Rabu, 25 November 2009

No : 002/Ex/EksKot-LMND Salatiga/XI/2009
Hal : Pers Release


HENTIKAN REJIM NEOLIBERAL YANG PENUH KORUPSI !!!!


Pertemuan Krisis dan Kembalinya Pola Kediktatoran
Situasi nasional saat ini sangat dipengaruhi oleh dua hal yang bersifat mendunia; pertama, krisis kapitalisme yang mendalam dan berkepanjangan; kedua, perjuangan intensif untuk keluar dari kekangan dunia unipolar, atau kekangan AS. Kedua varibel itu sangat mempengaruhi, secara langsung dan tidak langsung, terhadap konjungtur ekonomi dan politik nasional.

Ekonomi Terjun Bebas
Ibarat penyakit menular, krisis ekonomi di negeri maju akan segera menjangkiti perekonomian Negara di berbagai belahan dunia lainnya. Sebab kita, katanya, sudah hidup dalam sebuah lingkungan global, yang terhubung satu sama lain dan sulit untuk terjadinya pelepasan ikatan atau delinking economy.
Hanya saja, patut diketahui, bahwa “kekebalan” dunia ketiga sudah terlucuti semenjak kebijakan penyesuaian structural diberlakukan, sehingga selain sangat mudah dijangkiti penyakit tularan, juga akan menderita lebih parah ketimbang yang menularkan.
Kondisi ekonomi pada tahun 2009 ini akan memasuki krisis paling parah dalam 50 tahun terakhir. Krisis sekarang memadukan kehancuran ekonomi dalam negeri, kejatuhan daya beli yang sangat parah, dan kehancuran lingkungan.
Kehancuran Industri di dalam negeri terdorong oleh faktor kebijakan penyesuaian structural, yang menyebabkan pasar internal dibuka, proteksi negara dihapuskan, dan kapital asing dibebaskan beroperasi, termasuk mendukung pasar spekulatif.
Ketika pasar internal dibuka, melalui kebijakan penurunan tarif secara drastis, barang-barang impor pun membanjiri pasar di dalam negeri. Sementara itu, pasar dalam negeri dipaksa bergantung pada pasar internasional. Dengan daya kompetitif yang rendah, serta gejolak pasar dunia, industri Indonesia sangat rentan untuk dirugikan (dibangkrutkan!).
Sepanjang tahun 1980an-1990an, negara menjadi pemain kunci di bidang ekonomi, dengan kontribusi perusahaan negara mencapai 30% GDP, dan mendekati 40% untuk produk non-agrikultur. Persentase belanja modal dalam anggaran belanja pemerintah mencapai 47%.
Sementara itu, karena Indonesia harus mengikuti petunjuk WTO, maka tarif masuk atau impor barang diturunkan hingga 5%, bahkan menjadi 0% bagi daerah-daerah yang dinobatkan sebagai kawasan ekonomi khusus atau free trade zone (FTZ). Kini barang impor bukan hanya jenis barang yang langka atau sulit diproduksi di dalam negeri, tetapi juga jenis produk atau komoditi yang cukup banyak di dalam negeri, seperti sayuran, buah-buahan, dan kebutuhan pokok lainnya. Pada produk makanan dan minuman, misalnya, semuanya hampir diimpor, mulai dari terigu, coklat, gula, sampai kemasannya.
Selanjutnya, seiring dengan paket liberalisasi seluruh sektor perekonomian, sektor keuangan juga dibuat sangat liberal sehingga memungkinkan “banjir kapital” dari luar.
Akibatnya, pangsa pasar industri dalam negeri terhadap PDRB terus merosot sebesar 30,1% (2001), dan 28,1% (2005). Disamping itu, pertumbuhan industri di dalam negeri terus mengalami penurunan, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Pada tahun 2009 ini, berdasarkan sumber departemen perindustrian, pertumbuhan industri melorot sekitar 2,5% hingga 3,4%. Malahan, menurut menteri perindustrian, pertumbuhan industri pada kuartal awal tahun 2009 ini hanya mendekati 1-1,5 persen.
Lebih lanjut, tekanan liberalisasi juga menurunkan daya saing produk-produk lokal di dalam pasar negeri, misalnya tekstil dan produk tekstil (TPT) merosot dari 57% (2005) menjadi 23% (2008). Ada pula laporan yang menyebutkan, sekitar 70% pasar produk-produk usaha menengah dan kecil (UMK) di dalam negeri telah digusur oleh produk impor.
Bayangkan, Indonesia yang mempunyai hamparan sawah paling luas di dunia, justru menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu.
Terakhir, yang sungguh memalukan sebagai bangsa maritim, adalah Indonesia juga harus masuk daftar pengimpor garam terbesar di dunia, dimana 50% kebutuhan garam nasional diperoleh dari impor. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.
Efek neoliberal meninggalkan kombinasi krisis yang mengerikan bagi rakyat Indonesia;
Pertama, kejatuhan daya beli yang begitu massif, khususnya bagi kalangan kelas menengah dan kalangan bawah. Hampir seluruh konsumsi rakyat Indonesia saat ini dibiayai melalui utang, mulai dari kredit konsumsi, program sosial neoliberal (BLT, KUR, BOS, PNPM, dsb) yang dibiayai hutang, program stimulus ekonomi yang juga dibiayai utang, hingga kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri yang juga dibiayai dengan utang. Ini memicu kenaikan yang menggila dari utang rumah tangga. Di AS, kenaikan utang rumah tangga menjadi pemicu penting krisis supreme mortage. Bagaimanapun, utang merupakan gejala negatif dalam indikator sehat dan tidaknya ekonomi.
Kedua, Munculnya kesenjangan pendapatan yang mencolok. Sepanjang tahun 2000-2009, kesenjangan pendapatan semakin melebar di kalangan rakyat Indonesia. Menurut ekonom dari UGM, Mudrajat Kuncoro, sebanyak 40% penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin belum pernah menikmati kue hasil pembangunan ekonomi. Kelompok ini, menurutnya, hanya menikmati hanya 20,2% porsi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000, dan semakin menurun menjadi 19,2% pada tahun 2006. Sebaliknya, 20 % kelompok terkaya menikmati 42,19% dan 45,72% pada tahun yang sama.
Disamping kesenjangan ekonomi antar penduduk, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga nampak mencolok. Menurut Hendri Saparini, sekitar 81 persen konsentrasi atau kue ekonomi itu ada di Jawa dan Bali.
Ketiga, lumpeng-isasi massa rakyat (penciptaan barisan penganggur), dimana sebagian besar masyarakat terdepak keluar dari pekerjaan tetap di dalam sektor industri. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya pengangguran dan perkembangan signifikan sektor informal. Sekarang ini, seperti yang diungkapkan OPSI, sektor informal sudah mencakup sekitar 70% dari angkatan kerja produktif.
Keempat, Kelebihan produksi atau over produksi secara massif yang menjangkiti sektor-sektor industri di dalam negeri. Di industri elektronik, misalnya, sejumlah perusahaan mengaku sudah memangkas produksinya hingga 40%. Berdasarkan pengelompokan, kelompok industri yang mengalami kejatuhan paling parah meliputi industri kendaraan alat angkut sebesar 14,89%, kemudian industri logam dasar sebesar 13,04%, dan industri tekstil yang mencapai 10,61%. Malahan, menurut pernyataan perwakilan pengusaha, Sofyan Wanandi, produksi terpakai industri dalam negeri hanya mencapai 70%, sebuah angka yang mengkhawatirkan.
Selain itu, krisis ekonomi ini yang dihasilkan neoliberal ini berada diambang batas yang bisa dirasionalisasi oleh lingkungan alam (bumi). Ada kehancuran ekologi yang sangat parah, yang apabila tidak diantisipasi segera dengan model pengelolaan yang pro-lingkungan, akan mengancam kelangsungan hidup manusia di planet bumi ini.

Kembalinya Politik Otoritarian
Seperti dikatakan di bagian pembuka, bahwa situasi politik nasional dipengaruhi sejumlah faktor; (a) krisis kapitalisme dunia yang mendalam dan berkepanjangan, (b) perjuangan intensif untuk keluar dari dunia unipolar (baca, dominasi AS), dan (c) perimbangan kekuatan di dalam negeri.
Bentuk penyelesaian terhadap krisis mendalam dan berkepanjangan ini, salah satunya, adalah dengan melibatkan seluruh bangsa-bangsa dan dunia ketiga dalam fakta bersama untuk memecahkan persoalan ini. Bagi negeri imperialis, Indonesia merupakan sekutu loyal yang sanggup memberikan pengorbanan apapun untuk menyelamatkan kekuasaan segelintir orang di benua utara. Ini menjadi alasan utama kenapa mereka (negeri imperialis) sangat merestui SBY-Budiono untuk menjalankan kepercayaan mereka.
Dalam kancah geopolitik global, SBY dijadikan salah satu jubir paling penting negara maju dan kepentingan bisnis MNC/TNC, untuk membujuk dan merayu barisan negara dunia ketiga lainnya supaya mematuhi aturan dan superioritas negara maju dan doktrin neoliberalnya.
Salah satu rekomendasi sang mandor untuk SBY, ketika itu, adalah membangun administratur atau pemerintahan profesional, Sebuah istilah untuk pemerintahan yang sepenuhnya diisi oleh intelektual dan tehnokrat pro-barat.
Ini tidak sepenuhnya berjalan sebab SBY berhadapan dengan situasi yang sangat pelik; Dia membutuhkan sebuah stabilitas politik yang kondusif untuk menjalankan administraturnya, sementara pilihan kebijakannya, sistim neoliberal, sudah tidak populer dan mendapatkan protes secara luas. Partainya sendiri, demokrat, bukan partai yang mengakar kuat di tingkatan massa, punya struktur yang siap dimobilisasi, dan sebagainya. Satu-satunya kekuatan dia sebenarnya adalah politik menjaga image atau citra.
Ini membawa sejumlah konsekuensi politik; (a) SBY harus memberikan kompromi dan konsesi politik yang lebih luas sebagai prasyarat untuk merangkul semakin banyak kekuatan politik bersatu di belakang barisannya, termasuk merangkul partai oposisi. (b) SBY harus menampilkan sebuah performa politik yang tidak memungkinkan adanya celah bagi oposisi terhadap pemerintahannya. (c) oposisi ekstra parlemen harus dikerdilkan, sementara ruang bebas untuk mengkritik pemerintah mulai dibatasi secara pelan-pelan.
Dengan begitu, SBY berharap bisa mengkonsolidasikan seluruh elit dalam dinasti “cikeas”, serta mengamankan kekuasaannya dari oposisi elit. Sementara itu, gerakan-gerakan massa dari lapisan sosial bawah akan ditekan melalui kanalisasi atau kooptasi, baik melalui isu-isu LSM/NGO maupun program karitatif.

Skandal Century dan Kriminalisasi KPK
Skandal bank century merupakan kejahatan ekonomi dan politik paling memalukan, bahkan melebihi kejadian BLBI beberapa tahun lalu. Gempa century dikatakan dapat menimbulkan tsunami politik karena beberapa alasan; pertama, skandal ini melibatkan sejumlah tokoh kunci dalam pemerintahan SBY, diantaranya wakil presiden sekarang ini, Budiono, dan menteri keuangan, Sri Mulyani. Kedua, skandal ini menonjok hidung para pendukung neoliberal yang selalu berkhotbah mengenai pemerintahan bersih (clean government) dan baik (good governance).
Lebih buruk lagi, kejadian ini muncul di awal pemerintahannya, sehingga sangat beresiko menciptakan mosi tidak percaya secara luas atas kredibilitas politik pemerintahan ini. Sehingga, untuk kepentingan ini, SBY telah menggunakan segala cara untuk menenggelamkan isu ini dan berpura-pura tidak menggubrisnya.
Di satu sisi, SBY sangat berkeinginan mengubur kasus ini untuk mengamankan pemerintahannya. Sementara, di sisi lain, ada keinginan besar sejumlah masyarakat agar kasus ini diungkap. Pada saat itu, harapan masyarakat untuk pengungkapan kasus bank century ini terletak di tangan KPK. KPK pun mulai bergerak, dan nama Susno Duadji pun terkuak.
Menghadapi “gerakan” KPK, Polri pun menggelar “counter-action”, sebuah tindakan preventif terhadap pergerakan KPK ini. Polri pun mencegat dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, terkait dugaan penyalah-gunaan wewenang dalam menerbitkan dan mencabut status cegah (larangan ke luar negeri), khususnya pencegahan terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan sekaligus pencabutan cegah terhadap pengusaha Djoko Tjandra.
Tak hanya itu, seperti dilangsir oleh pemberitaan ANTARA, Mabes Polri juga menuding kedua pimpinan KPK itu menerima suap dan atau memeras pengusaha Anggoro Widjojo yang sedang terjerat kasus korupsi di KPK.
Perseteruan terus bergulir, dan presiden tidak menjadi penengahnya, malah terkesan mau berposisi diluar persoalan ini. Ini berpuncak pada munculnya dokumen “15 juli 2009”, yang ditandatangani Anggodo Widjojo dan Ari Muladi. Dokumen sebanyak sepuluh halaman itu menguraikan kronologi dugaan suap kepada sejumlah petinggi KPK.
Anehnya, ada kesamaan substansi antara dokumen 15 juli, seperti yang ditunjukkan FX. Lilik Dwi Mardjianto di harian ANTARA, dengan pernyataan Kapolri Bambang Hendarso Danuri 25 September 2009, meski Kapolri mendasarkan pernyataannya dari laporan polisi yang dibuat mantan ketua KPK, Antasari Ashar.
Puncaknya, kemudian, adalah tersebarnya sebuah transkrip pembicaraan antara Anggodo Widjojo (adik buron KPK, Anggoro Widjojo) dengan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen), dan mencatut sejumlah pejabat tinggi negara, mulai dari Polri, Kejagung, hingga RI-1 (baca, presiden).
Sikap diam presiden SBY atas kasus ini, pada awalnya, merupakan sinyalemen keterlibatan dia sebagai salah satu aktor yang berkepentingan terhadap penghancuran KPK. Tentu saja, selain untuk melakukan pembalasan atas penahanan besannya, Aulia Pohan, juga yang paling penting adalah melindungi koleganya yang terseret skandal century.
Meskipun begitu, kita patut menghaturkan terima kasih yang begitu besar dukungan melimpah terhadap KPK ini. Ada beberapa hal yang patut dibanggakan; (a). mitos neoliberal sebagai sistem ekonomi yang memerangi korupsi, kapitalisme kroni, dsb, akhirnya terbantahkan juga. Kini neoliberal bergandengan dengan koruptor, dan membangun sebuah rejim politik korup. (b). kredibilitas pemerintahan SBY-Budiono merosot secara drastis. Kedepan, pemerintahan ini akan berhadapan dengan oposisi luas dari masyarakat yang mulai tidak percaya dengan rejim ini. (c). sejumlah lapisan pendukung loyal SBY-Budiono mulai goyah, sebagian sudah bergeser menjadi kritis dan melemparkan mosi tidak percaya terhadap rejim ini.

Oleh sebab itu kami dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Kota Salatiga pada hari ini, Rabu, 25 Nopember 2009 mengadakan aksi dengan tuntutan :

1. Usut tuntas kasus skandal Bank Century yang melibatkan pejabat tinggi Negara seperti Budiono, Sri Mulyani dan lain-lainnya.
2. Ganti seluruh menteri dan pejabat tinggi Negara yang terlibat kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, pelecehan kaum perempuan, dan jadi agen Neoliberal.
3. Hentikan pemerintahan SBY-Budiono karena sudah jelas-jelas menjadi agen neoliberal dan korup. Tidak ada kemakmuran yang akan didapat rakyat Indonesia dengan melanjutkan pemerintahan ini, namun kebangkrutan dan kemiskinan lah yang akan dirasakan.


Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Sudah Saatnya Bangkit Jadi Bangsa yang Mandiri !!!!!
HENTIKAN YES, LANJUTKAN NO !!!!!

Salatiga, 25 Nopember 2009

Koordinator Aksi


Syaloom Pasau

Selebaran Aksi di Salatiga tanggal 25 November 2009
Jam 12-1 Siang Rute Kampus UKSW menuju Bundaran Ramayana depan Runah Dinas Walikota Salatiga.

Eks-Kot LMND Salatiga
Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
Kota Salatiga

HENTIKAN REJIM NEOLIBERAL YANG PENUH KORUPSI !!!!

Pertemuan Krisis dan Kembalinya Pola Kediktatoran
Situasi nasional saat ini sangat dipengaruhi oleh dua hal yang bersifat mendunia; pertama, krisis kapitalisme yang mendalam dan berkepanjangan; kedua, perjuangan intensif untuk keluar dari kekangan dunia unipolar, atau kekangan AS. Kedua varibel itu sangat mempengaruhi, secara langsung dan tidak langsung, terhadap konjungtur ekonomi dan politik nasional.

Ekonomi Terjun Bebas
Ibarat penyakit menular, krisis ekonomi di negeri maju akan segera menjangkiti perekonomian Negara di berbagai belahan dunia lainnya. Sebab kita, katanya, sudah hidup dalam sebuah lingkungan global, yang terhubung satu sama lain dan sulit untuk terjadinya pelepasan ikatan atau delinking economy.
Hanya saja, patut diketahui, bahwa “kekebalan” dunia ketiga sudah terlucuti semenjak kebijakan penyesuaian structural diberlakukan, sehingga selain sangat mudah dijangkiti penyakit tularan, juga akan menderita lebih parah ketimbang yang menularkan.
Kondisi ekonomi pada tahun 2009 ini akan memasuki krisis paling parah dalam 50 tahun terakhir. Krisis sekarang memadukan kehancuran ekonomi dalam negeri, kejatuhan daya beli yang sangat parah, dan kehancuran lingkungan.
Kehancuran Industri di dalam negeri terdorong oleh faktor kebijakan penyesuaian structural, yang menyebabkan pasar internal dibuka, proteksi negara dihapuskan, dan kapital asing dibebaskan beroperasi, termasuk mendukung pasar spekulatif.
Ketika pasar internal dibuka, melalui kebijakan penurunan tarif secara drastis, barang-barang impor pun membanjiri pasar di dalam negeri. Sementara itu, pasar dalam negeri dipaksa bergantung pada pasar internasional. Dengan daya kompetitif yang rendah, serta gejolak pasar dunia, industri Indonesia sangat rentan untuk dirugikan (dibangkrutkan!).

Kembalinya Politik Otoritarian
Seperti dikatakan di bagian pembuka, bahwa situasi politik nasional dipengaruhi sejumlah faktor; (a) krisis kapitalisme dunia yang mendalam dan berkepanjangan, (b) perjuangan intensif untuk keluar dari dunia unipolar (baca, dominasi AS), dan (c) perimbangan kekuatan di dalam negeri.
Bentuk penyelesaian terhadap krisis mendalam dan berkepanjangan ini, salah satunya, adalah dengan melibatkan seluruh bangsa-bangsa dan dunia ketiga dalam fakta bersama untuk memecahkan persoalan ini. Bagi negeri imperialis, Indonesia merupakan sekutu loyal yang sanggup memberikan pengorbanan apapun untuk menyelamatkan kekuasaan segelintir orang di benua utara. Ini menjadi alasan utama kenapa mereka (negeri imperialis) sangat merestui SBY-Budiono untuk menjalankan kepercayaan mereka.
Dalam kancah geopolitik global, SBY dijadikan salah satu jubir paling penting negara maju dan kepentingan bisnis MNC/TNC, untuk membujuk dan merayu barisan negara dunia ketiga lainnya supaya mematuhi aturan dan superioritas negara maju dan doktrin neoliberalnya.
Salah satu rekomendasi sang mandor untuk SBY, ketika itu, adalah membangun administratur atau pemerintahan profesional, Sebuah istilah untuk pemerintahan yang sepenuhnya diisi oleh intelektual dan tehnokrat pro-barat.
Ini tidak sepenuhnya berjalan sebab SBY berhadapan dengan situasi yang sangat pelik; Dia membutuhkan sebuah stabilitas politik yang kondusif untuk menjalankan administraturnya, sementara pilihan kebijakannya, sistim neoliberal, sudah tidak populer dan mendapatkan protes secara luas. Partainya sendiri, demokrat, bukan partai yang mengakar kuat di tingkatan massa, punya struktur yang siap dimobilisasi, dan sebagainya. Satu-satunya kekuatan dia sebenarnya adalah politik menjaga image atau citra.
Ini membawa sejumlah konsekuensi politik; (a) SBY harus memberikan kompromi dan konsesi politik yang lebih luas sebagai prasyarat untuk merangkul semakin banyak kekuatan politik bersatu di belakang barisannya, termasuk merangkul partai oposisi. (b) SBY harus menampilkan sebuah performa politik yang tidak memungkinkan adanya celah bagi oposisi terhadap pemerintahannya. (c) oposisi ekstra parlemen harus dikerdilkan, sementara ruang bebas untuk mengkritik pemerintah mulai dibatasi secara pelan-pelan.
Dengan begitu, SBY berharap bisa mengkonsolidasikan seluruh elit dalam dinasti “cikeas”, serta mengamankan kekuasaannya dari oposisi elit. Sementara itu, gerakan-gerakan massa dari lapisan sosial bawah akan ditekan melalui kanalisasi atau kooptasi, baik melalui isu-isu LSM/NGO maupun program karitatif.

Skandal Century dan Kriminalisasi KPK
Skandal bank century merupakan kejahatan ekonomi dan politik paling memalukan, bahkan melebihi kejadian BLBI beberapa tahun lalu. Gempa century dikatakan dapat menimbulkan tsunami politik karena beberapa alasan; pertama, skandal ini melibatkan sejumlah tokoh kunci dalam pemerintahan SBY, diantaranya wakil presiden sekarang ini, Budiono, dan menteri keuangan, Sri Mulyani. Kedua, skandal ini menonjok hidung para pendukung neoliberal yang selalu berkhotbah mengenai pemerintahan bersih (clean government) dan baik (good governance).
Lebih buruk lagi, kejadian ini muncul di awal pemerintahannya, sehingga sangat beresiko menciptakan mosi tidak percaya secara luas atas kredibilitas politik pemerintahan ini. Sehingga, untuk kepentingan ini, SBY telah menggunakan segala cara untuk menenggelamkan isu ini dan berpura-pura tidak menggubrisnya.
Di satu sisi, SBY sangat berkeinginan mengubur kasus ini untuk mengamankan pemerintahannya. Sementara, di sisi lain, ada keinginan besar sejumlah masyarakat agar kasus ini diungkap. Pada saat itu, harapan masyarakat untuk pengungkapan kasus bank century ini terletak di tangan KPK. KPK pun mulai bergerak, dan nama Susno Duadji pun terkuak.
Sikap diam presiden SBY atas kasus ini, pada awalnya, merupakan sinyalemen keterlibatan dia sebagai salah satu aktor yang berkepentingan terhadap penghancuran KPK. Tentu saja, selain untuk melakukan pembalasan atas penahanan besannya, Aulia Pohan, juga yang paling penting adalah melindungi koleganya yang terseret skandal century.
Meskipun begitu, kita patut menghaturkan terima kasih yang begitu besar dukungan melimpah terhadap KPK ini. Ada beberapa hal yang patut dibanggakan; (a). mitos neoliberal sebagai sistem ekonomi yang memerangi korupsi, kapitalisme kroni, dsb, akhirnya terbantahkan juga. Kini neoliberal bergandengan dengan koruptor, dan membangun sebuah rejim politik korup. (b). kredibilitas pemerintahan SBY-Budiono merosot secara drastis. Kedepan, pemerintahan ini akan berhadapan dengan oposisi luas dari masyarakat yang mulai tidak percaya dengan rejim ini. (c). sejumlah lapisan pendukung loyal SBY-Budiono mulai goyah, sebagian sudah bergeser menjadi kritis dan melemparkan mosi tidak percaya terhadap rejim ini.
Oleh sebab itu kami dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Kota Salatiga pada hari ini, Rabu, 25 Nopember 2009 mengadakan aksi dengan tuntutan :
1. Usut tuntas kasus skandal Bank Century yang melibatkan pejabat tinggi Negara seperti Budiono, Sri Mulyani dan lain-lainnya.
2. Ganti seluruh menteri dan pejabat tinggi Negara yang terlibat kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, pelecehan kaum perempuan, dan jadi agen Neoliberal.
3. Hentikan pemerintahan SBY-Budiono karena sudah jelas-jelas menjadi agen neoliberal dan korup. Tidak ada kemakmuran yang akan didapat rakyat Indonesia dengan melanjutkan pemerintahan ini, namun kebangkrutan dan kemiskinan lah yang akan dirasakan.

Sekretariat:Jalan Kalisawo RT. 03 RW I, Kelurahan Bugel, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah.

Phone : 081390374733 (Syaloom B.S.A.P)

Email:eklmnd.salatiga@gmail.com

Tidak ada komentar: