Sabtu, 11 Oktober 2008

SEJARAH

Pada jaman purba, manusia berburu binatang, menangkap ikan, memetik daun, menebang pohon, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok, yaitu pangan, sandang, dan papan. Berdasarkan pengalamannya, manusia mulai mengenal bagian-bagian tanaman atau hewan tertentu yang mempunyai khasiat obat, misalnya ramuan untuk menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan demam, dan mengobati luka. Itulah bentuk penggunaan bahan atau zat yang paling primitif untuk tujuan pengobatan (medical use).
Dalam ilmu kedokteran sampai sekarang masih di gunakan obat-obat yang berasal dari tanaman atau hewan walaupun jumlah dan jenisnya sudah semakin berkurang, misalnya reserpin (obat untuk menurunkan darah tinggi) berasal dari tanaman Rauwolfia serpentina, efedrin (obat asma bronkiale) berasal dari tanaman Efedra trifukra, morfin (penghilang rasa nyeri yang kuat) berasal dari tanaman Papaver somniferum, minyak ikan dan lain-lain. Pada masa kini sebagian besar obat di buat secara semisintetik atau sintetik di pabrik-pabrik walau pun akhir-akhir ini ada gerakan kembali ke alam (Back to Nature), misalnya penggunaan ginseng, Ginkgo biloba, tribestan (tribulus terrestris L), rheumaplant, rheumakur, cursil (curcuma).
Berdasarkan pengalaman pula, manusia mulai mengenal tanaman atau senyawa yang bila di gunakan dapat menimbulkan perubahan prilaku, kesadaran, pikiran, dan perasaannya. Bahan atau zat yang mempunyai khasiat demikian pada masa kini disebut zat psikoaktif. Sejak saat itu, manusia mulai menggunakan bahan psikoaktif tersebut untuk tujuan dinikmati karena dapat memberikan rasa nyaman, sejahtera, euforia, dan mengakrapkan dalam komunikasi dengan orang lain (recreational or social use). Sebagai contoh, orang menikmati minuman kopi atau teh (yang mengandung kafein), minuman keras (yang mengandung etanol), dan merokok tembakau (yang mengandung nikotin).

TERMINOLOGI

Terminologi Formal
NAPZA adalah akroim dari Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat-zat adiktif lain. Sebenarnya semua zat tersebut termasuk zat psikoaktif. Narkotika dan psikotropika disebut tersendiri dengan pertimbangan bahwa Indonesia memiliki undang-undang tentang Narkotika dan undang-undang tentang psikotropika. Alkohol disebut tersendiri karena kedudukannya dalam masyarakat sebagai minuman yang banyak dikonsumsi orang dan tidak ada undang-undang yang melarangnya. ZA adalah kependekan dari zat adiktif lain yang perlu dicantumkan karena selain dari ketiga kelompok diatas, masih terdapat senyawa lain yang juga bersifat adiktif.
NAZA adalah akroim dari Narkotik, Alkohol, dan Zat Adiktif lain, suatu akroim yang dulu sering dipakai sebelum diundangkan Undang-Undang RI No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Narkotik, menurut Undang-Undang RI No.22 Tahun 1997, tentang Narkotika, meliputi zat yang tergolong opioida, ganja, dan kokain. Menurut farmakologi, yang dimaksud Narkotik adalah zat yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan membius. Jadi menurut farmakologi, yang termasuk narkotik adalah opioida, sedangkan ganja dan kokain bukan narkotik.
Psikotropika, menurut Undang-Undang RI No.5 Tahun 1997 yang termasuk Psikotropika, antara lain obat penenang (diazepam, bromazepam, dan lain-lain), obat tidur (nitrazepam, flunitrazepam, estazolam, dan lain-lain), psikostimulan seperti ekstasi (metilen-dioksi met-amfetamin, MDMA) dan sabu-sabu (met-amfitamin). Obat anti psikosis dan obat anti depresi juga termasuk psikotropika walaupun jarang disalahgunakan.
Alkohol, yang dimaksud adalah segala jenis minuman yang mengandung etil-alkohol atau etanol, misalnya wiski, vodka, gin, bir, saguer, tuak, brem, arak, dan ciu. Alkohol dalam bentuk minuman banyak dinikmati orang selain tembakau, kopi, teh.Metanol atau metil-alkohol adalah senyawa yang sangat beracun, terutama bagi syaraf mata sehingga dapat menimbulkan kebutaan. Metanol terdapat dalam bahan bakar spritus.
Zat adiktif lainnya, termasuk tembakau, kopi, teh, glue (lem), thinner (pengencer cat). Zat tersebut tidak termasuk dalam undang-undang narkotika maupun dalam undang-undang psikotropika, tetapi sering menimbulkan masalah kesehatan (tembakau, kopi), atau disalahgunakan (glue, thinner, aseton).
Narkoba adalah akroim dari Narkotik dan Obat Berbahaya. Sebenarnya semua obat dapat menjadi berbahaya bila penggunaannya tidak mengikuti aturan pakai atau ketentuan dokter. Obat juga bisa berbahaya bila badan tidak bisa menerima kehadiran obat tertentu walaupun obat itu dikonsumsi dalam jumlah sesuai aturan pakai (reaksi alergik). Tidak semua zat yang disalahgunakan termasuk obat, misalnya minuman keras, ganja, glue, tinner.

Perubahan Hirargi dan perubahan Nama dalam Nosologi
Kelompok gangguan jiwa yang sekarang disebut gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif, dulu hanya menduduki hirargi yang rendah dalam nosologi. Ini menunjukkan bahwa gangguan ini tidak sebanyak sekarang. Karena semakin banyak di jumpai, gangguan ini semakin banyak dipelajari. Oleh karena semakin banyak dipelajari, pengetahuan tentang gangguan ini semakin maju sehingga nama gangguan ini telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ini dan hirargrinya dalam nosologi juga semakin tinggi.

Terminologi Dalam Bahasa Gaul
Bahasa gaul adalah bahasa yang informal yang lazim digunakan dalam pergaulan sehari-hari, biasanya hanya digunakan dalam kelompok tertentu. Trimonologi yang disebutkan berikut ini merupakan istilah yang sering diucapkan dalam subkultur pengguna NAPZA. Tidak semua terminologi dikenal di semua daerah, sering berganti, selalu muncul istilah yang baru, sementara istilah yang lebih dulu ada semakin jarang dipakai atau menghilang

EPIDEMIOLOGI

Menjelang akhir milenium kedua, diseluruh dunia terdapat 1.100.000.000 orang yang mengalami ketergantungan nikotin, 250.000.000 orang yang mengalami ketergantungan alkohol, dan 15.000.000 orang yang mengalami ketergantungan zat psikoaktif lain.
Penggunaan zat psikoaktif terdapat pada semua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semua tingkat sosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada golongan umur, atau zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu.

Amerika Serikat
Gender: penggunaan zat psikoaktif lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan. Perbedaan ini semakin besar dengan bertambahnya umur. Perempuan mulai merokok dan minum alkohol rata-rata pada usia lebih tua dari pada laki-laki, tetapi perbedaan itu sekarang cenderung semakin mengecil. Konsumsi alkohol pada perempuan kurang dilaporkan karena perempuan cenderung minum alkohol secara sembunyi-sembunyi. Hal ini disebabkan karena kebiasaan minum alkohol pada perempuan dipandang lebih negatif dari pada bila laki-laki minum alkohol. Dari survei tingkat nasional diperoleh hasil bahwa 6,7% perempuan pada usia subur (15-44 tahun) mengkonsumsi obat ilegal dalam satu bulan terakhir sebelum survei dilakukan, sedangkan pada perempuan hamil, angka tersebut hanya sebesar 1,8%.
Mahasiswa: suatu survei terhadap sejumlah mahasiswa di peroleh hasil bahwa dalam satu tahun terakhir jumlah mahasiswa yang mengkonsumsi alkohol sebesar 85,2, yang merokok 39,2% yang mengisap ganja 26,4%, yang menggunakan kokain 5,2%, yang menggunakan halusinogen dan amfetamin masing-masing sebanyak 4,9%.
Usia: angka insidensi ketergantungan alkohol pada usia lanjut bisa sekitar 20-30%. Sebelum mencapai usia lanjut biasanya mereka yang menggunakan zat psikoaktif selain alkohol sudah menghentikan kebiasaannya menggunakan zat psikoaktif itu akibat proses pendewasaan. Semakin muda usia seseorang mulai menggunakan ganja atau alkohol, semakin besar kemungkinannya ia mengalami masalah dengan penggunaan zat psikoaktif lain dikemudian hari. Usia mulai menggunakan zat psikoaktif mempunyai peranan penting dalam perkembangan penggunaan zat psikoaktif dikemudian hari.
Kelompok Etnik: masalah etnik sering kali berkaitan dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu, membaca angka-angka yang berkaitan dengan etnik harus dilakukan secara hati-hati, mungkin bukan karena faktor etnik, melainkan karena faktor sosial ekonomi yang lebih berperan. Jumlah orang berkulit hitam dan Hispanik yang ditahan dan mendapat terapi karena mengkonsumsi opioida lebih banyak dibandingkan dengan Kaukasian. Remaja kulit hitam lebih jarang minum alkohol dibandingkan dengan remaja kulit putih. Orang Hispanik lebih sering mengalami masalah yang berkaitan dengan alkohol dibandingkan dengan penduduk pada umumnya. Orang Amerika Meksiko lebih jarang menggunakan p-sikostimulan atau psikedelik dibandingkan dengan orang kulit putih maupun kulit hitam. Pemuda penduduk asli Amerika cenderung lebih sering mengkonsumsi alkohol, ganja, dan inhalan.
Tunawisma: Di Amerika Serikat, 20-30% tunawisma mempunyai masalah yang berkaitan dengan alkohol dan 30-40% mempunyai masalah dengan penggunaan zat psikoaktif lain.
Gangguan jiwa lain: Penggunaan zat psikoaktif sering dijumpai bersama dengan gangguan jiwa lain, seperti ansietas, depresi, gangguan kepribadian dis-sosial, dan skizofrenia.
Narapidana & orang Tahanan: Pada tahun 1989, 27% penghuni penjara melakukan kejahatan dibawah pengaruh zat psikoaktif.
Korban kecelakaan Lalu Lintas: 2\3 kecelakaan lalu lintas yang membawa akibat kematian (fatal) terjadi pada malam hari dan 3\5nya berupa kecelakaan tunggal (satu kendaraan). Pada tahun 1992 tercatat bahwa 45% kecelakaan lalu lintas yang fatal berkaitan dengan penggunaan alkohol.

Indonesia
Penelitian epidemiologi telah dilakukan beberapa kali di Indonesia (Setyonegoro, 1980; Alwahdy, 1985; Hilman, 1986: Irwanto, Hilman, Prasaja, 1988: Idris, 1990) menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu pengguna zat psikoaktif sebagian besar berusia kurang dari 25 tahun, kebanyakan tergolong poly-drug user, masih berstatus sebagai pelajar, sedangkan usia mulai menggunakan cenderung semakin muda. Seratus pasien pertama yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) sejak tahun 1972 berusia 11-21 yahun (Setyonegoro, 1980). Survei terhadap 323 penghuni enam panti rehabilitasi di Indonesia, Hilman,(1986) menemukan umur mereka sekitar 13-15 tahun, 15,49% merokok tembakau, 32% minum alkohol, 27% menghisap ganja, 16% menggunakan obat psikotropika, dan 6% menggunakan opioda. Idris (1990) menemukan bahwa pasien yang di rawat di RSKO menderita ansietas, depresi, atau memperlihatkan prilaku antisosial.
Survei terhadap suasana kontak pertama dengan zat psikoaktif yang dilakukan oleh Herlina, Joewana, Indriana, (1987-1989) terhadap 2.100 siswa SLTP Negri di jakarta, diperoleh hasil sebagai berikut: 24,9-47,8% pernah merokok; 10,2-22,2% pernah minum alkohol; 2,7-11,7% pernah menghisap ganja; dan 3,5-11,2% pernah makan obat psikotropika. Mereka mulai menggunakan zat psikoaktif dalam 1-3 tahun terakhir. Penawaran pertama kali untuk menggunakan zat psikoaktif adalah dari teman sendiri dari kelas yang lebih tinggi atau yang usianya sedikit lebih tua, biasanya di tempat rekreasi atau di rumah teman.
Penelitian oleh Joewana, Bonang, dan Irwanto (1994) terhadap 151 pasien dengan gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif diperoleh hasil sebagai berikut: laki-laki 94% dan perempuan 6%; berusia 13-17 tahun (35,1%), 18-22 tahun (49,0%), lebih dari 22 tahun (15,9%); 94,7% belum menikah, 4,0% menikah, dan 1,3% cerai; 3,3% berpendidikan sekolah dasar, 19,9% sekolah menengah pertama, 54,3% sekolah menengah atas, dan 24,5% mahasiswa. Mereka yang masih aktif sekolah sebesar 70,9%, yang mempunyai pekerjaan tetap 4,0%, yang mempunyai pekerjaan tidak tetap 6,0%, dan pengangguran sebesar 15,2%, sisanya tidak diketahui jelas status pekerjaannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Herlina, Joewana, Indriana, Soebroto (1996) terhadap 2.380 siswa SMP negeri di jakarta, diperoleh hasil sebagai berikut: 32,2% pernah menggunakan zat psikoaktif (life time prevalence); 13,7% masih menggunakan zat psikoktif pada saat survei dilakukan. Sebanyak 89,1% dari yang pernah menggunakan zat psikoaktif adalah laki-laki, 10% perempuan, 0,9% tidak menyebutkan jenis kelaminnya.
Adapun jenis zat psikoaktif yang digunakan antara lain tembakau, minuman beralkohol, narkotik (baca; ganja), dan zat lain (sebagian besar obat penenang-obat tidur).

ASPEK BIOLOGIS
Cara mengkonsumsi obat
(Termasuk Zat Psikoaktif)
Obat dapat dikonsumsi melalui berbagai cara. Pemakaian obat secara oral (per oral atau per os) adalah dimakan melalui mulut dan masuk kedalam saluran cerna. Obat dapat diberikan melalui suntikan, yaitu suntikan intravena (disuntikkan langsung masuk ke dalam vena atau pembuluh darah balik), suntikan intramuskular (kedalam otot), suntikan subkutan (kelapisan lemak dibawah kulit), atau suntikan intrakutan (ke dalam kulit). Obat juga dapat diberikan melalui permukaan kulit dalam bentuk salep atau obat gosok. Obat tetes dapat diberikan melalui mata (khusus untuk penyakit mata), melalui hidung (khusus untuk obat hidung), atau tetes telinga (khusus untuk penyakit telinga). Suporitoria adalah obat yang dimasukkan kedalam vagina (liang senggama) atau anus (lubang dubur). Dan akhirnya obat juga dapat dikonsumsi melalui inhalasi (disedot melalui hidung).

ASPEK PSIKOLOGIS

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar orang mulai menggunakan zat psikoaktif pada usia remaja. Ada beberapa ciri masa remaja yang dapat mengarah atau konduktif pada penggunaan zat psikoaktif. Namun demikian, tidak semua remaja mempunyai resiko sama besar untuk menjadi pengguna zat psikoaktif. Anak atau remaja dengan sikap tertentu mempunyai resiko lebih besar menjadi pengguna zat psikoaktif dikemudian hari bila tidak dilakukan interverensi untuk memperkecil resiko tersebut.
Kenyataan lain ialah gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif sering terdapat bersamaan dengan gangguan jiwa lain (komorbiditas)

Ciri Masa Remaja
Masa remaja ditandai dengan perubahan yang relatif pesat, baik jasmani, mental-emosional maupun kehidupan sosial remaja. Perubahan yang pesat itu sering kali menimbulkan ketegangan, keresahan, kebingungan, perasaan tertekan, rasa tidak aman, bahkan tidak jarang sampai pada tingkat depresi.

Perubahan Jasmani
Pada masa pubertas, yaitu awal dari masa remaja, hormon pria (testosteron) mulai aktif bekerja dan mulai mempengaruhi perubahan baik jasmani maupun jiwa remaja. Postur tubuh anak berubah menjadi postur tubuh orang dewasa. Perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan menjadi semakin nyata. Pada laki-laki mulai tumbuh kumis, cambang, pubes (bulu didekat genital), suaranya “pecah” sebelum menjadi lebih “berat”, otot-otot menjadi lebih besar, tulang-tulang menjadi lebih kekar, mulai mengalami ”mimpi basah” atau polutio. Pada perempuan, timbunan lemak dipantat mulai tampak, payudara mulai membesar dan suara tidak banyak mengalami perubahan, kulit menjadi halus, otot dan tulang membesar, tetapi tidak sebesar dan sekekar laki-laki, serta mulai mendapat menstruasi.
Segala perubahan tersebut pada beberapa remaja dapat menimbulkan keresahan, dan kebingungan. Bila perkembangan jasmaninya lebih pesat dari perkembangan jiwanya, bisa terjadi kebingungan dalam memilih teman bermain. Di satu sisi, badannya yang sudah besar membuat dia malu bermain dengan anak-anak yang badannya jauh lebih kecil dari dirinya, padahal ia masih suka bermain dengan mereka. Sebaliknya, ia belum merasa cocok untuk bergaul dengan remaja yang badannya sudah sebesar dirinya. Kebingungannya bertambah bila sikap orang tua juga ambivalen. Bila anak membutuhkan pertolongan atau bantuan, orang tuanya mengatakan bahwa anak sudah besar, tidak pantas atau tidak perlu minta tolong. Sebaliknya, bila anak minta suatu kebutuhan sesuai untuk anak remaja, ia dikatakan masih kecil.
Tumbuhnya ciri seks sekunder sering kali mendorong remaja untuk melakukan eksplorasi alat dan fungsi seksual (membandingkan dengan gegital anak lain, masturbasi), diikuti dengan perasaan bersalah atau berdosa, oleh remaja tertentu diatasi dengan menggunakan psikoaktif.

Perkembangan mental-emosional
Setelah melewati masa kanak-kanak (usia 6-12 tahun) yang relatif tenang, masa remaja ditndai dengan kehidupan emosi yang lebih bergejolak. Remaja mulai melonggarkan ikatan emosional dengan kedua orang tuanya walaupun secara finansial remaja menyadari bahwa dirinya masih tergantung kepada orangtua. Melonggarnya ikatan emosional dengan orangtua memang diperlukan dalam rangka membentuk identitas diri seseorang. Pada saat itu, remaja mulai meninggalkan sebagian dari aturan, nilai atau norma yang berlaku dirumah orangtuanya dan mulai mencari nilai baru dalam kehidupan pertemanan dengan teman sebayanya. Aturan tidak boleh merokok dirumah mulai ditinggalkan. Agar diakui sebagai manusia yang telah dewasa, ia akan merokok dan mulai minum minuman beralkohol karena kebiasaan merokok sering di anggap sebagai lambang kedewasaan dan lambang kejantanan. Minum minuman beralkohol melambangkan kehidupan modern, bahkan dalam iklan sering digambarkan sebagai lambang keberhasilan. Semangat untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitarnya mendorong remaja untuk melakukan kegiatan baru dan mengandung rasiko berbahaya. Pencobaan menggunakan zat psikoaktif dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencoba-coba suatu yang baru yang mengandung resiko bahaya yang besar. Remaja usia 15-16 tahun mempunyai keyakinan yang khas dan unik (personal fable) bahwa apa yang dapat terjadi pada orang lain, tidak akan terjadi pada dirinya. Ia percaya bahwa menggunakan zat psikoaktif tidak akan merugikan dirinya walaupun kenyataannya menunjukkan hal yang sebaliknya.

Perubahan Kehidupan Sosial
Dalam rangka melepaskan keterikatan dengan orangtua, remaja membutuhkan teman untuk bersosialisasi. Agar dapat diterima dalam satu kelompok, remaja harus mengikuti kebiasaan kelompok yang akan dimasukinya. Bila dalam kelompok tersebut penggunaan zat psikoaktif merupakan suatu kebiasaan atau bersikap permisif terhadap penggunaan zat psikoaktif, ia juga akan ikut menggunakan zat psikoaktif untuk mempermudah interaksi sosial (vehicle of social interaction).



ASPEK SOSIOKULTURAL

Zat psikoaktif, seperti nikotin (dalam tembakau), etanol (dalam minuman beralkohol), kokain (dalam daun koka), morfin (dalam opium), dan tetra-hidro-kanabinol (dalam ganja) sering disebut sebagai reinforcing substance, yaitu senyawa yang cenderung dipakai ulang oleh orang tertentu karena zat tersebut mampu memberikan perasaan yang disukai oleh penggunanya. Dimasa lalu, penggunaan zat psikoaktif terbatas pada budaya tertentu dan wilayah tertentu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dala setengah abad terakhirmembawa akibat perubahan sosial dan kultural yang hebat. Nilai tradisional dalam berbagai kebudayaan telah memudar secara dramatis. Ikatan kekeluargaan menjadi lebih longgar.

Epidemi Penggunaan Zat Psikoaktif
Pada masa sekarang, penggunaan zat psikoaktif telah meluas sampai pada taraf boleh dikatakan epidemi tingkat global. Penggunaan zat psikoaktif biasanya berkaitan dengan perubahan sosial ekonomis yang pesat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya epidemi penggunaan zat psikoaktif di seluruh dunia.
Sarana transportasi yang semakin membaik, cepat, dan nyaman, menyebabkan semakin banyak dan semakin sering orang bepergian.
Teknologi komunikasi global yang semakin baik dapat menyampaikan informasi tentang apapun keseluruh penjuru dunia.
Kehidupan yang lebih bebas menyebabkan meningkatnya tanggungjawab individu dan melemahnya larangan tradisional yang berakar kepada budaya yang ada.
Penggunaan alkohol dan tembakau yang seolah-olah legal atau bebas merupakan langkah pertama menuju penggunanan zat psikoaktif.
Adanya perubahan susunan penduduk dunia.

Penggunaan Zat Psikoaktif di Indonesia
Motivasi penggunaan zat psikoaktif di daerah perkotaan masa sekarang berbeda dengan motivasi penggunaan zat psikoaktif didaerah perkotaan pada masa kini umumnya. Di Indonesia, kopi (yang mengandung kafein) merupakan zat psikoaktif yang banyak di konsumsi oleh masyarakat sebagai bahan untuk di nikmati, untuk menghilangkan rasa kantuk, dan sering di suguhkan kepada tamu yang berkunjung kerumah seseorang. Tujuh puluh empat persen dari 487 responden dalan suatu survei di Jakarta (Joewana dkk, 1993) berpendapat bahwa minum kopi merupakan keniasaan masyarakat setempat. Tembakau (yang mengandung nikotin) adalah zat psikoaktif lain yang banyak di konsumsi di Indonesia. Sebanyak 84 persen dari responden dalam survei tersebut berpendapat bahwa merokok tembakau merupakan kebiasaan masyarakat setempat. Walaupun demikian, masyarakat tidak setuju bila anak-anak di bawah umur merokok. Merokok dikalangan perempuan juga tidak lazim, tetapi karena pengaruh modernisasi, jumlah perokok perempuan semakin bertambah. Kebiasaan mengunyah daun sirih bersama gambir, kapur dan tembakau, semakin jarang di jumpai. Minuman beralkohol tradisional banyak di kenal di berbagai budaya di indonesia dengan nama yang berbeda. Akan tetapi, anak muda kota besar umumnya lebih menyukai minuman beralkohol buatan pabrik lokal maupun impor. Orang mengonsumsi alkohol sebagai bahan yang dinikmati, sebagai lambang kehidupan modern, sebagai bahan yang menimbulkan rasa santai, menimbulkan rasa berani, atau menginduksi tidur. Hanya 11% dari resonden tersebut diatas yang menyatakan alkohol sebagai minuman untuk sosialisasi (sosial drink).
Ganja dikonsumsi sebagai tujuan memperoleh rasa nikmat atau santai, sedangkat derivat benzodiazepin selain di konsumsi untuk tujuan memperoleh rasa nikmat, juga untuk menghilangkan ketegangan, menginduksi tidur dan menimbulkan rasa berani.
Ekstasi banyak di konsumsi untuk tujuan bersenang-senang, banyak diantaranya yang menggunakan ekstasi ketika mengunjungi diskotik. Demikian pula, sabu-sabu (met-amfetamin) dikonsumsi untuk tujuan memperoleh rasa nikmat dan senang. Heroin banyak dikonsumsi dengan alasan untuk dinikmati atau untuk mengatasi perasaan yang tidak enak (ketegangan, kecemasan, kesedihan).Meluasnya penggunaan heroin (putau), ekstasi, dan sabu-sabu di Indonesia sejak tahun 1995 bertepatan dengan krisis multidimensional. Apakah kedua fenomena diatas berkaitan satu dengan yang lain patut dipertimbangkan dan diteliti karena mirip dengan krisis multisosial dan meluasnya penggunaan zat psikoaktif di Amerika Serikat seperti yang diuraikan sebelumnya.

PENDEKATAN MASALAH

Penyalah gunaan NAPZA merupakan masalah yang sangat rumit dan dapat disikapi dengan berbagai pendekatan, yaitu pendekatan moral, hukum, dan kesehatan masyarakat.

Pendekatan Moral
Menurut pendekatan ini, orang yang menggunakan zat psikoaktif mempunyai tujuan memperoleh suatu kenikmatan jasmani ini oleh orang yang menganut pendekatan moral di nilai sebagai suatu dosa. Adiksi merupakan akibat pilihan seseorang (personal choice). Orang yang secara konsisten menyalahgunakan zat psikoaktif dipandang sebagai orang yang lemah iman. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa beberapa orang yang menggunakan zat psikoaktif (misalnya alkohol). Merasa bersalah setelah mabuk karena alkohol. Orang-orang itu juga menyesali perbuatannya pada waktu ia dalam keadaan mabuk sebagai suatu dosa. Keluarga atau masyarakat kadang-kadang menilai begitu juga. Banyak orang yang menyalahgunakan zat psikoaktif yakin bahwa dengan berdoa dapat menolong mereka bebas dari penyalahgunaan psikoaktif. Perlu intervensi keagamaan atau spritual untuk melepaskan seseorang dari penyalahgunaan zat psikoaktif. Mengkonsumsi alkohol dilarang oleh agama tertentu. Menurut agama Kristen, penyalahgunaan zat psikoaktif dapat menjauhkan yang bersangkutan dari dunia realitas.
Penyalahgunaan zat psikoaktif tertentu dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum. Penyalahgunaan zat psikoaktif dapat memperberat kelainan kepribadian yang terdapat dari seseorang dan berkurangnya kemampuan individu untuk menghadapi lingkungan dan menghadapi diri sendiri bila mengalami kejadian yang kurang menyenangkan.
Dalam Korintus 6 ayat 19 disebutkan, “atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri”? Oleh karena itu manusia wajib menjaga badannya agar tetap sehat karena menjadi rumah Tuhan. Dalam Korintus 6 ayat 9 “atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Jangan sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berjinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah, dan penipu, tidak akan mendapat bagian dari Kerajaan Allah.”
Pandangan gereja Katolik terhadap penyalahgunaan zat psikoaktif dapat di pelajari dari pernyataan Paus Yohanes Paulus 2 dalam berbagai pertemuan international, antara lain : “ditinjau dari sudut moral, menggunakan zat psikoaktif (drugs) senantiasa tidak dapat dibenarkan karena hal tersebut menunjukkan suatu penolakan yang tidak pada tempatnya serta tidak rasional pada pikiran, kehendak, dan perbuatan manusia yang merdeka”. Dengan mengatakan bahwa penyalahgunaan zat psikoaktif atau drugs tidak dapat dibenarkan, tidak berarti mengutuk penyalahguna zat psikoaktif (dugs). Para pengguna zat psikoaktif adalah orang yang sedang diperbudak sehingga harus dibebaskan dari perbudakan itu. Cara penyembuhannya tidak dapat dengan cara menyalahkan mereka secara etik atau dengan hukuman represif, melainkan dengan cara rehabilitasi tanpa harus mengabaikan kemungkinan dirinya melanggar peraturan yang berlaku tentang zat psikoaktif, membebaskan mereka dari keadaan ketergantungannya terhadap zat psikoaktif, dan reintegrasi kedalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, memperbaiki penyalahguna zat psikoaktif sehingga mereka mempunyai rasa percaya diri dan harga diri, yang akan membantu mereka dapat pulih kembali menikmati hidupnya yang menyenangkan.manusia tidak mempunyai hak untuk menciderai dirinya sendiri dan jangan pernah menghilangkan kebesarannya sebagai seorang manusia, yang diberikan kepadanya oleh Tuhan.

Pendekatan Hukum
Penggunaan zat psikoaktif tertentu dipandang sebagai penyimpangan perilaku yang membahayakan dan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara. Oleh karena itu, penggunaan zat psikoaktif tertentu harus dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Menurut pendekatan hukum, zat psikoaktif yang illegal (heroin, ganja, kokain, sabu-sabu, ekstasi) dan zat psikoaktif yang legal (nikotin, kafein, alkohol). Obat penenang dan obat tidur hanya dapat diperoleh dengan resep dokter untuk kepentingan pengobatan. Penentuan suatu zat psikoaktif termasuk yang legal atau yang ilegal tidak senantiasa berdasarkan dampaknya terhadap pengguna, tetapi lebih berdasarkan pada penerimaan atau penolakan masyarakat dan dampak sosialnya
Oleh karena zat psikoaktif tertentu merugikan pengguna maupun masyarakat, zat psikoaktif tertentu harus dijauhkan dari jangkauan masyarakat dengan peraturan perundang-undangan. Bila peraturan perundang-undangan disuatu negara lemah atau lebih ringan dari negara sekitarnya, kondisi ini akan mengundang sindikat zat psikoaktif ilegal beroperasi di negara itu.

Undang-Undang RI No.8 Tahun 1976
Undang-undang ini meratifikasi Single Convention on Narcotic Drugs and the 1972 Protocol Amending the Single Convention sebelum di undangkannya UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU RI No 9 tahun 1976 ini menggantikan “Verdoovende Middelen Ordonantie (Stbl 1927 no. 273 jo no. 536)” yang di buat pada zaman Hindia Belanda.

Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Undang-Undang ini menggantikan UU RI No. 9 Tahun1976 tentang Narkotika. Undang-undang ini di undangkan pada tanggal 1 September 1997, terdiri atas 15 bab dan 104 pasal. Berikut ini disajikan beberapa cuplikannya

Narkotika
Menurut UU ini, yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pecandu
Menurut UU ini, yang dimaksud pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkotika
Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan di hentikan.

Penyalahguna narkotika
Penyalahguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.



Penggunaan narkotika.
Narkotika hanya dapat di gunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengobatan dan rehabilitasi
Untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan atau membawa narkotika dan harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan atau dibawa untuk di gunakan, diperoleh secara sah.

Pendekatan Kesehatan Masyarakat.
Pendekatan ini melihat gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif terjadi karena interaksi tiga faktor, seperti konsep tentang terjadinya penyakit menular, yaitu adanya faktor host (orang), agent (kuman), dan environment (lingkungan fisik-biologis). Pada gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif, ketiga faktor itu adalah faktor individu, faktor zat psikoaktif, dan faktor lingkungan sosial.

Faktor Individu
Tidak semua orang mempunyai resiko sama besar untuk menderita gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Faktor kepribadian dan faktor konstitusi seseorang merupakan dua faktor yang ikut menentukan seseorang tergolong kelompok berisiko tinggi atau tidak.

Faktor lingkungan
Faktor langkungan meliputi lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, tempat bermain dan sebagainya. Faktor lingkungan rumah yang konduksif pada gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif antara lain komunikasi orang tua dan anak yang tidak atau kurang efektif, orang tua yang terlalu mengatur anak, orang tua yang terlalu banyak menuntut anak berprestasi diluar batas kemampuan atau diluar keinginan anak, orang tua yang terlalu sibuk sehingga kurang memberi cukup perhatian kepada anak, hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis, orang tua yang kurang menanamkan nilai yang baik dalam keluarga, atau adanya salah satu anggota keluarga yang sudah menggunakan zat psikoaktif.
Lingkungan sekolah yang konduksif kepada gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif antara lain sekolah yang kurang disiplin, banyak dan sering terjadi jam pelajaran kosong, tidak menyediakan fasilitas untuk menampung dan menyalurkan kreativitas maupun agresivitas siswa.

PENANGGULANGAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIK DAN PSIKOTROPIKA

Penanggulangan narkotik dan psikotropika, terutama dalam jumlah berlebih untuk waktu yang cukup lama, dan cukup teratur dalam menimbulkan efek merugikan bagi kesehatan pisik, mental, maupun kehidupan sosial pengguna, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Oleh karena itu, pengguna narkotik dan psikotropika yang demikian dilarang oleh undang-undang dan perlu di tanggulangi secara terpadu, menyeluruh, konsisten, pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
Penanggulangan itu secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok kegiatan utama, yaitu:
1 Mengurangi tersedianya narkotik dan psikotropika (supply reduction), yaitu dengan:
1.1 Memberantas peredaran gelap (illicit trafficking) narkotik dan psikotropika.
1.2 Menjaga agar kebutuhan narkotik tertentu dan psikotropika tertentu untuk kepentigan pengobatan (licit trafficking) terjamin, dan mengawasinya agar jangan sampai masuk kejalur peredaran ilegal.

2. Mengurangi kebutuhan akan narkotik dan psikotropika (demand reduction) untuk tujuan bersenang atau tujuan lain selain keperluan pengobatan dibawah pengawasan dokter, melalui kegiatan:
2.1. Prevensi
2.2. Terapi
2.3 .Rehabilitas
3. Mengurangi dampak buruk akibat penggunaan zat psikoaktif (harm reduction).

Usaha mengurangi dampak buruk mulai berkembang setelah prevensi infeksi penyakit yang menular melalui darah meningkat diantara pengguna jarum suntik (pejasun) atau intravenous drug users (IDUs), terutama infeksi HIV\AIDS, hapatitis C, dan hepatitis B. Usaha yang di tempuh melalui supply reduction dan demand reduction belum dapat memberikan hasil yang memuaskan. Harm reduction bukan bermaksud mengecilkan peran supply reduction dan demand reduction, melainkan melengkapinya. Harm reduction tetap menganjurkan orang agar tidak menggunakan zat psikoaktif. Bagi mereka yang tidak dapat melepaskan kebiasaan mengunakan zat psikoaktif, disarankan agar tidak melalui suntikan, melainkan menggunakan secara oral.

Deklarasi politik PBB
Dalam sidang khusus ke-17 pada sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York tanggal 20-23 Februari 1990, telah diputuskan suatu Deklarasi Politik Bangsa-Bangsa dalam melawan penyalahgunaan ataupun peredaran dan lalu lintas gelap narkotik dan psikotropika.
Deklarasi politik tersebut merupakan pernyataan komitmen politik tertinggi dari negara-negara peserta sidang khusus tersebut dalam rangka keja sama masyarakat internasional, secara terpadu untuk bersama-sama menaggulangi masalah penyalah gunaan narkotik dan psikotropika.
Isi pokok deklarasi tersebut antara lain menekankan perlunya bagi negara-negara untuk memberikan prioritas penanggulangan yang lebih tinggi, baik pada tingkat nasionl, regional maupun internasional berdasarkan prinsip saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah serta prinsip tidak campur tangan kedalam urusan dalam negeri suatu negara.
Program Aksi Global Melawan Produksi, Persediaan, Permintaan, Lalu Lintas, dan Distribusi Gelap Narkotik dan Psikotropika
International Conference on Drug Abuse and Illicit Traffiking (ICDAIT) yang diselenggarakan di Vienna pada tanggal 17-26 juni 1987 atas dasar keputusan No. 40/122 tanggal 13 Desember 1985 dalam sidang umum PBB, telah mengadopsi dokumen yang bernama Conprehensive Multidiciplinary Outline of future Activities in Drug Abuse Control (sering disingkat CMO)

TERAPI : DETOKSIFIKASI DAN PASCADETOKSIFIKASI

Detoksifikasi adalah terapi untuk melepaskan pasien dari kelebihan dosis, intoksikasi, dan sindrom putus zat. Detoksifikasi merupakan tahap awal dari proses terapi gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Detoksifikasi biasanya memberikan hasil yang baik, artinya pasien dapat dibebaskan dari pengaruh zat psikoaktif yang dikonsumsinya. Akan tetapi, detoksifikasi tanpa diikuti dengan terapi pascadetoksifikasi menyebabkan pasien cepat kembuh, artinya menggunakan zat psikoaktif lagi.
Terapi pascadetokfikasi ditujukan kepada penyakit komorbiditas, seperti adanya berbagai macam gangguan kepribadian, ansietas, depresi, gangguan panik, maupun psikosis; dan untuk mengurangi dan menghindari faktor resiko, misalnya dengan meningkatkan kemampuan pasien untuk mengambil keputusan, membuat pasien menjadi seorang yang lebih tegas dalam menghadapi tekanan kelompok, meningkatkan kemampuan interaksi interpersonal, mengubah presepsi pasien yang salah tentang dirinya maupun lingkungannya, meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap keluarga dan masyarakat; dan mengubah sikap keluarga terhadap pasien.
Terapi pascadetoksifikasi dulu disebut habilitasi mental/emosional atau rehabilitasi mental dan rehabilitasi sosial. Ada pula istilah rehabilitasi edukasional yang maksudnya adalah memelihara dan meningkatkan pengetahuan pasien serta mengusahakan agar pasien dapat mengikuti pendidikan lagi, sesuai dengan kemampuan intelegensi dan bakatnya, sedangkan rehabilitasi vokasional bertujuan menentukan kemampian pasien serta cara mengatasi penghalang atau rintangan untuk penempatan dalam pekerjaan yang sesuai. Juga memberikan keterampilan yang dapat dimanfaatkan oleh pasien untuk mencari nafkah.
Setelah selesai mengikuti terapi pascadetoksifikasi, pasien sebaiknya mengikuti program lanjutan (after-care program) untuk memperkecil kemampuan kambuh (relapse)

PREVENSI

Terapi detoksifikasi dan pascadetoksifikasi gangguan mental dan prilaku akibat panggunaan zat psikoaktif merupakan suatu rangkaian usaha yang berkesinambungan yang biayanya mahal, sedangkan hasilnya tidak terlalu memuaskan. Kemungkinan kambuh sangat besar. Oleh karena itu, usaha prevensi sangat penting. Walaupun demikian, usaha prevensi bukanlah usaha yang murah, lebi-lebih apa bila usaha ini masih pada tahap awal pelaksanaan.
Sejauh ini, usaha prevensi yang telah dilakukan diberbagai negara juga belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Walaupun demikian, penelitian dalam bidang prevensi masih giat dilakukan dan kemudian hari diperkirakan akan terdapat usaha pencegahan dengan tehnik baru.
Keberhasilan suatu prevensi tergantung pada seberapa jauh penyakit atau suatu gangguan diketahu penyebabnya, ada atau tidaknya metode pencegahan yang efektif serta tersedianya biaya dan tenaga yang memadai. Di negara berkembang biaya dan tenaga ahli dalam bidang prevensi masih sangat terbatas.

Prevensi Primer
Dalam pembahasan selanjutnya, yang dimaksud prevensi adalah prevensi primer. Prevensi adalah suatu proses konstruktif yang disusun untuk meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial seseorang sampai pada potensi maksimal, sambil menghambat atau mengurangi kegiatan yang mungkin timbul akibat penggunaan zat psikoaktif, baik yang alamiah ataupun sintetik. Oleh karena itu, program prevensi yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan anak dan remaja yang sesuai dengan fase perkembangannya adalah yang paling efektif untuk mencegah dan mengurangi gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dan prilaku desruktif lainnya, seperti membolos dan bentuk kenakalan lainnya. Batasan tersebut menekankan sifat multidimensional dari seorang individu, memperhatikan faktor manusia seutuhnya serta proses perkembangan idividu. Program prevensi yang menghargai kemanusiaan, kebesaran, dan keutuhan seseorang individu.



Program Informasi
Berupa informasi yang tepat, terpercaya, objektif, jelas sehingga mudah di mengerti, tentang semua jenis zat yang sering disalahgunakan, serta efeknya terhadap sistem organ tubuh manusia dan pengaruhnya terhadap prilaku manusia. Informasi pada dasarnya adalah penyampaian berita secara satu arah, yaitu si penerima informasi tidak mendapat kesempatan untuk bertanya, untuk mendapat penjelasan tentang isu-isu yang terkait dengan materi yang di informasikan. Tidak terdapat kesempatan untuk menyatakan pendapat pribadi, pertimbangan pribadi, dan pengalaman pribadi, atau keragu-raguannya, serta tidak mendapat kesempatan untuk menghilangkan keresahan yang di timbulkan oleh informasi itu sendiri. Program prevensi yang hanya mengandalkan penyebaran informasi dinilai tidak efektif dalam srategi prevelensi.
Informasi saja, betapa pun tepat, terpercaya, ilmiah, dan relevan, tidak senantiasa mempengaruhi prilaku manusia bila belum terkait dengan pengalaman, persepsi, perasaan, dan nilai yang dianut, serta pola hidup seseorang. Memberi informasi kepada remaja harus hati-hati. Jangan membuat sensasi tentang kemungkinan efek suatu zat tertentu kepada si pemakai karena remaja yang menyukai bahaya atau membanggakan keberaniannya justru akan tertarik untuk menggunakan zat tersebut. Semakin berbahaya suatu zat, semakin menarik bagi dirinya. Tehnik menakut-nakuti dalam penyebaran informasi hanya efektif pada keadaan yang sangat terbatas dan spesifik.
Informasi hendaknya jangan terlalu banyak karena akan menghambat penyerapan informasi tersebut oleh si penerima informasi. Informasi tidak efektif bagi individu yang hanya akan mendengar dan mempercayai hal-hal yang mendukung atau sejalan dengan sikap dan keyakinannya sendiri.

Peran Orangtua
Peran orang tua terhadap prevensi gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat psikoaktif sangat penting. Orangtua harus menjalin hubungan yang efektif denga anaknya, artinya orangtua dapat berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Orangtua sebaiknya mempunyai minat yang aktif pada kehidupan dan pekerjaan anak-anaknya di sekolah. Perlu dibina kerja sama yang baik antara orangtua dan guru. Orangtua dapat menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang diinginkn kepada anaknya yang berkaitan dengan sosial yang produktif. Orangtua perlu memberi semangat dan kasih sayang terutama, pada waktu anak menghadapi kesulitan, dan bukannya malah memperolok-olok, memarahi, aau bertindak kasar kepadanya. Anak perlu dibantu oleh orangtuanya agar dapat mengembangkan citra diri yang positif dan memiliki watak yang teguh. Untuk itu diperlukan orangtua yang berwibawa, komunikatif, dan rasional.
Orangtua sebaiknya mengetahui situasi penggunaan zat psikoaktif di wilayah tempat tinggalnya dan mengetahui berbagai aspek zat psikoaktif. Semakin banyak pengetahuan orangtua tetang zat psikoaktif, kredibilitasnya semakin tinggi dalam berdiskusi tentang zat psikoaktif dengan anak-anak. Orangtua dapat membahas apa yang didengar atau dilihat disekitarnya atau dari media massa tentang zat psikoaktif bersama anaknya.
Orangtua sebaiknya waspada terhadap gejala penggunaan zat psikoaktif, tetapi jangan bersikap mencurigai atau sikap berlebihan karena hal ini akan menyebabkan perasaan tidak suka pada anak sehingga menghambat komunikasi.

Peran Sekolah
Guru harus berlatih untuk mengenal gejala penggunaan zat psikoaktif. Sekolah harus mengembangkan kurikulum pencegahan penggunaan zat psikoaktif dan meningkatkan kesadaran orangtua murid terhadap masalah penggunaan zat psikoaktif.

Program bantuan bagi siswa (Student Assistance Program)
Di sekolah atau perguruan tinggi, berkumpul siswa atau mahasiswa dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi, dengan etnik yang berbeda, dan mempunyai pandangan yang berbeda terhadap sekolah atau perguruan tingginya. Mereka mempunyai harga diri dan kepercayaan diri yang berbeda. Sebagian nampaknya tidak bermasalah, yang lainnya tampak mempunyai masalah: masalah keluarga yang retak, masalah finansial, masalah dengan pacar, dan beragam masalah lainnya. Sebagian dari mereka terlibat penggunaan zat psikoaktif, yang lain tidak atau belum terlibat.
Program bantuan bagi siswa bukan suatu program, melainkan merupakan payung dari berbagai program di sekolah atau perguruan tinggi dengan berbagai kegiatan yang dapat membantu siswa atau mahasiswa terlepas dari masalah yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif. Kelompok siswa/ mahasiswa yang bisa memperoleh manfaat dari program tersebut adalah siswa atau mahasiswa yang:
ketergantungan zat psikoaktif
meyalah gunakan zat psikoaktif
baru selesai mengikuti program rehabilitasi penyalahgunaan zat psikoaktif
menderita, sebagai akibat orang lain menyalahgunakan zat psikoaktif
ragu-ragu dalam mengambil keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan zat psikoaktif
kelompok resiko tinggi, yaitu mereka yang mengalami perceraian atau perpisahan dirinya sendiri maupun orangtuanya, kematian, kehilangan orang yang dekat, bunuh diri, masalah seksual, penyalahgunaan anak oleh orangtuanya, anak terlantar, dan lain-lain.

Kesimpulan
Konselor sekolah/perguruan tinggi dapat merupakan konselor dari dalam sekolah/perguruan tinggi sendiri atau konselor dari luar institusi sekolah/perguruan tinggi. Siswa/mahasiswa pada umumnya lebih memilih konselor dari luar karena merasa lebih bebas mengungkapkan persoalannya dan lebih merasa terjamin kerahasiaannya. Dengan demikian, kedepan Pemerintah RI perlu lebih serius lagi untuk menghadapi masalah Narkoba dan sejenisnya ini, jangan setengah hati. Bila perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai dari Rohaniawan, guru, dosen, polisi, hakim, jaksa, Lsm, dokter, psikolog, psikiater, DPR, orang tua dan mantan pecandu.
Disamping penegakan supremasi hukum juga perlu peningkatan spritualitas bagi seluruh rakyat indonesia untuk lebih menguatkan iman sehingga secara otomatis akan menolak segala jenis tawaran zat psikoaktif itu. Dan yang lebih penting lagi penanganan para korban yang telah berjatuhan dengan mendirikan panti-panti rehabilitasi untuk mendampingi mereka para korban agar pulih sedia kala seperti manusia yang normal. Mulailah mengatakan tidak dengan narkoba dari diri sendiri! Karena lebih baik mencegah daripada mengobati, ibarat kata pepatah sedia payung sebelum hujan. Bila masalah ini kita hadapi secara bersama atau bergandengan tangan. Dengan demikian maka ada secercah harapan bagi generasi Indonesia yang bebas dari Zat Psikoaktif atau bahaya Narkoba dan sejenisnya.yang akhirnya membawa sebuah perubahan kearah yang lebih baik.

Tidak ada komentar: