia.
Gereja dan Umat Kristen mendapat tugas untuk memberitakan Injil dan Keselamatan bagi setiap Orang dan sekaligus mengasihi sesama Manusia (Matius 22 : 37-39). Tugas kita adalah untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar, bila sudah ada yang tidak benar atau jatuh kedalam dosa.. Terutama adalah tugas Gereja yang merupakan Garam dan Terang Dunia, harus berusaha mencari jalan keluar bagaimana mengantisipasi masalah-masalah Generasi Muda tersebut. Dan Umat Kristen perlu menyadari hakikatnya sebagai gambaran Allah, Allah yang kudus tidak bercacat, gambar Allah yang disiapkan untuk kehidupan yang baik dalam iman, kasih dan pengharapan[21].

C. Peran Pemerintah RI
Televisi di Indonesia dengan berbagai tayangan-tayangannya banyak yang tidak baik di tonton atau di saksikan oleh Anak atau Generasi Muda. Televisi sering kali menyajikan Iklan, film atau tayangan yang penuh dengan Pornografi atau juga Kekerasan-kekerasan. Tayangan-tayangan tersebut sudah menjadi bahaya yang serius. Saat ini Televisi menyerang Generasi Muda Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia Perlu membuat Sebuah aturan yang jelas untuk mengatur jam tayang dan lembaga khusus yang bisa menyensor Film, Iklan atau acara -acara di Televisi yang tidak baik di tonton oleh anak-anak atau Generasi Muda tersebut.
Pemerintah Indonesia sadar akan bahaya yang ditimbulkan, bisa menghancurkan Generasi Muda Indonesia dan berdampak bukan saja dimasa kini tetapi juga dimasa depan. Kesulitan penanggulangannya selama ini karena belum ada peraturan yang jelas yang melarang hal-hal tersebut diatas. Atau kalaupun sudah ada aturannya namun pada tingkat pelaksanaannya belum maksimal dilakukan.. Diperlukan pengawasan dan tindakan yang tegas..
Pemerintah Indonesia harus Konsisten dan tegas dalam menegakkan Supremasi Hukum untuk menindak para pemilik stasiun Televisi Swasta Nasional yang melanggar aturan atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian, maka bisa membuat efek jera bagi pemilik Stasiun Televisi swasta Nasional lainnya. Selain memberikan hukuman yang berat bagi mereka, Pemerintah RI perlu membuat Undang-Undang Penyiaran yang jelas. Hal ini sangat penting dilakukan di seluruh Indonesia untuk memberikan Informasi bagi Rakyat Indonesia tentang manfaat dan kegunaan Televisi. Agar seluruh Rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke mendapatkan informasi yang benar tentang Televisi. Sehingga pada saatnya nanti tayangan-tayangan yang di tampilkan akan berimbang dari segi Pendidikannya, Beritanya dan Informasinya. Bukan hanya Bisnisnya saja yang di utamakan. Sehingga Generasi Mudapun terjaga dari kehancuran!

V. Kesimpulan

Televisi-televisi di Indonesia saat ini sangat membawa pengaruh yang besar sekali. Televisi bisa mengatur anak-anak, dan membuat Anak-anak sulit diatur. Yang seharusnya dia belajar, tapi karena ada tayangan Kartun yang khusus di Televisi maka si Anak pun menonton tanpa mengingat waktu belajar. Orang Tua juga banyak yang menjadi Korban Televisi, hal ini sering terjadi, Ibu-ibu lupa tugasnya memasak dan lupa mengurus anak hanya karena Tayangan di televisi seperti Sinetron atau sejenisnya. Nah lain lagi si Bapak, Bila ada Tinju atau Sepak Bola meskipun pada hari Minggu, jangan coba-coba di ganggu, dia rela tidak pergi Ibadah ke Gereja hanya karena Tayangan Tinju atau Sepakbola tersebut. Kalau anak-anak Gadis sibuk dengan gonta-ganti Shampo atau Obat Jerawat yang di tawarkan oleh Iklan di Televisi.
Si Anak Muda merengek di belikan Handphone terbaru karena Handphone yang di pakainya saat ini sudah ketinggalam Zaman menurut Iklan di Televisi. Sebenarnya masih banyak masalah-masalh yang saat ini sedang terjadi di belahan bumi Indonesia yang di sebabkan oleh ketidakmapuan kita Mengkritisi Apa-apa saja yang di tayangkan, ditawarkan, di Iklankan oleh Televisi yang setiap hari (Non Stop) ada didepan mata kita tanpa pernah berhenti. Salahkah Televisi? Tentu tidak. Televisi adalah sebuah Produk Tegnologi yang baik untuk di pergunakan atau di manfaatkan. Akan tetapai Televisi itu bisa menjadi masalah bagi Keluarga, Gereja dan Bangsa apabila kita tidak mampu Mengkritisi atau menguasai Televisi tersebut. Bagaimana menguasainya?
Tentunya dengan menguasai diri kita terlebih dahulu. Kalau diri kita sudah terkuasai maka, apapun itu pasti kita bisa menguasainya. Kuasailah Televisi, jangan Televisi yang menguasai kita. Agar kita tidak menjadi Korban Iklan atau Korban dari yang namanya Televisi. Nah, dengan demikian maka bila Televisi sudah bisa kita kuasai maka hal itu perlu kita sampaikan dan katakan kepada masing-masing Anggota-anggota Keluarga kita yang didalamnya ada Generasi Muda atau anak-anak Kita untuk Mentransformasi Televisi atau Budaya Populer itu dengan Firman Tuhan. Biarlah Firman Tuhan Yesus Kristus yang menguasai diri kita bukan yang lain termasuk Televisi dan Budaya Populer! Agar Generasi Muda Indonesia memiliki Karakter dan Masa Depan yang Jelas dan Benar. Tidak hancur dan Tidak terombang-ambing!.
Tetapi Generasi Muda Indonesia tetap Merdeka dan Jaya!

Kepustakaan
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Gandum Mas dan LAI, Malang, 2006.
Burton Graeme, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008
Herlianto, Ecstacy dan Putaw, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000
Ibrahim Idi Subandy, Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
Joewana Satya Dkk, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba, Media Pressindo, Yogyakarta, 2001
Krisetya Mesach, Konseling Pernikahan Dan Keluarga, UKSW Salatiga, 2008.
Kompas, Keluarga Anti N, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006.
Matsumoto David, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Sinukaban Masada, Skripsi BAHAYA NARKOBA, STT Abdi Sabda Medan, 2003.
Storey John, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2007
Tumanggor Samuel, Orang Nasrani Pandu Bangsamu, Satu-Satu, Bandung, 2007.
Majalah :
1. Jurnal Shema, Yayasan Shema Volume 2, Semarang, 2006.
[1] Idi Subandy Ibrahim, Budaya populer Sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta, 2007, 162-163
[2] Idi Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi, Yogyakarta, 2007, 163-165
[3] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta&Bandung, 2007, 11-12
[4] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, , Jalasutra, Yogyakarta&Bandung, 2007, 31-34
[5] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, yogyakarta, 2008, 31-33
[6] Ibid, 33-34
[7] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 34-36
[8] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 36-37
[9] Graeme Burton, Media an Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 37-39
[10] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 148-149
[11] Graeme Burton Media dan Budaya Populer, Jalsutra, Yogyakarta, 2008, 149-152
[12] Graeme Burton, Media dan Buaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 152-153
[13] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 153-155
[14] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 155-156
[15] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 156-158
[16] Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2008, 158-159
[17] Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, (Seri Pastoral dan Konseling 2008), 30-31
[18] Kompas, Keluarga anti N, (Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006), 35-36
[19] David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), 110
[20] Satya Joewana Dkk, Narkoba Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk Mencegah Penyalahgunaan Narkoba, (Media Pressindo, Yogyakarta, 2001), 75
[21] Herlianto, Ecstacy dan Putaw, (Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000), 56

Tidak ada komentar: