Jumat, 06 Maret 2009

DAPATKAH KITA MEMAHAMI ORANG LAIN SECARA OBJEKTIF?
Pdt Masada Sinukaban
KESAKTIAN PEDULI GENERASI INDONESIA

1. Objektivisme

Sejarah ilmu sosial dipenuhi dengan berbagai karya-karya yang kelihatannya ilmiah tetapi sesungguhnya sangat idiologis. Seluruh disiplin ilmu misalnya, frenologi dan eugenika telah disusun untuk memperpanjang agenda politik; zaman sekarang kedua ilmu tersebut sebagian besar telah didiskreditkan karena konsep-konsep dasar, metode-metode, dan hasil-hasilnya dikotori oleh komitmen-komitmen politik mereka. Lapisan ilmu hanyalah merupakan kedok belaka bagi operasi yang lebih sinis jika terlihat dengan jelas. Dengan demikian, Michel Foucault dengan lantang memproklamirkan bahwa ilmu sosial utama merupakan senjata bagi sekelompok administrator yang cenderung ”menormalisasikan” kepentingan mereka dan dengan cara demikian bisa membuat mereka merasa tenang: bagi Foucault apa yang disebut ”kebenaran” hanyalah satu alat untuk melaksanakan dan menyebarkan kekuasaan diseluruh masyarakat.
Sebagian besar ilmuan sosial yang utama menganggap jalur pemikiran ini sebagai pemikiran yang tampak bagus dan berbahaya. Mereka menunjuk pada penyalahgunaan yang banyak sekali yang menyertai kegagalan membedakan apa yang benar dari apa yang dianggap bernilai atau yang memberdayakan kekuasaan. Mereka juga menuduh kebobrokan intelektual yang ditandai dengan kegagalan untuk membedakan “yang benar” dari “yang sangat di inginkan.”sebagian besar ilmuan sosial yang berpraktik sangat sadar bahwa ilmu-ilmu sosial khususnya sangat rentan terhadap penyalahgunaan sebagai propaganda. Ilmu-ilmu ini mengajukan pertanyaan penting tentang kepedulian agen-agen sosial dan politik yang cenderung menggunakan backing ilmu untuk mendukung rencana-rencana dan nilai-nilai mereka. Karena alasan inilah, pada umumnya para ilmuan sosial giat sekali untuk menemukan pertahanan demi usaha-usaha mereka yang menjadi lebih buruk hanya sebagai propaganda belaka.
Objektivitas biasanya sebagai alat pertahanan. Objektivitas menuntut agar para ilmuwan sosial menolak diintimidasi oleh atau menolak menjadi agen-agen bagi agenda-agenda politik atau kebijaksanaan konvensional yang ada; objektivitas juga menentukan agar mereka tidak menutupi agenda-agenda politik dan pribadi mereka sendiri sebagai laporan-laporan ilmiah mengenai bagaimana masyarakat dan manusia didalamnya bisa barjalan sebagaimana mestinya. Tetapi bagaimana obyektivitas harus dipahami? Secara historis, tafsiran objektivitas yang paling penting adalah tafsiran yang diberikan oleh objektivisme. Dengan demikian, untuk menerangkan arti objektivitas sebagaimana telah dipahami dengan paling berpengaruh menuntut agar objektivitas dibayangkan dalam konteks objektivisme.
Para objektivis mulai dengan menginterprestasikan perbedaan antara propaganda dan ilmu berkenaan dengan perbedaan antara pikiran-pikiran kita dan apa yang kita pikirkan. Ketika kita masih kecil kebanyaan kita yakin (atau bertindak seolah-olah yakin) bahwa hanya memikirkan sesuatu saja bisa menjadikannya kenyataan. Kita mengandaikan bahwa dunia berputar mengelilingi kita – misalnya, bahwa tindakan semua orang dilakukan sebagai respon terhadap atau diarahkan kepada kita, atau bahwa keinginan kita terhadap sesuatu sudah cukup untuk membuatnya menjadi kenyataan. Bagaimanapun kuatnya keinginan kita, kita tidak dapat membelokkan dunia untuk memenuhi tujuan kita, ataupun kita tidak dapat berharap bahwa apa yang kita pikir dapat diperoleh benar-benar tercapai. Pertumbuhan kita dari masa anak-anak sebagian besar terdiri atas proses kematangan epistemik sehingga kita dapat membedakan antara pikiran-pikiran kita dan apa yang ada dalam pikiran kita, antara otak kita dan realitas diluar otak kita, antara kebenaran dan kepalsuan.
Bagaimana kita dapat mencapai keinginan-keinginan kita kecuali mengetahui apa yang dapat memenuhi dan apa yang menghalanginya? Bagaimana caranya memuaskan perasaan penasaran kita tentang diri kita sendiri dan dunia kita? Bagaimana caranya untuk memperoleh kejelasan diri, untuk mengetahui apa dan siapa diri kita bila dibandingkan dengan apa yang mungkin kita pikirkan atau harapkan mengenai diri kita?
Bagaimana kita menafsirkan kebenaran dalam proses ini? Titik sentralnya adalah perbedaan antara apa yang ada dalam pikiran kita dan apa yang sesungguhnya diperoleh diluar pikiran kita. Dengan demikian, sangatlah wajar untuk berfikir bahwa dalam berbagai hal dimana isi pikiran kita berbeda dengan berbagai realitas.
Dengan mengetahui perbedaan antara pikiran kita dan realitas diluar pikiran kita selaras dengan realitas. Maka berbagai pernyataan dan teori kita akan bisa sesuai dengan obyek-obyek di luar pikiran kita; berbagai kenyataan kita akan “objektif.” Atas penjelasan ini, objektivitas benar-benar merupakan kekayaan pikiran kita dalam arti yang sebenar-benarnya bahwa objektivitas sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Dengan cara ini ”objektivitas” merupakan kekayaan pikiran kita selama pikiran kita benar; dengan demikian, menurut paham objektivisme, ”objektivitas” benar-benar sinonim dengan ”benar.” Hal ini dicakup dengan manis dalam fase umum ”benar secara objektif”.
Cabang devinisi lainnya tentang objektivitas diperoleh dari pentingnya menghilangkan elemen-elemen subjektif yang mengaburkan presepsi mental kita. Karena kebenaran objektif diperoleh dengan membebaskan diri kita dari elemen-elemen mental yang menipu, objektivitas juga dapat didefenisikan sebagai keadaan kognitif yang secara a priori kekurangan berbagai kategori dan konsepsi, keinginan, emosi, pertimbangan nilai, dan sebagainya yang pasti menyesatkan dan dengan demikian dapat mencegah pencapaian kebenaran objektif.
Tentang realitas sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita inginkan semuanya dapat dirangkum dengan istilah “kepentingan” dalam pengertian peduli terhadap hasil sesuatu. Karena kita takut atau ingin atau memperhatikan tentang X, kita tidak dapat menyelidikinya dengan cara yang mungkin bisa mengungkapkan apakah X itu masalahnya atau bukan. Hanya jika kita dapat membuat diri kita sendiri tak tertarik-atau, karena gagal melakukannya, memaksa diri kita untuk bertindak seolah-olah kita tidak tertarik-maka realitas dapat mengungkapkan dirinya sendiri kepada kita. Menurut paham objektivisme, objektivitas memerlukan ketidak tertarikan dan semua ciri ketidak tertarikan: kecenderungan yang tidak emosional; gaya yang dingin, objektif, dan tidak memihak. Dengan cara ini objektivitas juga dapat di pahami sebagai bentuk pengosongan diri dimana elemen-elemen diri dihilangkan dari aktivitas-aktivitas kognitifnya.
Para ilmuan sejati saja mengeringkan diri mereka sendiri, menjadi lembaran-lembaran kosong dimana realitas dapat menuliskan dirinya sendiri. Memang,”metode ilmiah”-yang selalu menjadi ciri khas pada observasi terkontrol, tes-tes double-blind, laporan-laporan bebas, dan penilaian terhadap berbagai hipotesis secara tak memihak-benar-benar merupakan cara pengosongan diri ini dapat dicapai.
Orientasi epistemik yang menekankan pikiran yang memantau realitas secara luas bersifat positif. Dengan demikian, penjelasan objektivis tentang objektivitas membangkitkan epistimologi objektivis.
Ketika ditemukan susunan realitas yang telah ada sebelumnya, keyakinan manusia menirukan susunan yang telah ada sebelumnya ini. Yakni, apa yang diklaim sesorang sebagai hal yang semestinya sesuai dengan apa yang benar-benar sebagai hal yang sebenarnya. Inilah yang membuat mereka benar: Keyakinan yang benar merupakan salinan dari entitas-entitas yang tidak terkait dengan pikiran. Dengan demikian, kebenaran suatu keyakinan tidak terdiri dari kesesuaiannya dengan suatu presepsi atau konsepsi dunia sebagaimana tampaknya bagi suatu kelompok tertentu, tetapi lebih dari kecocokannya dengan dunia sebagaimana adanya itu sendiri. Memang, kecocokan semacam ini benar-benar merupakan kebenaran itu sendiri.
Relevansi Mastermind dengan objektivisme dan epistemologi positivis dan ontologi realitas yang mendasarinya harus jelas : relevansi ini merangsang situasi para ilmuwan dan kosmos sebagaimana dipahami oleh obyektivisme. Ilmu adalah upaya untuk memastikan struktur ini melalui sebuah proses pembentukan dan pengujian hipotesa. Dalam proses ini para ilmuan harus menghilangkan berbagai distorsi dari diri mereka sendiri yang mungkin bisa mengganggu kemampuan mereka. Teori yang benar adalah teori yang benar-benar dapat meniru struktur yang telah ada sebelumnya, dan bila kemampuan menirukan ini tercapai maka teori ini bersifat “objektif.” Dalam kompleks gagasan ini, objektivitas dipahami sebagai sebuah kekayaan hasil-hasil penelitian, yakni kekayaan hasil-hasil yang benar. Sebuah teori atau fakta dikatakan obyektif jika sesuai dengan relitas sebagaimana adanya. Kedua, orang-orang atau metode-metode dikatakan obyektif jika mereka dapat menghilangkan elemen-elemen subjektif tang biasanya menghalangi pencapaian kebenaran yang obyektif.

2. Fallibilisme

Pertama, penjelasan positifis tentang pengetahuan tidak bisa lagi diterima. Fakta tidak bicara bagi dirinya sendiri; alam tidak pernah ditemukan dengan cara sebenarnya; pengalaman, sensasi-sensasi, dan presepsi-presepsi lain memerlukan sumber-sumber konseptual apriori agar bisa terjadi; dan bahasa yang kita gunakan untuk berpikir dan mengutarakan pikiran-pikiran kita terus menerus di resap oleh komitmen-komitmen konseptual kita. Perspektivisme telah mengajarkan kita bahwa teori apapun bagaimana kosmos bekerja mesti terjadi dari satu skema konseptual atau yang lainnya, dan bahwa dengan demikian pola-pola yang mendalam yang ingin dipastikan oleh ilmu merupakan konstuksi-konstruksi yang sama imajinatifnya sebagaimana bila berupa penemuan-penemuan.
Kedua, kita juga tahu bahwa untuk memahami berbagai fenomena yang disengaja melibatkan pengevaluasian rasionalitasnya. Dimensi evaluasi ini merupakan bagian yang tak dapat dilepaskan dari strategi pemberian penjelasan yang berusaha memberikan tindakan-tindakan sengaja yang memberikan produk-produk menjadi dapat di mengerti. Dengan demikian, cita-cita positivis untuk menahan diri untuk tidak membuat pertimbangan-pertimbangan evaluatif terhadap peristiwa-peristiwa dan objek-objek untuk di jelaskan harus di tinggalkan.
Akhirnya teori-teori ilmiah kita merupakan konstuksi yang bersifat arbitrer (manasuka) hanya merupakan refleksi kepentingan kita.
Persoalan tersebut berasal dari kesulitan mengetahui kapan sebuah teori dikatakan benar dan kapan salah. Mulailah dengan kebenaran sebuah teori. Asumsikan bahwa kita memiliki sebuah hipotesa (H) yang memprediksikan bahwa dibawah kondisi-kondisi khusus peristiwa-peristiwa tertentu ysng dapat diamati secara empiris akan terjadi; sebutlah berbagai peristiwa ini sebagai implikasi empiris (EI) dari H. Artinya jika H benar, maka EI pasti terjadi bila H mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut akan terjadi; kita dapat melambangkan situasi ini dengan rumus “jika H, aka EI akan terjadi.” Sekarang asumsikan bahwa implikasi empiris terjadi sebagaimana yang diprediksikan H, yakni, bahwa semua tes empiris kita tentang H sesuai dengan H. Dapatkah kita menyimpulkan bahwa sesuatu selain apa yang diklaim H menyebabkan berbagai peristiwa tersebut, sehingga meskipun implikasi empiris terjadi, bagaimanapun juga H tidak benar.
Di sini kita mungkin bisa mendapatkan bantuan dengan sebuah contoh. Dalam ilmu ekonomi Crude Quantity theory of Money and Prices menegaskan bahwa tingkat harga (P) bergerak dalam proporsi langsung ke suplai uang (M). Tuliskan dalam istilah aritmetika, Crude Quantity Theory dapat di tuliskan P = kM dimana keadaan konstanta positif yang menentukan hubungan proporsional antara P dan M. Rumus ini dimaksudkan untuk menjadi hipotesa empiris dengan berbagai macam implikasi empiris tertentu yang berasal dari hipotesa ini, misalnya bahwa jika suplai uang di tingkatkan, maka sebagai akibatnya tingkat harga akan meningkat. Tetapi meskipun terdapat berbagai hasil empiris ini dan tingkat harga meningkat sebagaimana diprediksikan dengan meningkatnya suplai uang, ini tidak menunjukkan bahwa kenaikan P disebabkan oleh naiknya M: baik P maupun M bisa disebabkan oleh suatu faktor yang tak diketahui.
Cara lain untuk menunjukkan hal penting ini adalah dengan meneliti sebuah silogisme yang menangkap kasus yang sedang di bahas:
(1) Jika H benar, maka pernyataan bahwa implikasi empiris akan terjadi adalah benar.
(2) Pernyataan bahwa implikasi empiris akan terjadi adalah benar.
(3) Oleh karena itu H adalah benar.


Satu hal yang paling penting berasal dari berbagai pertimbangan ini: kita tidak pernah dapat tahu pasti apakah suatu hipothesis ilmiah benar meskipun sesuai dengan semua pengamatan empiris kita. Cara lain untuk mengatakan hal ini adalah bahwa kita tidak pernah dapat membuktikan suatu teori ilmiah benar; ”bukti” merupakan standar yang tidak cocok ketika mengevaluasi berbagai teori ilmiah.
Satu kesimpulan yang kuat berasal dari ketidakmampuan kita untuk mengetahui apakah sebuah teori benar apa salah. Setiap teori yang kita yakini, bahkan teori-teori yang kita memiliki alasan-alasan yang kuat untuk mempercayainya, bisa saja salah. Kesimpulan ini merupakan inti dari tesis filosofis yang disebut fallibilisme. Menurut fallibilisme, tak ada tentang dunia yang dapat diketahui dengan pasti; kepastian bukanlah suatu yang dapat diberikan ilmu kepada kita.
Dari fallibilisme kita tahu bahwa seharusnya kita bahkan tidak boleh bersikap arogan atau sombong tentang keyakinan kita yang paling terjamin dan berharga: sebab sebagian dari keyakinan tersebut bisa saja salah. Sejarah ilmu menunjukkan hal ini. Banyak teori yang paling di sanjung-sanjung di masa lalu-fisika Newtown, astronomi Ptelomaic; teori humor penyakit; teori ekonomi merkantillis-telah kelihatan sangat tidak bisa di andalkan sehingga hampir tak ada satupun orang yang mempercayai teori-teori tersebut pada jaman sekarang. Bahkan mungkin bisa terjadi bahwa teori-teori yang telah kita tolak dengan percaya diri bisa muncul kembali dalam bentuk-bentuk yang agak berubah yang secara ilmiah lebih kuat dari sebelumnya.
Fallibilisme hanya menegaskan bahwa secara epistemologis manusia adalah mahluk terbatas, sehingga mereka tidak pernah merasa yakin apakah sesungguhnya mereka telah menirukan struktur ini dalam teori-teori ilmiah mereka. Bagaimana pemikiran ilmu dalam cara fallibilis ini menuntut untuk di pertanyakan?
Fallibilisme menuntut seluruh pandangan ini untuk di pertanyakan. Fallibilisme menegaskan bahwa semua yang kita miliki adalah diri kita sendiri yang bersusah payah membuat pengalaman kita dan dunia kita dapat di pahami oleh diri kita sendiri sebagai yang kita dapat, mengingat kuatnya berbagai keterbatasan epistemik yang dibawahnya kita beroprasi. Fallibilisme menegaskan bahwa berbagai macam susunan yang kita temui sebagian merupakan produk dari berbagai prespektif, imajinasi, dan kebutuhan kita sendiri, bukan sesuatu yang ditentukan kepada kita oleh Realitas itu sendiri.

3. Antar Subjektif yang Penting

Apa yang ditunjukkan semua ini mengenai pengertian objektivitas? Sederhana saja: dengan adanya fallibilisme, penjelasan yang dapat diterima tentang objektivitas tidak dapat mengikatnya secara langsung dengan pengertian kebenaran karena gagasan ”kebenaran objektif” tergantung pada sejumlah posisi-realisme, positivisme, dan ketidak tertarikan-yang menganggapnya tidak dapat di terima. Objektivitas tidak dapat merupakan kualitas pemikiran dimana pemikiran-pemikiran sendiri mencerminkan apa khususnya yang tidak terikat dengan pemikiran-pemikiran ini. Dengaan demikian, “objektivitas” tidak bisa berarti ”benar secara objektif” jika objektivitas harus tetap merupakan suatu cita-cita.
Jika objektivitas tidak menandai secara khas hasil investigasi, apa lagi yang mungkin ditandainya? Fallibilisme mengajukan suatu penjelasan alternatif tentang objektivitas, suatu penjelasan yang menafsirkan objektivitas bukan sebagai suatu sifat hasil-hasil investigasi tetapi sebagai sifat proses investigasi itu sendiri. Bagi para pengikut fallibilisme metode analisis ilmiah, bukan kesimpulan-kesimpulannya, ada yang bersifat objektif dan apa yang tidak. Yang dituntut bagi penafsiran yang disusun kembali tentang objektivitas adalah perubahan dari kecocokan substantif ke prosedural.
Apa yang membuat proses investigasi bersifat objektif? Singkatnya, bahwa proses investigasi hendaknya bersifat “jujur” (fair) dalam pengertian bahwa prosedur-prosedur dan pertimbangan-pertimbangan yang di tanggungnya hendaknya bersifat responsif terhadap bukti tersebut sebaik yang dapat di tentukan, dan bersifat responsif terhadap kemungkinan adanya berbagai interpretasi lain terhadap bukti ini. Untuk bersifat objektif sebuah kajian harus menuntun pada praktisinya untuk berusaha menemukan fakta-fakta yang tampak relevan dengan kasusnya, mengikuti arah fakta-fakta ini meskipun berlawanan dengan berbagai prasangka dan komitmen yang telah diterima, untuk membandingkan berbagai penjelasan mereka dengan penjelasan-penjelasan lain untuk menunjukkan bahwa penjelasan mereka lebih unggul, dan untuk mau merevisi atau meninggalkan kesimpulan-kesimpulan mereka jika kajian yang terakhir menjaminnya.
Investigasi ini bersifat “objektif” bukan dalam pengertian bahwa hasil-hasilnya mencerminkan dunia objektif, tetapi dalam arti bahwa aktivitas epistemik para praktisinya lebih penting dari pada keterikatan dan prasangka subjektif mereka yang sempit. Investigasi objektif adalah investigasi dimana para investigator harus mengabaikan impian khayal mereka, menghilangkan berbagai interpretasi yang dapat disepakati ketika tidak dapat dipertahankan ketika diteliti secara cermat, mengurung berbagai prespektif mereka sendiri agar dapat masuk kedalam prespektif-prespektif lawan secara simpatik dan menyelidiki secara kritis berbagai macam prespektif yang mudah datang kepada mereka. Objektivitas, yang di tapsirkan sedemikian ini merupakan suatu proses de-prokialisasi dimana para investiator mengatasi hal-hal yang menyenangkan, bersifat pribadi, dan konvensional. Objektivitas tidak terdiri atas kekosongan atau ketidak tertarikan, sebagaimana yang dimiliki objektivisme; malahan, objektivitas merupakan sifat terlepas dari berbagai komitmen seseorang yang cukup memadai untuk mengharuskannya untuk diteliti, sifat cukup terbuka bagi kemungkinan adanya kelebihan dari berbagai macam sudut pandang yang lain.
Bila dipahami dengan cara ini, objektivitas investigasi terdiri atas keberadaannya sebagai proses sosial politik yang sedang terjadi. Objektivitas investigasi merupakan proses sosial karena objektivitas menurut berbagai tanggapan terhadap berbagai teori dan investigasi orang lain, dan kesiapan untuk melakukan revisi atau dasar kritik mereka.
Lagi pula, suatu investigasi dapat objektif hanya dalam pengertian bila merupakan suatu proses investigasi yang terus berjalan. Tidak ada penyelidikan atau kesimpulan khusus yang dapat di hasilkannya sendiri untuk bisa objektif. Fallibilisme menunjukkan bahwa tidak ada metode atau penelitian yang dapat pasti yang dapat diketahui benar. Fallibilisme mengharuskan sikap menjauhkan diri terhadap kesimpulan apa pun. Dengan demikian, objektivitas menuntut agar para investigator mau memberikan tanggapan terhadap berbagai penemuan, analisis atau kritik yang akan datang sebanyak yang ada pada saat investigasi akan dilakukan.
Objektivitas yang dipahami dengan cara ini paling baik di istilahkan antar-subjektivitas kritis. Disebut antar subjektivitas karena terdiri dari sebuah dialog yang sedang berlangsung antara peneliti lawan yang masing-masing mereka berusaha untuk memahami pihak lain dengan cara yang benar-benar terbuka terhadap kemungkinan bahwa pandangan mereka mungkin ada manfaatnya.
Perhatikan bahwa objektivitas yang dipahami sebagai antar subjektivitas kritis tidak menuntut agar para investigator meninggalkan sebagian atau semua prasangka sebagai mana yang dilakukan objektivisme.
Amatilah bahwa tidak ada sesuatu dalam investigasi ini yang menuntut bahwa sesungguhnya pandangan-pandangan yang disebabkan oleh satu proses antar-subjektivitas kritis harus benar. Memang menurut fallibilisme sebuah teori atau klaim dapat disebabkan oleh suatu penyelidikan yang objektif namun bisa saja salah.
Objektivitas juga tidak menandakan kesepakatan. Beberapa filosuf telah mengklaim bahwa sebuah kesimpulan objektif merupakan kesimpulan yang “menjamin penerimaan oleh semua orang yang serius melakukan penyelidikan”(walsh,1960).
Fallibilisme tidak perlu mengarah pada skeptisme tentang dunia ilmiah. Karena teori mana pun bisa diterima, tidak berarti bahwa semua teori dapat diterima, atau bahwa bukti bagi teori apapun sama baiknya dengan bukti teori yang lain. Karena pertimbangan tidak menghasilkan kepastian tidak ada alasan untuk berpikir bahwa semua penilaian bersifat semaunya.
Tidak ada alasan mengapa para ilmuan sosial tidak dapat bersikap objektif secara persis dalam pengertian fallibilis yang sama.
Bersikap objektif menurut cara fallibilis ini, dan untuk melambangkan norma-norma yang berusaha menjamin investigasi yang objektif, merupakan satu prestasi yang luar biasa dalam memperoleh nilai yang tak dapat diperkirakan. Salah satu manfaat menafsirkan objektivitas menurut pemikiran fallibilis sebagai antar subjektivitas kritis adalah bahwa oleh karenanya prestasi ini dapat diterangkan secara jelas.

4. Akuntabilitas

Salah satu dimensi objektivitas yang dipahami sebagai antar subjektivitas kritis perlu disebutkan secara khusus. Dimensi ini adalah apa yang mungkin bisa disebut akuntabilitas. Investigasi sosial ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) adalah investigasi yang mempertimbangkan baik komitmen kognitifnya maupun posisionalitasnya.
Semua investigasi pasti memiliki prespektif, dan hasil-hasilnya pasti bersifat memihak dan mengandung kepentingan. Semua klaim pengetahuan pasti melekat dalam suatu cara khusus untuk menarik dunia. Artinya bahwa objektivitas tidak dapat berupa keterangan tentang semua praduga kognitif dan moral; karena jauh dari upaya untuk membuka mata orang-orang yang sadar maka keterangan semacam ini sesungguhnya menganggap mereka buta, tidak bisa melihat apapun sama sekali.
Bagi pengikut fallibilisme objektivitas menuntut agar orang yang tahu tidak hanya mengetahui batas-batas yang berkaitan bengan praktik-praktik teoritis dan otnografis mereka, tetapi juga kritik terhadap mereka dan tanggapan-tanggapan terhadap kritik ini. Lagi pula, pengenalan kritis harus meliputi sebuah investigasi ilmiah secara menyeluruh dan tidak hanya dibatasi pada titik awalnya saja.
Pengenalan kritis semacam ini harus terjadi paling tidak dalam bidang utama. Pertama, berbagai komitmen konseptual dasar suatu skema konseptual tertentu memberikan materi dimana berbagai fenomena diamati, dikategorikan, dan diinterprestasikan. Oleh karena itu, komitmen-komitmen ini merupakan faktor yang menentukan dalam karya aktual uraian dan penjelasan yang berisi kelompok utama analisis sosial ilmiah. Ilmu sosial yang obyektif adalah ilmu sosial dimana peranan yang dimainkan dari berbagai komitmen dasar ini dibuat nyata.
Kedua, para investigator objektif secara sadar diri harus bersikap kritis terhadap konsepsi mereka. Dengan demikian, menurut skema konseptual tertentu bagaimana fenomena-fenomena tersebut berfungsi sebagai bukti, dan asumsi-asumsi apa yang ada dibalik berbagai hubungan bukti ini yang harus diteliti dan dipertahankan. Dalam melakukan pekerjaan ini para investigator harus menjelaskan bagaimana konsepsi mereka tentang bukti telah membentuk investigasi mereka dan hasil-hasilnya.
Ketiga, obyektivitas menuntut agar para investigator secara sadar diri bersikap kritis terhadap standar-standar signifikansi mereka. Berbagai skema konseptual yang berbeda memiliki pengertian berbeda tentang apa yang menarik, penting, atau produktif secara epistemologis.
Untuk mengatakan bahwa objektifitas menuntut agar para investigator secara kritis melibatkan praduga-praduga intelektual dan evaluatif mereka tidak berarti bahwa hal ini merupakan satu-satu aktivitas mereka.
Pengenalan kritis adalah salah satu aspek kunci akuntabilitas tetapi bukan keseluruhan akuntabilitas. Obyektivitas menuntut bukan hanya bahwa para investigator harus bertanggungjawab dalam pengertian mengenali komitmen-komitmen intelektual dan politik mereka.
Dengan demikian, ilmu sosial yang objektif dapat di jelaskan (accountable) minimal dalam dua pengertian. Yang pertama, ia dapat dijelaskan karena berbagai komitmen intelektual dan evaluatifnya. Akuntabilitas ini terpenuhi bila karya-karya ilmiah sosial dibuat eksplisit dan secara kritis berkaitan dengan praduga-praduga konseptual yang mereka gunakan untuk beroperasi dan berkaitan dengan alternatif-alternatif mereka. Kedua, ilmu sosial yang objektif dapat diterangkan kepada siapa tulisan ini ditulis dan mengenai apa. Akuntanbilitas terpenuhi bila analisis-analisis sosial mengakui posisionalitas mereka vis-a-vis para investigator lain, audien mereka, dan mereka yang sedang di kaji, dan bila suara-suara yang lain ini diberi peran aktif untuk dimainkan dalam analisis-analisis sosial itu sendiri.
Objektivisme dan relativisme hanya dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Tanggapan yang tapat terhadap pilihan antara objektivisme dan relativisme adalah menolak bahwa keduanya hanyalah alternatif-alternatif dengan menunjukkan bahwa asumsi-asumsi umum keduanya bersifat problematis. Inilah sesungguhnya apa yang dikombinasikan fallibilisme dengan prespektivisme: ia memberikan suatu konsepsi pengetahuan yang tidak tergantung pada pengertian bahwa ilmu harus bisa mencerminkan realitas itu sendiri, dan bahwa ia harus menghilangkan semua elemen prespektif untuk melakukannya. Dengan demikian, meskipun kita tidak dapat mencapai “kebenaran objektif” sebagaimana yang dipahami objektivisme, kita tidak perlu menyimpulkan bahwa semua usaha untuk memperoleh pengetahuan mengalami bias atau hanya merupakan ungkapan kepentingan atau kekuasaan. Relativisme disebabkan oleh penggunaan tak kritis pengertian objektivitas yang sudah ketinggalan zaman yang diperoleh dari poros pemikiran yang sama seperti pemikiran objektivisme.
Jawaban yang telah kita dapatkan---objektivitas yang dipahami sebagai antar- subjektivitas kritis--- selaras dengan tema filsafat multikultural ilmu sosial: tema interaksi dan appropriation. Baik komunitas maupun kultur ilmiah sendiri merupakan entitas tertutup yang bersifat secara internal dan secara eksternal saling dibatasi satu sama lain. Malahan keduanya menuntut appropriation yang kritis oleh anggota-anggotanya untuk tetap berjalan, dan pada dasarnya keduanya dapat ditembus. Multikulturalisme harus menjelaskan cara-cara kehidupan manusia melibatkan usaha menyimak dan belajar dari orang lain melalui berbagai pertukaran, perselisihan, pijam-meminjam, dan bahkan pencurian. Antar subyektifitas kritis mengabadikannya dalam sebuah prinsip. Ia menuntut agar orang-orang yang tahu bersikap terbuka kepada orang lain, melibatkan mereka, mencari-cari dan mendengarkan berbagai pengamatan, penemuan, dan kritik mereka. Dengan demikian, multikulturakisme yang dipahami dalam istilah-istilh ini menghasilkan bukan hanya dunia-dunia kecil relativisme yang tertutup tapi juga forum interaktif fallibilisme.
Jadi, dapatkah kita memahami orang lain secara objektif? Tidak, jika objektivitas diinterpestasikan dalam cara objektifis yang berarti “sebagaimana mereka apa adanya.”Tetapi ya, jika obyektivitas diinterprestasikan dalam cara fallibilisme yang berarti” secara terbuka, responsif terhadap bukti, dapat dijelaskan, dan tidak takut kritik.”
Beberapa contoh cara pandang objektiv : Ketika Yahya Muhaimin menyelesaikan program doktornya di salah satu perguruan tinggi di Indonesia ia mengkritik atau memberi penjelasan mengenai KKN dan konglomerasi di Indonesia, pada saat yang sama seorang konglomerat yang bernama Probosutejo merasa terganggu dan mengatakan agar desertasi dan gelar doktor si Yahya Muhaimin di cabut. Karena dia merasa bahwa dialah yang di kritik oleh Yahya Muhaimin. Hampir sama dengan contoh diatas ketika baru-baru ini Akbar Tanjung menyelesaikan program doktornya di UGM Jokjakarta dan mengangkat “Kepeminpinan di Partai Golkar” sebagai judul desertasinya maka pada saat yang sama seorang Jusuf Kalla merasa yang di kritik karena dia sebagai ketua umum partai golkar saat ini. Jusuf Kalla reaktif dan kembali menyerang Akbar. Padahal di dalam dunia akademis sah-sah saja hal itu di lakukan sejauh itu dilakukan secara ilmiah dan melakukan investigasi atau penelitian Melihat contoh diatas jelaslah bahwa Yahya dan Akbar sangat objektif melihat secara terbuka, ada bukti-bukti ilmiah dan dapat dijelaskan. Namun sebaliknya Probosutejo dan Jusuf Kalla sangat subjektif karena takut di kritik. Demikian juga Hans Kung ketika mengkritik Paus, beliau mengatakan bahwa Paus juga manusia yang bisa saja melakukan kesalahan alias tidak sempurna. Untuk lebih memperjelas arti dan pengertian tentang objek, objektivisme, subjektif dan subjektivisme di bawah ini saya menambakan beberapa definisi atau arti dari istilah-istilah tersebut.


OBJEK
Dalam bahasa Inggris: object, dari bahasa latin objectus — dari objicare,obicare (melempar kemuka, menempatkan berhadapan, membantah) dari ob (terhadap) dan jacare (melempar).
Orang tidak dapat menarik makna istilah ini dari etimologinya saja, karena sudah mengalami perubahan besar. Arti yang bisa dipakai sekarang ialah apa yang berada pada dirinya, sebagai suatu hal/benda diluar pikiran.
Beberapa pengertian: Apa yang tersaji bagi indra kita. Sesuatu yang dapat kita lihat, dapat diraba, dapat dikecap, dan sebagainya.
Apa yang tersaji bagi kesadaran dan yang karenanya kesadaran menjadi sadar. “Objek” dapat menunjuk a) benda (hal) didunia luar yang ada secara independen yang merangsang indra atau kesadaran kita untuk memperhatikan benda (hal) ini atau b) isi pikiran itu sendiri yang diperhatikan dalam kesadaran.
Apa saja yang dapat dibicarakan (karenanya dapat disebut), dan khususnya bagi sebuah kata benda yang mempunyai eksistensi substansif.
Objektif secara harafiah berarti apa yang berhubungan dengan sebuah objek. Dalam hampir semua artinya, konsep itu bertolak belakang dengan “subjektif”. Karena “objek” sama sekali tidak sama dengan “sungguh-sungguh ada”, hendaknya penggunaan kata “objektif” dalam arti “aktual” atau “nyata” yang berbeda dengan kata “subjektif” dalam arti ”tidak nyata” atau “dipikirkan semata-mata”, dihindarkan dalam pengertian filosofis yang mencari perbedaan-perbedaan yang jelas.
OBJEKTIVISME
Inggris:objektivism
Beberapa pengertian: Objektivisme ialah posisi filosofis yang berisikan pandangan bahwa nilai pengetahuan di ukur oleh objek yang tidak tergantung pada subjek. Dalam bidang etika dan estetika, itu berarti objek atau tatanan objektif diakui sebagai bersifat normatif bagi kebaikan moral dan keindahan. Menurut realisme Aristotelian-Thomistik, objek, yang merupakan ukuran pengetahuan (kebaikan moral, keindahan) pada akhirnya adalah eksisten dan eksisten itu sendiri sama dengan esensi.
Objektivisma dan Realisme
Objektivisme adalah konsep yang lebih luas dari pada konsep realisme. Transendertalisme logis adalah jenis objektivisme, tetapi bukan realisme, karena transendentalisme logis mengakui suatu dunia yang seluruhnya tidak tergantung pada subjek sebagai norma terakhir, tetapi dunia ini tidak mempunyai eksistensi real.
Objektivisme epistemologis
Objektivisme epistemologis adalah teori bahwa dunia a) ada dalam dirinya sendiri, tidak tergantung dari dan diluar dari pemahaman kita tentang dan b) bahwa dunia ini dapat kita ketahui secara tidak tergantung dari sudut pandang subjektif manapun. Objektivisme epistemologis adalah pandangan bahwa pengetahuan didasarkan atas evidensi faktual yang a) ditemukan oleh metode-metode ilmu pengetahuan dan penalaran objektif dan b) menggambarkan hal-hal sebagaimana adanya. Objektivisme epistemologis adalah pandangan bahwa satu-satunya pengetahuan yang berarti (benar) ialah pengetahuan yang di asalkan dari dan/atau dikonfirmasikan oleh pengalaman indrawi.
SUBJEKTIF
Inggris: subjektive
Beberapa pengertian mengacu ke apa yang berasal dari pikiran (kesadaran, ego, diri, presepsi-presepsi kita, putusan pribadi kita) dan bukan dari sumber-sumber objektif luar. Apa yang ada dalam kesadaran tetapi tidak mempunyai acuan objektif di luar atau konfirmasi yang penting. Yang berhubungan dengan pengalamam-pengalaman (percakapan-percakapan, presepsi-presepsi, reaksi-reaksi pribadi, sejarah, keistimewaan-keistimewaan) individual yang tahu.
Perbedaan dengan Objektif dan Publik
Subjektif berbeda dengan objektif dan dengan publik. Subjektif biasanya juga mengaku pada cara-cara dan proses pengalaman yang mengalami (subjek) yang kontras dengan hal-hal (objek) dan dunia nyata yang sedang dialaminya. Subjektif sering dipakai secara peyoratif untuk menunjukkan pencapaian putusan-putusan yang didasarkan pada alasan-alasan emosional atau prasangka tanpa dukungan analisis objektif, logis.
SUBJEKTIVISME
Satu kategori umum yang meliputi suatu doktrin yang menekankan unsur-unsur subjektif pengalaman. Dalam epistemologi, doktrin yang membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan keadaan sendiri. Ajaran tentang persepsi representatif condong dengan kata gori ini. Dalam metafisika, doktrin-doktrin solipsisme dan idialisme subjektif.

Tidak ada komentar: